04 Januari 2024
08:00 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai, keputusan Presiden Joko Widodo menambah anggaran subsidi pupuk di tahun 2024 senilai Rp14 triliun, tidak mampu menyelesaikan permasalahan produksi pangan dalam negeri.
Khudori menyebutkan, isu pupuk hanya salah satu faktor yang mempengaruhi produksi pangan, namun masih banyak faktor lain yang perlu diperhatikan. Misalnya benih, kredit untuk usaha tani, air, lahan yang makin menyempit, iklim dan cuaca yang sulit diprediksi, pasar yang tidak terkoneksi dengan petani, penyuluhan yang semakin mengemis, dan masih banyak lagi. Sehingga ia menganggap, keputusan penambahan subsidi pupuk bagaikan ‘penghilang nyeri’.
“Jadi kalau Presiden mau menambah anggaran subsidi Rp14 triliun, itu belum menuntaskan masalah pertanian dan pangan. Penambahan subsidi tidak lebih sebagai obat penghilang nyeri, karena tidak menyentuh akar dan jantung masalah (pertanian dan pangan),” ujar Khudori saat dihubungi Validnews, Rabu (3/1).
Baca Juga: Dongkrak Produksi, Pemerintah Siapkan Skema Subsidi dan Bantuan Pupuk
Berdasarkan pengamatannya selama ini, Khudori menyimpulkan masih terdapat banyak permasalahan dalam program pupuk bersubsidi, padahal program ini sudah dilakukan sejak lama.
Menurutnya, masalah pertama dan paling penting yaitu skema subsidi selama ini yang diberikan berupa subsidi gas kepada produsen pupuk. Subsidi bukan diberikan langsung ke petani.
“Skema seperti ini adalah skema untuk industri, jika ini disebut sebagai skema atau kebijakan untuk petani, sebenarnya tidak tepat alias kamuflase,” kata dia.
Masalah kedua adalah, selama ini subsidi pupuk yang diberikan pemerintah berupa anggaran, bukan berdasarkan volume pupuk yang dihitung sesuai kebutuhan petani.
Padahal, biaya produksi pupuk sangat dipengaruhi oleh harga gas dan nilai kurs rupiah. Sehingga saat harga gas tinggi dan nilai rupiah tertekan, maka anggaran untuk pupuk hanya mampu memperoleh dalam volume yang lebih kecil.
Jika hal tersebut terjadi saat anggaran sedang berjalan dan berlangsung beberapa kali, maka pelaksana di hilir seperti Kementerian Pertanian (Kementan) yang menentukan kebutuhan pupuk dan petani yang berhak mendapatkan subsidi, dan Pupuk Indonesia sebagai pihak yang menyediakan dan mendistribusikan pupuk akan kesulitan.
“Pelaksana di hilir itu akan puyeng minta ampun,” ungkapnya.
Regulasi Tak Jelas
Permasalahan ketiga, Khudori menyebut, saat ini banyak regulasi yang mengatur persoalan pupuk, namun regulasi-regulasi tersebut tidak saling berkaitan. Seharusnya ada harmonisasi regulasi yang jelas untuk menentukan petani mana saja yang berhak menerima pupuk subsidi.
“Ada banyak regulasi yang mengatur pupuk subsidi, mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) hingga Peraturan Menteri (Permen). Sayangnya antara regulasi yang satu dengan yang lainnya tidak sinkron,” ucap Khudori.
Dia menilai, seharusnya seluruh petani berhak memperoleh subsidi pupuk. Sehingga tidak perlu ada pembatasan luas lahan dan komoditas.
Lebih lanjut masalah keempat adalah, akses untuk memperoleh pupuk subsidi seharusnya dipermudah seperti akses terhadap subsidi BBM atau LPG, yakni untuk memperoleh subsidi maka masyarakat tidak perlu ditanya siapa pemilik kendaraan yang dibawa, siapa nama pengendara, berapa CC kendaraan yang digunakan, dan lainnya.
Baca Juga: Jokowi Harap Penanaman Padi Di Januari Capai 1,7 juta Hektare
“Asal bayar, selesai. Mestinya petani dilayani semudah itu,” tegas Khudori.
Di sisi lain, beberapa waktu lalu Kementan telah mengumumkan bahwa petani saat ini boleh mengakses pupuk subsidi hanya menggunakan KTP ehingga pengajuan dengan kartu tani sudah tidak diwajibkan lagi.
Menanggapi hal tersebut, Khudori menyebutkan, masih ada beberapa kasus di lapangan yang belum sesuai dengan keputusan Kementan tersebut.
“Dalam sejumlah kasus, kios kekeh memberlakukan satu mekanisme penyaluran yaitu pakai kartu tani. Selain itu, hanya petani yang tergabung di kelompok tani yang boleh dan bisa mengakses pupuk subsidi, padahal tidak semua petani tergabung dalam kelompok tani,” tandas Khudori.