03 Juli 2024
21:00 WIB
Uni Eropa Sarankan Indonesia Fokus 3 Sektor Ekonomi Sirkular
Indonesia bisa fokus pada 3 dari 5 sektor sirkular untuk meningkatkan potensi ekonominya. Yaitu di bidang pangan, elektronik, dan tekstil.
Penulis: Khairul Kahfi
Pekerja memproses sampah-sampah plastik untuk didaur ulang di Pabelan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Antara Foto/Aditya Pradana Putra
JAKARTA - Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Denis Chaibi menyampaikan, Indonesia bisa fokus pada 3 dari 5 sektor sirkular untuk meningkatkan potensi ekonominya. Yaitu di bidang pangan, elektronik, dan tekstil.
Untuk pangan, Denis menilai, Indonesia sudah sangat jelas dengan terpilihnya Prabowo menjadi presiden akan memprioritaskan ketahanan pangan. Menurutnya, program pemberian makanan di sekolah merupakan cara yang efektif untuk menjamin ketahanan pangan.
“Namun, mengurangi limbah makanan juga merupakan cara yang sangat cerdas untuk menjamin keamanan pangan. Bagi Indonesia, sampah makanan menginspirasi (paling tinggi) di antara negara-negara G20 lainnya,” terangnya dalam agenda Green Economy Expo 2024, Jakarta, Rabu (3/7).
Ia pun menyoroti bahwa makanan yang terbuang menjadi sampah (food waste) setiap tahunnya bisa menghidupi sekitar 28 juta orang. Karena itu, keberhasilan Indonesia dalam mengurangi sampah makanan dengan cara yang wajar dapat menggaransi makan untuk sekitar 10% penduduk Indonesia.
Menurutnya, pemahaman produk, penyimpanan, panen, pengelolaan stok, sirkuit ritel, hingga infrastruktur yang lebih baik dapat Indonesia lakukan dengan biaya yang relatif lebih rendah, sementara bisa menghasilkan peningkatan investasi yang semakin besar.
Hal tersebut bisa terjadi lantara orang yang semakin berpendidikan begitu siap untuk berinvestasi pada ekonomi sirkular. “Jadi, ketahanan pangan dan limbah pangan mempunyai kaitan yang sangat erat,” paparnya.
Baca Juga: Suharso: Kinerja Ekonomi Sirkular Indonesia 2023 Masih Rendah
Kedua, dia menyampaikan, ada banyak raksasa teknologi dunia yang tertarik untuk memasuki pasar Indonesia yang sedang booming. Apple, misalnya, ingin iPhone yang diproduksi bisa didaur ulang di Indonesia, sambil memastikan layanan cloud dapat didinginkan oleh energi terbarukan.
“Singkatnya, jika Indonesia ingin menarik lebih banyak investasi terbaik (dunia), ekonomi sirkular adalah nilai jual yang penting,” jelasnya.
Ketiga, saat ini Indonesia memang masih dikenal dengan kemampuan produsen tekstil dengan investasi besar. Kendati, modal ini saja sekarang tidak cukup. Pasalnya, Vietnam sudah punya FTA dengan Uni Eropa, Bangladesh melakukan pemotongan harga, sedangkan Tiongkok melakukan investasi besar-besaran dalam rantai pasok.
Dirinya pun menyarankan, agar Indonesia mengikuti tren terbesar tekstil hijau di dunia lewat desain ramah lingkungan (ecodesign). Strategi ini patut Indonesia tempuh demi mempertahankan keunggulan kompetitifnya.
“Artinya, untuk tetap bisa mengakses pasar AS atau Eropa, banyak produk tekstil maupun alas kaki harus menggunakan bahan daur ulang,” ungkapnya.
Tak hanya pengusaha besar, langkah yang sama juga bisa dilakukan oleh produsen dengan konten lokal tinggi yang dapat mengubah faktor produksinya menjadi elemen daur ulang. Dia meyakini, upaya ini akan membuat produk tekstil Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang sangat kuat.
“Indonesia adalah negara dengan jumlah konsumen terbesar di Asia Tenggara. Jadi, anda memiliki akses terbesar terhadap bahan daur ulang dan dapat mengubahnya menjadi keunggulan kompetitif,” sebutnya.
Bisa Tiru Singapura dan Eropa
Di sisi lain, Denis menyadari, saat ini Indonesia punya kapasitas energi yang sangat besar dan melebihi kebutuhannya. Untuk masa depan, terdapat cadangan batu bara yang sangat besar yang kemungkinan akan dieksploitasi, kendati situasi ini tidak boleh membuat Indonesia berpuas diri.
Sebagai konteks, kondisi yang ada tersebut akan membuat Indonesia makin jauh dengan ekonomi hijau dunia. Dia menamakan situasi yang ada dengan kutukan sumber daya konvensional.
“Ketika Anda memiliki terlalu banyak barang dan menaruh seluruh modal hanya pada beberapa industri yang bergantung pada sumber daya (konvensional), anda kehilangan daya saing,” ucapnya.
Denis menyampaikan, saat ini penggunaan energi di Indonesia baru mencapai 1.200 KwH per kapita, meningkat dua kali lipat kurun 10 tahun terakhir. Sedangkan Singapura, konsumsi energinya ditaksir mencapai delapan kali lipat Indonesia.
“Bagaimana Singapura bisa mencapai angka tersebut? Dengan mengoptimalkan penggunaan energi. Jika energi diinvestasikan di area berbeda dengan penggunaan optimal, maka anda dapat memperoleh pertumbuhan (ekonomi) sebesar 8%,” jelasnya.
Contoh lain, ecodesign menjadi cara Eropa upaya untuk bisa lebih hijau di tengah perang antara Ukraina dan Rusia. Buat yang belum tahu, Rusia sudah mulai membatasi ekspor minyaknya ke wilayah benua biru.
Baca Juga: Terapkan Ekonomi Sirkular Lewat Kampanye Conscious Living
Adapun lewat ecodesign, Eropa telah mengurangi penggunaan produk energi konvensional sebesar 132 juta ton setara minyak, yang pada dasarnya merupakan jumlah impor gas dari Rusia. “Jadi skala optimalisasi energi seperti inilah yang bisa dilakukan,” urainya.
Soal sampah, Denis akui ikut membuat pemda di Eropa kelimpungan, karena tak ada yang mau tempat pembuangan sampah (landfill) di sekitarnya. Balik lagi, hal ini akan membutuhkan biaya lagi. Sekarang, Eropa mendaur ulang 40% sampahnya, lebih tinggi dibandingkan 30% di tempat pembuangan sampah.
Adapun jika diperkecil, proporsi sampah di Eropa sekitar 100 ton per kilometer persegi yang menimbulkan limbah tingkat tinggi. Adapun proporsi sampah di Indonesia sekitar 145 ton per kilometer persegi per hari.
“(Tapi) di Jawa saja, Indonesia punya 1.000 (kilometer persegi),” tekannya.
Padahal, luasan limbah ini begitu potensial disulap menjadi ruang ruang untuk energi terbarukan, yakni panel surya. Karenanya, Indonesia mesti segera mengatasi sampahnya sebelum menjadi tumpukan sampah yang sangat besar.
Lagi, Indonesia bisa meniru Singapura yang sukses mengurangi jumlah sampah dan lebih dari 50%-nya didaur ulang. Dirinya pun mendukung presiden Indonesia yang baru untuk menyukseskan ekonomi sirkular dalam agenda ketahanan pangan, sambil terus menarik investasi bernilai tinggi.
“Dan penting bagi Indonesia untuk mempertahankan keunggulan kompetitif di bidang tekstil dan alas kaki, dengan menyesuaikan aturan atau konten lokal dengan aturan mengenai bahan daur ulang,” pungkasnya.