c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

02 Mei 2023

13:40 WIB

RI Perlu Tingkatkan Hubungan Ekonomi Dengan China Dan ASEAN

Penguatan hubungan ekonomi dengan China dan ASEAN karena mempertimbangkn kondisi Amerika Serikat.

Editor: Fin Harini

RI Perlu Tingkatkan Hubungan Ekonomi Dengan China Dan ASEAN
RI Perlu Tingkatkan Hubungan Ekonomi Dengan China Dan ASEAN
Pengendara motor melintas di depan logo KTT ASEAN Summit 2023 di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (27/1/2 023). Antara Foto/Galih Pradipta

JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat bahwa Indonesia harus mengoptimalkan hubungan ekonomi dengan China, India, dan negara-negara ASEAN.

Penguatan relasi dengan mitra-mitra negara strategis tersebut dilakukan atas dasar Amerika Serikat (AS) yang masih mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi selama 9 bulan berturut-turut, ditambah ada potensi gagal bayar utang sebesar US$31,45 triliun per 31 Maret 2023.

“Tahun ini, kita tidak bisa berharap terlalu banyak dengan ekonomi AS. Selain tren ekonominya turun bahkan menuju situasi resesi, dan (ditambah) gejolak keuangan, seperti dinamika ini (potensi gagal bayar utang) akan berlangsung selama 2023,” ujar dia dalam acara Market Review yang diadakan IDX Channel secara virtual, Jakarta, Selasa (2/5), dilansir dari Jakarta.

Terdapat beberapa faktor yang dinilai Eko menjadikan optimalisasi hubungan ekonomi dan China dan ASEAN penting dilakukan. 

Pada 2023 dan 2024, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Asia akan lebih bersinar dibandingkan benua-benua lainnya. Hingga saat ini pun, Asia masih membukukan pertumbuhan positif.

Baca Juga: Gubernur BI Dorong Masyarakat Berbisnis Dengan China dan India

Sementara, pertumbuhan ASEAN yang diprediksi di atas 5%. Karena itu, momentum Keketuaan ASEAN 2023 Indonesia perlu dioptimalkan untuk memperkuat kerja sama negara-negara Asia Tenggara dengan Tanah Air.

Faktor kedua adalah percepatan pembukaan ekonomi China yang berpotensi meningkatkan permintaan negara lain untuk mengekspor maupun mengimpor barang. “Namun, jangan juga kita hanya ekspor barang mentah kalau ke China,” ucapnya.

Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi AS secara tahunan atau year on year (yoy) mengalami penurunan dari triwulan III/2022 di atas 3%, triwulan IV/2022 sebesar 2,6%, dan triwulan I/2023 menurun hingga 1,1%.

Apalagi, ada potensi AS gagal bayar utang atau goverment shutdown karena harus mengurangi belanja-belanja yang tidak penting akan berdampak terhadap ekonomi Negeri Paman Sam. 

Hal ini akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia dengan AS, yang saat ini masih surplus per Maret 2023 sebesar US$2,91 miliar.

“Jika ada sampai risiko gagal bayar, tentu lebih luas lagi dampaknya. Namun, kalau tidak terjadi kesepakatan di sana antara DPR dan pemerintah yang berujung pada government shutdown, tentu itu akan mengurangi aktivitas ekonomi AS dan kalau jatuh ke jurang resesi, pasti ada dampaknya ke neraca perdagangan di Indonesia, terutama surplus kita,” kata Eko.

Gagal Bayar Utang AS
Dalam kesempatan itu, Eko Listiyanto menyatakan AS pada praktiknya belum pernah gagal bayar utang kendati per 31 Maret 2023 total tunggakan negara tersebut mencapai US$31,45 triliun.

“Cukup sering fenomena terkait dengan batas utang Amerika yang kemudian memicu risiko gagal bayar, walaupun dalam praktiknya belum pernah Amerika sampai gagal bayar karena walaupun mungkin terjadi pro dan kontra, toh di ujung akhirnya biasanya secara politik kenaikan plafon utang disepakati (antara pemerintah AS dengan dan DPR AS),” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Janet Yellen pada Selasa waktu setempat atau Rabu WIB (26/4), dikutip dari Reuters, memperingatkan kegagalan Kongres untuk menaikkan plafon utang pemerintah-dan default yang dihasilkan-akan memicu "bencana ekonomi" yang akan mengirim suku bunga lebih tinggi hingga tahun-tahun mendatang. Default akan mengancam kemajuan ekonomi yang telah dibuat Amerika Serikat sejak pandemi covid-19.

Yellen, dalam sambutan yang disiapkan untuk acara Washington dengan eksekutif bisnis dari California, mengatakan default utang AS akan mengakibatkan hilangnya pekerjaan, dan mendorong pembayaran rumah tangga lebih tinggi untuk hipotek, pinjaman mobil, dan kartu kredit.

Dia mengatakan, Kongres bertanggung jawab untuk meningkatkan atau menangguhkan batas pinjaman US$31,4 triliun.

Baca Juga: Pemprov Bali Bidik Perluasan Pangsa Pasar Ekspor Ke ASEAN

Hingga saat ini, pemerintah AS dan DPR belum mencapai kata sepakat mengenai kondisi utang. Yellen dilansir dari CNN, Senin (1/5) menambahkan pemerintah AS bisa gagal bayar obligasi pada 1 Juni jika Kongres tidak menyepakati batas utang.

“Sepertinya belum ada deal dari pemerintah AS dengan DPR terkait apa yang harus dilakukan. Yang satu minta plafonnya dinaikkan, batasannya dinaikkan tanpa mengurangi berbagai macam penyesuaian untuk pengetatan anggaran, tapi yang satunya mungkin menerima untuk dinaikkan, tapi kemudian minta cukup besar sekali pemotongan anggaran untuk efisiensi,” sebut Eko.

Salah satu penyebab pembengkakan utang AS adalah besaran pembiayaan yang tinggi dikeluarkan untuk penanganan pandemi covid-19, lalu berimbas terhadap perekonomian Negeri Paman Sam, dan mendorong para pemangku kepentingan negara tersebut menyepakati untuk menaikkan plafon utang pada tahun 2021.

Memasuki tahun 2023, keadaan serupa terjadi kembali di AS kendati Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu sudah mencapai 121% yang artinya masih mampu mengimbangi utang AS.

“Namun, tentu saja karena ini sudah melampaui dari threshold yang sudah ditetapkan oleh pemerintah mereka, sehingga yang harus dilakukan adalah upaya antara untuk menurunkan atau menaikkan. Kalau menaikkan kembali, tentu saja secara politik mungkin, tapi mungkin juga akan menimbulkan persepsi di dalam konteks global terhadap surat utang AS sendiri karena ratingnya juga turun,” ucap Eko.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar