23 Januari 2025
17:40 WIB
Celios Minta Pemerintah Segera Terapkan Pajak Kekayaan Guna Atasi Ketimpangan
Celios menilai pemerintah perlu membuat aturan pajak yang kuat guna menutup ketimpangan, salah satunya memberlakukan pajak kekayaan.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Ilustrasi ketimpangan. Refleksi gedung bertingkat dengan latar belakang rumah rumah semi permanen berdiri di tepi Waduk Pluit, Jakarta, Selasa (14/11/2023). ValidNewsID/Darryl Ramadhan.
JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) minta pemerintah segera menyusun regulasi lalu menerapkan kebijakan pajak kekayaan (wealth tax) yang menyasar para wajib pajak super kaya atau high net worth individual (HNWI).
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyu Askar juga mendorong penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) mengenai pajak kekayaan. Menurutnya, pemerintah perlu mengintervensi gap atau kesenjangan antara kaya dan miskin.
Media juga menyarankan, pemerintah jangan terus-terusan mengerek tarif pajak konsumsi seperti PPN, yang notabene menyasar semua lapisan masyarakat. Sebaiknya, pemerintah mulai menggodok aturan pajak yang menyasar para crazy rich di Indonesia.
"Kalau kita ingin membangun negara lebih baik, ya (genjot) penerimaan, pajak, pajak, dan pajak. Maksudnya bukan PPN, tapi pajak yang lebih progresif di antaranya peningkatan batas atas PPh, serta pajak kekayaan," ujarnya dalam Diskusi Publik: Centering Inequality to Achieve Sustainable Development Goals (SDGs), Kamis (23/1).
Media mengingatkan, penerimaan negara untuk menggerakkan perekonomian masih bergantung pada setoran pajak. Adapun penerimaan Indonesia didominasi oleh beberapa jenis penerimaan, di antaranya pajak penghasilan (PPh) karyawan atau PPh 21 dan PPh badan.
Ia menilai, pemerintah perlu melakukan ekstensifikasi pajak dengan menyesuaikan keadaan sekarang, salah satunya, becermin dari peningkatan kekayaan orang super kaya di Indonesia.
Menurut Media, kekayaan kelompok itu naik signifikan dari tahun ke tahun. Celios juga mencatat, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.
"Peningkatan kekayaan orang super kaya di Indonesia masif sekali, dan yang meningkat sangat signifikan sebagian besar adalah mereka yang bekerja di industri ekstraktif," ucapnya.
Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani: Tingkat Kemiskinan RI Menurun Di 2024
Celios mencatat, pada 2024, total kekayaan 50 Triliuner di Indonesia mencapai Rp5.243 triliun. Sementara total kekayaan di sektor ekstraktif mencapai Rp3.271 triliun.
Sebelumnya, pada 2023, total kekayaan senilai Rp4.078 triliun, sedangkan kekayaan sektor ekstraktif senilai Rp2.307 triliun. Dari data ini, kekayaan para triliuner RI dalam setahun bisa naik seribu triliun rupiah.
"Kalau teman-teman mengikuti, industri ekstraktif di Indonesia menikmati insentif pajak yang sangat besar dari pemerintah. Bahkan smelter itu 0%, ada banyak royalti, belum lagi penghindaran pajak yang dilakukan oleh banyak industri ekstraktif ini," kata Media.
Menurutnya, hal tersebut mencerminkan ketimpangan. Ia juga mewanti-wanti jangan sampai pemerintah memangkas tarif PPh Badan yang saat ini dipatok sebesar 22%.
Balik lagi, Media menuturkan, pengurangan tarif pajak badan seperti itu justru menimbulkan ketimpangan, sebab hanya dinikmati segelintir orang kaya Indonesia.
"Pada saat yang sama hari ini, pemerintah mengurangi ceiling untuk pajak badan menjadi 20%. Siapa yang menikmati pengurangan itu secara tidak langsung adalah mereka yang 50 orang terkaya," katanya.
Potensi Penerimaan Pajak Kekayaan
Celios pun mencatat, potensi pajak kekayaan apabila diberlakukan di Indonesia mencapai Rp81,6 triliun. Itu akumulasi 2% dari kekayaan 50 Orang Terkaya di Indonesia.
Oleh karena itu, Media menegaskan, pemerintah perlu melakukan intervensi dengan membuat regulasi perpajakan yang kuat. Nantinya, pajak pula yang dikelola negara untuk melakukan belanja. Salah satu yang Celios dorong, yakni RUU pajak kekayaan.
"Tahun ini kita sedang mendorong penyusunan naskah RUU pajak kekayaan," tutur Media.
Baca Juga: Celios: Timpang, 50 Orang Terkaya RI Setara 50 Juta Penduduk
Sebagai informasi, BPS mencatat per September 2024, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio adalah sebesar 0,381. Angka ini naik 0,002 poin jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2024 yang sebesar 0,379 dan menurun 0,007 poin jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2023 yang sebesar 0,388.
Secara nasional, selama periode Maret 2018 - September 2019, angka gini ratio terus mengalami penurunan. Akan tetapi, akibat pandemi covid-19, angka gini ratio mengalami kenaikan pada Maret 2020 dan September 2020. Setelah 2020, angka gini ratio mengalami fluktuasi dan pada Maret 2023 mencapai 0,388 yang merupakan tertinggi sejak September 2018.
Pada Maret 2024, gini ratio sudah mengalami penurunan menjadi 0,379. Bahkan, angka tersebut merupakan yang terendah sepanjang Maret 2018–Maret 2024. Artinya, pemerataan pengeluaran penduduk Indonesia pada Maret 2024 sudah semakin membaik. Namun, pada September 2024, gini ratio meningkat menjadi 0,381