04 Juli 2024
08:07 WIB
Sengkarut Tiket Pesawat Mahal Dan Solusi Dari KPPU
Mahalnya tiket pesawat menurut KPPU merupakan imbas mahalnya HET avtur. Karena itu, KPPU mengusulkan dua hal agar harga avtur lebih rendah.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Suasana konferensi pers laporan 100 hari kerja Anggota KPPU periode 2024-2029, Rabu (3/7). ValidNewsID/Erlinda PW
JAKARTA - Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Budi Joyo Santoso menegaskan perlu segera ada revisi penetapan harga eceran tertinggi (HET) bahan bakar pesawat atau avtur oleh Kementerian ESDM. Selain itu, juga perlu ada penerapan multiprovider pada penyedia pasokan avtur di beberapa bandara udara.
Menurut Budi, formula HET yang berlaku saat ini diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 17 Tahun 2019. Pada beleid tersebut ditetapkan besaran konstanta sebesar Rp3.581 per liter untuk formula HET avtur yang diklaim merupakan susunan unsur biaya penyimpanan, distribusi, dan pajak impor. Namun, Budi menilai besaran konstanta tersebut tidak relevan.
Alasan tidak relevan yang dimaksud adalah, menurutnya, pemerintah tengah mendorong pemenuhan kebutuhan avtur dari suplai dalam negeri atau produk lokal. Akan tetapi, dari penyusun nominal konstanta, justru ditetapkan adanya unsur biaya pajak impor.
"Kalau memang impor, itu kan komponen pajak impornya masih relevan. Sementara pemerintah saat ini sedang menggalakkan pemakaian avtur lokal. Hampir 60-70% porsi avtur dari lokal, nah kalau ditambah biaya itu (konstanta) apakah relevan? Nggak relevan," tegas Budi saat ditemui usai konferensi pers di kantor KPPU, Rabu (3/7).
Adapun penetapan konstanta HET dijelaskan Budi, merupakan angka dari batas atas avtur atau biaya termahal dalam pendistribusiannya, sebagai contoh di Papua. Padahal di Papua, bandara yang tersedia sedikit dan penggunaan avturnya minim.
Baca Juga: KPPU Panggil 7 Maskapai Penerbangan Soal Kartel Tiket Pesawat, 1 Tak Hadir
Oleh karena itu, KPPU mendorong Kementerian ESDM untuk merevisi Kepmen ESDM 17/2019 yang menurut Budi sudah lama tak ada evaluasi. Ini berbanding terbalik dengan provider avtur di negara lain yang rutin melakukan evaluasi harga jual avtur setiap dua bulan sekali.
"Kenapa ESDM sampai sekarang dibiarkan (tidak revisi)? Konsekuensinya harga avtur jadi paling mahal dan tidak kompetitif. Makanya banyak maskapai kita kalau ke luar negeri ngisinya di sana, jauh lebih murah," tuturnya.
Berdasarkan perhitungan estimasi KPPU terhadap data konsumsi avtur secara umum periode 2019-2023, dengan mengurangi besaran konstanta dari Rp3.581 per liter menjadi Rp2.000 per liter atau mendekati alpha BBM Rp1.800-Rp2.000 per liter. Dengan demikian, menurut Budi, biaya avtur dapat dihemat sekitar Rp24,8 triliun selama periode 5 tahun tersebut.
"Penghematan tersebut harusnya dapat berdampak pada harga tiket pesawat yang lebih murah dalam periode yang dimaksud," jelas Budi.
Seperti diketahui, komposisi avtur dalam struktur biaya pesawat mencapai 38-45% dari total biaya penerbangan. Akan tetapi, Budi menyatakan bahwa fakta biaya avtur di Indonesia relatif lebih tinggi kisaran 22-42% dari harga avtur di beberapa bandara se Asean atau negara terdekat.
Hanya Satu Provider
Permasalahan mahalnya tiket pesawat juga dipicu karena provider avtur di Indonesia hanya dilakukan satu perusahaan untuk seluruh bandara komersial di Indonesia. Dari sisi persaingan usaha, Budi menilai hal ini kurang sehat karena tidak ada proses persaingan antar-provider avtur.
"Kesempatan (multiprovider) sudah dibuka, tapi memang tidak mudah untuk membangun suatu jaringan di bandara untuk menyalurkan avtur. Karena, butuh perlengkapan dan lainnya yang menyebabkan provider berpikir ulang. Sempat ada dulu mau, tapi akhirnya mundur karena biayanya tinggi," jelas Budi.
Baca Juga: Kemenhub Evaluasi Tarif Batas Atas Tiket Pesawat
Adanya kendala tersebut membuat provider avtur satu-satunya saat ini membuka kesempatan kerja sama bagi provider avtur baru. Sayangnya, hal tersebut membutuhkan biaya lebih tinggi lagi.
Sementara itu, Budi mengaku jika KPPU juga telah menyarankan peluang kerja sama tersebut. Implementasi multiprovider tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme Open Access dan co-mingle untuk fasilitas penyimpanan dan distribusi avtur di lingkungan bandara. Hal ini sejalan dengan semangat UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas serta Peraturan BPH Migas Nomor 13 Tahun 2008.
Implementasi multiprovier tersebut juag harus disertai dengan perbaikan regulasi BPH Migas yakni pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 ayat 2 Peraturan BPH Migas 13/2008, serta penerbitan ketentuan teknis mengenai open access dan co-mingle yang dibutuhkan untuk operasional sistem multiprovider yang dimaksud.