08 September 2025
18:57 WIB
Sri Mulyani Lengser Jadi Menkeu, Begini Pro-Kontra Ekonom
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati digantikan oleh Ketua Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa. Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Presiden RI Prabowo Subianto saat melantik lima menteri baru di Kabinet Merah Putih, bertempat di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/9/2025). Antara/Andi Firdaus/aa.
JAKARTA - Sejumlah ekonom menyoroti keputusan Presiden RI Prabowo Subianto melakukan pergantian kabinet atau reshuffle, salah satunya menggantikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dengan Ketua Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa. Dari keputusan ini, menimbulkan pro dan kontra.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan, selama ini Sri Mulyani Indrawati (SMI) diakui dan dipercaya terutama oleh dunia usaha dan lembaga internasional berhasil menjaga kebijakan fiskal stabil, prudent, dan sustainable.
Dengan demikian, Indonesia masih merupakan salah satu dari negara yang dipercaya mengelola ekonominya dengan baik dan masih menarik untuk investasi. Walau menurut Fadhil, dalam beberapa tahun terakhir terutama di masa kedua Presiden Jokowi, Sri Mulyani melakukan akomodasi terhadap keinginan Presiden, sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya hutang publik dan menurunnya kredibilitas kebijakan fiskal sendiri.
Baca Juga: Reshuffle Kabinet Kelima, Sri Mulyani Diganti
“Namun yang harus dihindarkan adalah persepsi bahwa digantinya SMI adalah karena peristiwa penjarahan terhadap rumahnya karena dianggap kebijakannya tidak pro rakyat. Sebab, jika dengan demikian, akan mengakibatkan reaksi negatif dari kalangan dunia usaha, pasar dan masyarakat sendiri," kata Fadhil dalam keterangan resmi, Jakarta, Senin (8/9).
Fadhil memproyeksikan bahwa pengganti Menteri Keuangan akan mengalami masalah fiskal yang rumit dan sulit. Lantaran, pilihan-pilihannya tidak ada yang mudah.
"Tentang penggantinya, Purbaya Sadewa, saya kira dia ekonom yang baik, paham persoalan, namun dia belum memiliki pengalaman secara langsung mengelola fiskal dan ekonomi secara keseluruhan. Jadi bisa dikatakan dia bukan pilihan terbaik. Masih ada pilihan yang lebih baik. Misalnya, wamennya Suahasil," ungkapnya.
Berita Positif
Terpisah, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) justru menyambut baik kabar ini. Pasalnya, pengumuman pergantian Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan merupakan berita yang positif bagi ekonomi.
"Tuntutan untuk mengganti Sri Mulyani sudah lama diserukan oleh berbagai organisasi think tank, dan masyarakat sipil sebagai bentuk kritik atas ketidakmampuan Menteri Keuangan dalam mendorong kebijakan pajak yang berkeadilan, pengelolaan belanja yang hati-hati, dan naiknya beban utang yang kian mempersempit ruang fiskal," ujar Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira dalam keterangan resmi, Jakarta, Senin (8/9).
Sebagai lembaga riset independen, kata Bhima, CELIOS akan terus mengawal kebijakan Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani secara kritis dan objektif berbasis data.
"Kami menekankan bahwa tugas Menteri Keuangan yang baru yang sangat mendesak untuk mengembalikan kepercayaan publik," tutur dia.
Pertama, memastikan strategi penerimaan pajak dilakukan dengan memperhatikan daya beli kelompok menengah dan bawah, seperti menurunkan tarif PPN menjadi 8%, dan menaikkan PTKP menjadi Rp7 juta per bulan. Kebijakan pajak juga harus menyasar sektor ekstraktif melalui pajak produksi batu bara, dan pajak windfall profit (anomali keuntungan).
Selain itu, pajak kekayaan berupa 2% pajak bagi aset orang super kaya merupakan hal yang urgen dilakukan untuk menekan ketimpangan, sekaligus memperbesar penerimaan negara.
Baca Juga: Purbaya Yudhi Sadewa Jadi Menkeu Gantikan Sri Mulyani, Ini Rekam Jejaknya
Kedua, lanjutnya, efisiensi anggaran wajib dilakukan dengan dasar kajian makroekonomi yang transparan, tidak menganggu pelayanan publik dan infrastruktur dasar.
Selain itu, efisiensi yang salah dilakukan oleh Sri Mulyani harus dievaluasi ulang karena telah menimbulkan guncangan pada dana transfer daerah dan kenaikan pajak daerah yang merugikan masyarakat.
Ketiga, segera melakukan restrukturisasi utang pemerintah, menekan beban bunga utang, membuka ruang debt swap for energy transition (menukar kewajiban utang dengan program transisi energi), debt swap for nature (menukar utang dengan konservasi hutan/mangrove/karst), dan debt cancellation (pembatalan utang yang merugikan).
Keempat, mencopot Wakil Menteri dan pejabat di Kementerian Keuangan yang melakukan rangkap jabatan di BUMN, karena bertentangan dengan keputusan MK dan menghindari konflik kepentingan.
Kelima, mengevaluasi seluruh belanja perpajakan (stimulus dan insentif fiskal) yang merugikan keuangan negara. Perusahaan yang telah mendapatkan tax holiday dan tax allowance wajib diaudit baik laporan keuangan dan dampak yang dihasilkan bagi penyerapan tenaga kerja.
"Tidak boleh lagi ada insentif fiskal yang memperburuk ketimpangan antara perusahaan skala besar dan pelaku usaha UMKM. Kami juga mendorong transparansi pemberian insentif fiskal secara berkala kepada publik," pungkasnya.