c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

23 Januari 2025

19:48 WIB

Tax Ratio Tak Naik Setelah Reformasi Pajak dan Kerek PPN, Ini Saran Peneliti

Peneliti The Prakarsa menilai, pemerintah perlu pendekatan berbeda, yakni menerapkan pungutan pajak kekayaan yang menyasar orang super kaya.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted"><em>Tax Ratio</em> Tak Naik Setelah Reformasi Pajak dan Kerek PPN, Ini Saran Peneliti</p>
<p id="isPasted"><em>Tax Ratio</em> Tak Naik Setelah Reformasi Pajak dan Kerek PPN, Ini Saran Peneliti</p>

Ilustrasi Pajak Harta Kekayaan. Shutterstock/Watchara Ritjan

JAKARTA - Lembaga think tank Prakarsa menilai, tax ratio tidak naik signifikan, padahal pemerintah sudah melakukan serangkaian reformasi perpajakan sekaligus mengerek tarif PPN dari 10% menjadi 12% sekarang ini.

Peneliti Prakarsa Samira Hanim mencontohkan, pemerintah dalam lima tahun ini telah meningkatkan tax bracket hingga 35%, menaikkan PPN, meluncurkan Coretax, dan lain-lain. Namun, upaya tersebut belum cukup untuk mengerek tax ratio.

"Kita sudah melakukan reformasi perpajakan beberapa kali, dan ternyata tidak cukup kuat untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB kita," ujarnya dalam Diskusi Publik: Centering Inequality to Achieve Sustainable Development Goals (SDGs), Kamis (23/1).

Tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga Oktober 2024, tax ratio Indonesia masih berada di level 10,02%.

Sebelumnya, pada 2023 tax ratio berada di angka 10,21%. Sementara menurut International Monetary Fund (IMF), capaian tax ratio yang ideal untuk menopang pembangunan negara minimal 15%.

Samira mengatakan, kepatuhan wajib pajak menjadi bobot penting untuk meningkatkan tax ratio. Namun, ia menyarankan, pemerintah perlu pendekatan lain untuk mengerek angka tax ratio.

Baca Juga: Celios Minta Pemerintah Segera Terapkan Pajak Kekayaan Guna Atasi Ketimpangan

Ia menyebut, salah satu upaya, yakni mengenakan pungutan pajak kekayaan (wealth tax) yang menyasar para wajib pajak super kaya atau high net worth individual (HNWI).

"Mungkin sebenarnya yang perlu dilakukan adalah mereformasi lagi, apakah kita perlu mereformasi kebijakan perpajakan, memasukkan pajak kekayaan," kata Samira.

Peneliti Prakarsa menjelaskan, pajak kekayaan bisa dibagi menjadi 3 kategori. Itu terdiri dari kepemilikan kekayaan (holding of wealth), pemindahan kekayaan (transfer of wealth), dan apresiasi kekayaan (wealth of appreciation).

Dia menerangkan, kepemilikan kekayaan berarti total aset yang sudah dikurangi dengan liabilitas. Contoh aset, yakni simpanan, deposit, kendaraan, emas, berlian, saham.

Kemudian, pajak kekayaan bisa menyasar para wajib pajak yang mendapatkan durian runtuh dari pemindahan kekayaan. Itu meliputi warisan (inheritance), donasi dan hibah. Terakhir, wealth of appreciation berupa kekayaan dari modal yang ditanamkan atau capital gain.

"Melalui forum pajak berkeadilan, kita juga mulai merumuskan atau mungkin mempelajari hal-hal bagaimana perpajakan tersebut bisa sesuai dengan asas ataupun prinsip keadilan yang ada dalam perpajakan itu sendiri," imbuh Samira.

Dia menambahkan, beberapa negara sudah mengimplementasikan pajak kekayaan sejak lama. Menurutnya, tujuan menerapkan jenis pajak ini adalah redistribusi pendapatan.

"Kunci atau esensi dari pajak kekayaan itu kan sebenarnya redistribusi kekayaan dari si kaya ke si miskin," tutur Samira.

Contoh Pajak Kekayaan di Negara Lain
Peneliti Prakarsa pun mencatat, ada beberapa negara yang sudah menerapkan pajak kekayaan. Di antaranya, Kolombia dengan tarif sebesar 1% dam basis pajak kekayaan bersih di atas US$1,3 juta atau Rp19,2 miliar.

Kemudian, Perancis tarifnya sebesar 0,5-1,5% dengan basis pajaknya berupa asset property bersih individu sekitar di atas €1,3 juta atau Rp20,2 miliar.

Di Norwegia, tarif pajak kekayaan sebesar 0,7% di level kota, dan sebesar 0,25% di level nasional. Basis pajaknya, yakni nilai pasar wajar aset dikurangi utang.

Pajak tersebut berlaku untuk nilai kekayaan di atas 1,5 juta krone Norwegia (setara US$180.000 atau Rp2,6 miliar) untuk pembayaran pajak lajang/belum menikah; dan senilai 3 juta krone Norwegia (US$360.000 atau Rp5,2 miliar) untuk pasangan sudah menikah.

Baca Juga: Pengamat Pajak: Begini Potensi Setoran PPh Crazy Rich Indonesia

Selanjutnya, Spanyol juga menerapkan pajak kekayaan sebesar 0,2-3,5%. Basis pajaknya berbeda, tergantung wilayahnya, tapi secara umum nilai penghitungannya, yakni nilai aset dikurangi nilai kewajiban.

Kemudian, Swiss tarif pajak kekayaannya sebesar 0,05-4,5%, tergantung lokasi provinsi/kota. Basis pajaknya, yakni aset kotor dikurangi utang.

Argentina tarifnya sebesar 0,5-2,25%, dengan basis total nilai aset di atas 3 juta peso Argentina (US$24.410 atau Rp361 juta). Terakhir, Filipina juga menerapkan tarif 1-3% dengan basis total aset di atas 1 miliar peso Filipina (US$18,7 juta atau Rp277 miliar).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar