11 November 2024
19:24 WIB
UNFCCC Desak Negara-Negara Tetapkan Pendanaan Iklim Baru di COP29
Agenda utama COP29 adalah menentukan pendanaan iklim. Namun, terpilihnya Donald Trump berpotensi menjadi pengganjal.
Editor: Fin Harini
Sidang ke-29 Konferensi Para Pihak (COP29) untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dimulai pada Senin (11/11/2024) di Baku, Azerbaijan. ANTARA/foto-Anadolu/py
BAKU – Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell mendesak negara-negara untuk menetapkan tujuan pendanaan iklim baru yang berani pada upacara pembukaan COP29 di Baku, Azerbaijan.
Dilansir dari Azernews, Stiell menekankan pendanaan iklim merupakan masalah keamanan global. Karena itu, ia menolak anggapan pendanaan tersebut harus dipandang sebagai amal. Sebaliknya, ia menekankan perjanjian pendanaan iklim yang ambisius sejalan dengan kepentingan semua negara.
Sekretaris Eksekutif mencatat, ketidakmampuan banyak negara untuk dengan cepat mengurangi emisi dan meningkatkan ketahanan pada akhirnya akan berdampak pada setiap perekonomian. Dia menunjuk pada pertaruhan ekonomi bersama, dan memperingatkan bahwa “jika negara-negara tidak dapat membangun ketahanan dalam rantai pasokan, seluruh perekonomian global akan terpuruk.”
Fokus utama COP29 adalah penyelesaian Pasal 6 untuk membentuk pasar karbon internasional, yang menurutnya penting untuk mempercepat pengurangan emisi global. Ia berharap mekanisme ini akan mengkatalisasi investasi dalam pembangunan rendah karbon dan energi ramah lingkungan.
Stiell memperkirakan pada tahun 2024, investasi energi ramah lingkungan akan melebihi US$2 triliun—hampir dua kali lipat jumlah investasi pada bahan bakar fosil.
Ia pun mendesak agar negara-negara memanfaatkan sepenuhnya momentum ini, dengan menyatakan, “Peralihan ke energi ramah lingkungan dan ketahanan iklim tidak akan dihentikan.”
Sekretaris Eksekutif juga menyoroti perlunya indikator adaptasi. "Anda tidak dapat mengelola apa yang tidak Anda ukur,” katanya.
Baca Juga: COP29 Dimulai Hari Ini, Begini Agenda Kuncinya
Tahun lalu, negara-negara berkomitmen terhadap kerangka pedoman rencana nasional untuk membantu masyarakat beradaptasi terhadap gangguan iklim seperti cuaca panas, kenaikan permukaan laut, atau lahan pertanian yang kering.
Namun kerangka adaptasi tidak memiliki rincian, seperti target terukur untuk menilai kemajuan atau strategi untuk menghubungkan proyek dengan pendanaan iklim. Gelaran COP29 diharapkan bisa menetapkan tujuan adaptasi yang lebih spesifik.
Menurut Stiell, indikator adaptasi akan membantu memandu upaya ketahanan di masa depan.
Untuk lebih mendukung negara-negara dalam menyusun Kontribusi Nasional (NDC) yang akan jatuh tempo tahun depan, UNFCCC akan meluncurkan "Kampanye Rencana Iklim". Inisiatif ini, bersamaan dengan kebangkitan Climate Weeks pada tahun 2025, bertujuan untuk memperkuat aksi iklim global dan mendorong kolaborasi.
Sekretaris Eksekutif mengakhiri pidatonya dengan seruan untuk bersatu, dan mendesak para delegasi untuk memanfaatkan momen bersejarah ini untuk mendorong tindakan yang berarti dalam pendanaan iklim dan ketahanan demi kesejahteraan kolektif semua bangsa.
Sebagai informasi, COP29 melibatkan perwakilan dan negosiator dari 197 negara yang telah menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Ini berlangsung Senin hingga 22 November dan disebut sebagai "COP Pendanaan Iklim".
Lebih dari 40.000 orang diperkirakan akan menghadiri pertemuan tersebut. Konferensi yang berlangsung selama 12 hari ini mempertemukan para diplomat, ilmuwan, aktivis, pelobi, kelompok lingkungan hidup, dan dunia usaha dari negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian yang bertujuan mencegah campur tangan manusia yang “berbahaya” terhadap iklim.
“Miliaran orang mengandalkan kami untuk memberikan pendanaan iklim pada skala yang sesuai dengan urgensi dan skala masalah ini. Kami akan melakukan segala upaya untuk mewujudkan tujuan baru yang adil dan ambisius di Baku pada COP29,” kata Presiden yang Ditunjuk COP29 Mukhtar Babayev dalam rilisnya.
Potensi Terganjal Trump
Dilansir dari USA Today, agenda utama COP29 adalah memutuskan berapa banyak negara-negara kaya harus membayar untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi dampak buruk perubahan iklim.
Namun, tujuan tersebut berpotensi terganjal hasil pemilu Amerika Serikat (AS) yang memenangkan Donald Trump. Pasalnya, hasil pemilu ini berarti AS yang menjadi salah satu peserta terkaya dalam pertemuan iklim tahunan tersebut akan segera memulai perubahan signifikan dalam kebijakan lingkungan hidup.
Bahkan, AS berpotensi tidak akan menghadiri acara tahun depan, dan akan segera keluar dari perjanjian penting perubahan iklim global.
Selama kampanyenya, Trump berulang kali menyebut perubahan iklim sebagai tipuan. Tim kampanyenya pun mengatakan rencana untuk mengeluarkan Amerika Serikat dari perjanjian iklim Paris jika Trump terpilih.
Pada rapat umum di Las Vegas pada bulan September, Trump berkata, “Ini adalah dokumen paling tidak adil yang pernah Anda lihat.”
Para pendukung perjanjian iklim mengatakan pemerintahan Trump yang baru akan mempersulit upaya global untuk melawan perubahan iklim.
“KTT iklim tahun ini diadakan setelah terpilihnya kembali presiden iklim terburuk dalam sejarah AS,” kata Manish Bapna, presiden Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam. “AS mempunyai peran penting dalam menghadapi krisis ini, namun hasil pemilu kali ini membuat masa depan semakin tidak menentu,” ujarnya.
Baca Juga: COP29 di Azerbaijan Luncurkan 14 Inisiatif Atasi Perubahan Iklim
Apa itu Perjanjian Paris?
COP29 dikaitkan dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, atau UNFCCC. Amerika Serikat menandatangani perjanjian tersebut pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro, di bawah kepemimpinan Presiden George H.W. Bush, seorang Republikan.
UNFCCC adalah perjanjian induk dari Perjanjian Paris, sebuah perjanjian global yang ditandatangani oleh hampir 200 negara untuk memerangi perubahan iklim yang ditandatangani Amerika Serikat pada tahun 2015 di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, seorang Demokrat. Perjanjian tersebut menimbulkan perdebatan politik di AS.
Pada tahun 2020, Presiden Trump saat itu menarik AS dari Perjanjian Paris. Seratus tujuh hari kemudian, negara tersebut bergabung kembali setelah Joe Biden terpilih sebagai presiden.
Selama kampanyenya pada tahun 2024, Trump berjanji untuk mengeluarkan Amerika Serikat dari Perjanjian Paris. Ada juga laporan bahwa pemerintahan Trump yang baru akan berusaha untuk menghapus AS dari seluruh kerangka iklim PBB, menurut laporan di Politico dan Bloomberg.
Untuk keluar dari salah satu perjanjian tersebut, diperlukan waktu setidaknya satu tahun untuk mulai berlaku. Pasalnya, perjanjian awal yang ditandatangani AS memerlukan pemberitahuan resmi terlebih dahulu, bahwa negara tersebut berencana untuk meninggalkan perjanjian tersebut dan kemudian menunggu satu tahun agar keputusan itu berlaku efektif.
Sebagai informasi, menurut laporan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan lalu, dunia harus mengurangi 42% emisi gas rumah kaca tahunan pada tahun 2030 dan 57% pada tahun 2035 untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris yang menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius.
Laporan tersebut mengatakan negara-negara di dunia masih jauh dari tujuan yang telah mereka sepakati.
Laporan tersebut juga menyebut kenaikan yang melebihi 1,5 derajat Celsius akan menimbulkan dampak buruk terhadap planet bumi, termasuk lebih banyak kekeringan, banjir, hujan lebat, dan kebakaran hutan.
Tahun ini hampir pasti menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dan tahun pertama di mana suhu global berada 1,5 derajat Celsius di atas suhu pra-industri, menurut European Copernicus Institute.