02 Oktober 2024
18:47 WIB
Terus Cermati Global-Domestik, BI Buka Peluang Turunkan Bunga Acuan Lagi
Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi siap membuka peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate, asalkan cocok dengan semua perkembangan yang ada.
Penulis: Khairul Kahfi
Karyawan memegang uang di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Antara Foto/Aprillio Akbar
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi siap membuka peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate, asalkan cocok dengan semua perkembangan yang ada. Saat ini, BI-Rate sudah turun dan bertengger di level 6%, penurunan suku bunga moneter terjadi setelah mengalami kenaikan pada keputusan moneter pada April lalu.
Deputi Gubernur BI Juda Agung mengungkapkan, pihaknya terus mengarahkan kebijakan pada upaya menjaga stabilitas makroekonomi. Pada saat yang sama, sistem keuangan juga ditargetkan tetap bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
“Dari kebijakan moneter, kami terus mencermati perkembangan yang ada di global dan domestik, (seperti) suku bunga kebijakan di Amerika, Eropa dan perkembangan di Cina, inflasi di domestik. Tentu saja kami terus mencermati apakah ada ruang penurunan suku bunga lebih lanjut,” jelasnya dalam peluncuran buku Kajian Stabilitas Sistem Keuangan (KSK) 43 dan aplikasi Kalkulator Hijau, Jakarta, Rabu (2/10).
Sementara itu, dari sistem pembayaran, BI akan terus mengarahkan upaya untuk mendorong digitalisasi sistem pembayaran, memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
Dalam kesempatan sama, Juda mengungkapkan, ekonomi dan keuangan global dalam dua tahun terakhir selalu diliputi dengan ketidakpastian yang amat tinggi. Terutama dipicu oleh inflasi yang sangat tinggi di berbagai negara maju, yang kemudian diikuti oleh kenaikan suku bunga The Fed sejak Maret 2022.
Dirinya pun bersyukur, ketidakpastian tersebut sudah mulai meluntur saat ini dengan tingkat inflasi global yang semakin menjinak. Di Amerika Serikat, inflasi diperkirakan akan mendekati sasaran yang ditarget sebesar 2% di tengah meningkatnya angka pengangguran.
Baca Juga: BI Rate September 2024 Turun Jadi 6,00%
“Alhamdulillah, saat ini ketidakpastian tersebut semakin mereda, sejalan dengan terus melambatnya inflasi di berbagai negara,” ucapnya.
Adapun perkembangan tersebut mendorong penurunan Fed Fund Rate yang cukup agresif sebesar 50 basis poin pada September kemarin. Adapun kondisi positif ini terus berlanjut, setelah sehari sebelumnya BI mengumumkan penurunan suku bunga acuan sebesar 25 bps.
Kondisi ini semakin manis dengan ECB atau Bank Sentral Eropa yang sudah lebih dulu menurunkan suku bunga acuannya sebanyak 50 bps, masing-masing 25 bps pada Juni dan September. Sedangkan, pemerintah Cina juga sedang melakukan berbagai kebijakan stimulus bagi perkonomiannya.
“Nah, konvergensi kebijakan dari negara-negara maju dan negara-negara besar ini, yang kemudian menurunkan atau meredanya ketidakpastian pasaran keuangan global. Dan meningkatkan aliran masuk ke negara-negara emerging, termasuk di Indonesia,” ucapnya.
Pihaknya pun tidak heran, perkembangan yang ada juga mendorong semakin membaiknya kondisi stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Di pasar keuangan, rupiah mengalami penguatan yang jadi salah satu katalis pembuka ruang bagi penurunan suku bunga BI-Rate belum lama ini.
“Di sektor perbankan, ketahanan permodalan yang tinggi, likuiditas yang memadai, dan risiko kredit yang terkendali juga terus mendorong pertumbuhan kinerja intermediasi perbankan yang hingga Agustus kemarin pertumbuhannya di 11,4% (yoy),” jelasnya.
Inflasi 2024 Masih Terjaga Stabil
Juda juga menilai, kondisi inflasi per September 2024 dari 2,12% (yoy) turun menjadi 1,84% (yoy) masih cukup baik. Dia pun mengungkap, inflasi RI dalam beberapa tahun terakhir sangat stabil di sekitaran 2%.
Dengan demikian, capaian inflasi ini masih dalam rentang target inflasi BI yang dipatok sebesar 2,5±1%, atau mudahnya berada dalam kisaran 1,5-3,5%. “Sebenarnya kalau kita lihat, memang inflasi kita dalam beberapa tahun terakhir ini sangat stabil sekitar 2%, dan itu masih dalam range Bank Indonesia 2,5±1%. Jadi masih di dalam range target,” urainya.
Karena itu, pihaknya belum mengidentifikasi keadaan harga yang cenderung deflasi dalam lima bulan terakhir menunjukkan gejala gawat pelemahan ekonomi maupun daya beli yang berlebihan.
“Kami tidak melihat itu, (deflasi lima bulan) sebuah pelemahan yang berlebihan dari perekonomian,” sebutnya.
BPS mencatat, Indonesia sudah mengalami deflasi dalam lima bulan terakhir, yakni secara beruntun sebesar 0,03%, 0,08%, 0,18%, 0,03%, dan terakhir sekitar 0,12% (mtm).
Sebelumnya, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menguraikan, fenomena deflasi panjang bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Deflasi terpanjang pernah Indonesia alami pada 1999 pasca krisis finansial Asia, yaitu selama 7 bulan atau mulai dari Maret sampai September 1999.
Baca Juga: Ekonom Perkirakan BI Rate Turun Lagi 25 Basis Poin Tahun Ini
Deflasi 1999 terjadi akibat penurunan harga beberapa barang setelah diterpa inflasi yang tinggi.
“Sempat pada waktu itu kan terjadi inflasi yang tinggi karena terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, tetapi kemudian tekanan deflasinya menurun, otomatis harga-harga kembali pada keseimbangannya dan ini menyebabkan deflasi,” jelas Amalia, Senin (1/10).
Periode deflasi panjang lainnya juga pernah terjadi pada Desember 2008 sampai januari 2009, yang disebabkan turunnya harga minyak dunia. Pada 2020, deflasi juga pernah terjadi selama 3 bulan beruntun, yakni Juli-September 2020.
Jika kembali pada kondisi deflasi 5 bulan beruntun saat ini, BPS mensinyalir terjadi karena pengaruh sisi penawaran atau supply side, utamanya disumbang penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan, hortikultura, terutama yang memberikan andil besar seperti cabai rawit merah, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel.
“Juga produk peternakan telur ayam ras dan daging ayam ras yang beberapa bulan sebelumnya mengalami peningkatan, sekarang kembali menurun karena kembali stabil,” ungkapnya.
Selain itu, harga yang turun juga disebabkan biaya produksi yang ikut menurun, hal ini tecermin pada harga di tingkat konsumen yang turun.
“Deflasi ini dicerminkan, yang kita tangkap melalui IHK, dan ini tentunya seiring juga dengan masa panen cabai rawit dan merah, sehingga pasokan relatif berlimpah untuk komoditas tersebut,” urainya.