22 Agustus 2023
14:23 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
JAKARTA - Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai pemerintah tidak mesti terus-menerus menggunakan insentif pajak untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia, melainkan membenahi masalah mendasar terlebih dahulu.
Ia mengatakan, ada beberapa masalah yang perlu dibenahi untuk menarik investasi. Di antaranya, memperbaiki instruktur, regulasi dan birokrasi, serta kualitas sumber daya manusia (SDM).
Karena selama ini, menurut Fajry, Indonesia terus mengorbankan pajak untuk menarik investasi asing. Imbasnya, ada penerimaan pajak yang hilang. Padahal, sebagai negara berkembang, Indonesia butuh banyak penerimaan pajak untuk pembangunan.
"Selama ini kita selalu mengorbankan pajak untuk menarik investasi, bukan memperbaiki masalah sebenarnya seperti high-cost economy atau peningkatan kualitas SDM," ujar Fajry kepada Validnews di Jakarta, Selasa (22/8).
Sejalan dengan itu, Fajry menilai penerapan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) sebesar 15% akan menguntungkan Indonesia, terutama karena bisa memberikan tambahan penerimaan bagi negara. Ia melihat ada 2 manfaat penerapan GMT.
Baca Juga: CORE Nilai Isu Perpajakan Global Penting untuk Konsolidasi Fiskal
Pertama, pajak minimum global dapat mencegah penghindaran pajak yang terjadi karena negara atau yurisdiksi menerapkan tarif pajak sangat rendah. Menurut Fajry, tidak ada gunanya lagi memanfaatkan negara yang bertarif pajak rendah dalam skenario penghindaran pajak.
Kedua, kebijakan pajak minimum global akan menghapus kompetisi tarif pajak, khususnya PPh Badan. Selama ini, setiap negara berlomba menurunkan tarif PPh Badan untuk mendorong investasi. Dengan adanya pajak minimum global, tidak ada gunanya lagi menurunkan tarif PPh Badan. Dengan begitu, penerimaan pajak akan terjaga terutama di negara berkembang.
"Adanya pajak minimum global ini agar negara-negara tidak menjadikan pajak sebagai alat untuk menarik investasi lagi. Jadi, kalau ingin menarik investasi itu melalui perbaikan instruktur, kualitas SDM, perbaikan regulasi dan birokrasi, dan sebagainya," tutur Fajry.
Ia juga mengatakan pemerintah perlu mendesain ulang skema insentif investasi yang tidak melanggar ketentuan pajak minimum global. Ia pun menilai untuk jangka pendek, pentingnya ada skema insentif non-pajak.
Selain itu, akan ada penyesuaian dari investasi riil bernama substance-based income exclusion (SBIE). Jadi, menurut Fajry dampak pajak minimum global tidak seluruhnya berimbas ke insentif pajak, tapi akan mengurangi efektivitasnya saja.
"Pajak minim global ini jadi momentum, kita harus memperbaiki masalah sebenarnya, seperti peningkatan kualitas SDM, biaya logistik, dan sebagainya untuk menarik investasi. Jangan mengorbankan pajak melulu. Tapi saya akui itu butuh waktu," ungkap Fajry.
Isu pajak minimum global mencuat saat Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menganggap implementasi pajak minimum global hanya menguntungkan negara tertentu. Utamanya, sederet negara maju yang memiliki daya saing investasi lebih kuat.
"Dari kesepakatan tadi memutuskan ini butuh kajian ulang. Jangan sampai ini diimplementasikan, kemudian menguntungkan satu kelompok negara tertentu. Ini kita enggak mau," ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (20//8).
Bahlil juga menilai ketentuan pajak minimum global akan memengaruhi insentif investasi. Selain itu, menurutnya GMT di negara maju tidak bisa serta merta diterapkan di negara berkembang.
Bahlil waswas penerapan pajak minimum global 15% terlalu cepat akan mengganggu program hilirisasi yang tengah digencarkan pemerintah. Menurut dia, GMT akan membuat investor dari negara maju akan kembali menanamkan modal di negara asalnya.
Sederet negara maju selaku penanam modal asing di dalam negeri, diantaranya Amerika Serikat, Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, Belanda. Itu tertera dalam data realisasi investasi kuartal II/2023 dan semester I/2023.
"Global minimum tax yang 15% itu maka mau tidak mau negara berkembang yang lagi mendorong hilirisasi, akan mengalami hambatan besar sebab pemilik modal yang punya teknologi dan menanamkan modal itu kemudian akan berinvestasi di negara mereka," kata Bahlil.
Sementara di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pajak minimum global perlu diterapkan. Dia juga melihat sudah banyak negara yang bersiap-siap mengimplementasikan kesepakatan pajak minimum global.
Sri Mulyani menerangkan Indonesia saat ini kerap menggunakan insentif fiskal untuk meningkatkan daya saing investasi. Menurutnya, berbagai skema insentif fiskal tersebut perlu terus diasah agar efektif menarik investasi.
Dia mengeklaim pajak minimum global bertujuan mengurangi penggunaan insentif fiskal. Dengan demikian, negara berkembang tidak terjerumus dalam perlombaan yang menjatuhkan karena terlalu banyak menebar insentif murah bagi investor asing.
"Ini yang akan menjadi salah satu fokus, karena dunia sekarang mulai bertahap melaksanakan global taxation yang bertujuan untuk mengurangi berbagai insentif fiskal untuk mencegah race to the bottom," kata Sri Mulyani dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI pada Juni lalu.
Dampak terhadap Agenda Hilirisasi
Fajry menyampaikan penerapan pajak minimum global bisa menghambat ataupun tidak menghambat hilirisasi. Itu tergantung bagaimana pemerintah menyikapinya.
Jika diam saja, sambungnya, tentu akan menghambat agenda hilirisasi. Namun jika mengantisipasi kebijakan itu dengan baik, Fajry meyakini penerapan GMT tidak menghambat hilirisasi.
Ia kembali menekankan antisipasi yang bisa dilakukan antara lain mendesain ulang insentif investasi. Ia pun tidak merekomendasikan untuk bernegosiasi ulang dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengenai kebijakan GMT, atau bahkan membatalkan persetujuan pajak minimum global.
"Desain ulang insentif tapi tidak melanggar ketentuan pajak minimum global. Saya menilai itu masih bisa dilakukan. Dengan begitu, pajak minimum global tidak menghambat hilirisasi," kata Fajry.
Baca Juga: Pengamat: PPh Badan dan PPN Tetap Topang Penerimaan Pajak 2024
Justru Fajry melihat potensi ancaman lain yang bisa menghambat hilirisasi. Ia menyebutkan salah satunya adalah kebijakan friend-shoring Amerika Serikat. Seperti namanya, kebijakan friend-shoring mengutamakan berbisnis dengan negara mitra atau negara yang dinilai bersahabat.
Fajry menjelaskan jika Indonesia tidak menjadi bagian rantai friend-shoring, itu akan benar-benar menghambat kebijakan hilirisasi, terutama dalam memproduksi baterai untuk mobil listrik (electric vehicle/EV). Hal itu dikarenakan investor akan memilih yurisdiksi yang menjadi bagian dari friend-shoring, lalu mendapatkan banyak subsidi di sana.
"Jadi, apakah [pajak minimum global] akan menghambat hilirisasi? Kalau kita diam saja pasti, tapi kalau kita melakukan antisipasi tentunya tidak," tutup Fajry.