14 Desember 2022
15:48 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menilai, rencana impor beras dalam waktu dekat merupakan pukulan telak bagi petani, bahkan bagi pemerintah sendiri. Menurutnya, klaim swasembada beras beberapa waktu lalu oleh pemerintah ternyata merupakan omong kosong belaka
Slamet secara tegas menolak rencana pemerintah tersebut, karena impor beras kali ini merupakan ekses dari buruknya tata kelola beras oleh pemerintah sendiri.
Pemerintah melalui Perum Bulog, dikabarkan sepakat untuk mengimpor beras sebesar 600 ribu ton, mengingat semakin menipisnya Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di akhir 2022.
Tahapan importasi beras ini akan dibagi menjadi beberapa termin sampai stok CBP terpenuhi. Menurut Kepala Bulog Budi Waseso, impor beras ini dilakukan untuk mengamankan stok CBP yang mulai menipis yakni tersisa hanya 500 ribu ton atau di bawah standar stok CBP sebesar 1,2-1,5 juta ton.
“Terlihat dari rendahnya data serapan Perum Bulog saat panen raya (Maret-Mei 2022), yang hanya mencapai sekitar 41 ribu ton saja. Sehingga Bulog tidak bisa mengamankan stok CBP di akhir tahun,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (14/12).
Slamet melanjutkan, meski data BPS yang juga diadopsi oleh Kementan menunjukkan bahwa terdapat surplus beras sebanyak 1,7 juta ton yang tersebar di masyarakat, pada akhirnya Bulog tetap kesulitan menyerap beras petani.
Karena, harga beras petani yang sudah melambung jauh, sehingga pemerintah harus melakukan impor.
“Seharusnya pemerintah duduk bersama untuk menentukan kebijakan beras nasional, khususnya dalam menyambut panen raya, yang merupakan kesempatan untuk memenuhi cadangan beras pemerintah,” tegasnya.
Dia juga mengungkapkan, pemerintah juga semestinya sudah memetakan persoalan beras sejak awal. Kurang cairnya komunikasi antar lembaga, khususnya terkait data, merupakan salah satu alasan teknis yang kerap terjadi dalam pengambilan keputusan.
Sekali lagi, data surplus beras nasional oleh BPS dan Kementan di tengah rencana impor beras Bulog, menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang mengklaim terjadinya kecukupan beras nasional.
Apalagi Presiden Jokowi menyatakan, bahwa Indonesia sudah tidak impor beras di tiga tahun terakhir.
Selain rendahnya penyerapan beras di masa panen raya 2022, Slamet juga menyoroti, data Kementan juga masih harus diverifikasi di lapangan. Pasalnya, adanya simpangan perbedaan data yang cukup besar selama proses verifikasi yang dilakukan Bulog
“Misalnya, data Kementan menunjukkan ada data 65.000 ton di penggilingan, namun setelah diverifikasi hanya terdapat sekitar 500 ton,” papar Slamet.
Baca juga: Polemik Ketahanan Pangan, Pentingnya Opsi Impor Beras Terencana
Konfirmasi Masalah Data Lapangan
Melansir Antara, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan pihaknya hanya bisa menyerap 166 ribu ton beras di tingkat penggilingan. Jumlah ini terbilang rendah dari data ketersediaan 600 ribu ton yang disampaikan oleh Kementan untuk memenuhi stok cadangan beras.
"Sampai Desember dengan para penggilingan yang tadi, itu ada 166 ribu ton yang kita dapat mungkin akhir tahun ini," kata Budi Waseso, Rabu (7/12).
Buwas mengatakan, pihaknya bersama dengan Satgas Pangan, TNI, Polri, mengecek langsung ke lapangan untuk mengonfirmasi data yang disampaikan Kementan untuk bisa diserap oleh Bulog. Dari pengecekan tersebut, banyak didapatkan ketidaksesuaian data yang disampaikan oleh Kementan dengan fakta di lapangan.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Suyamto menyampaikan sejumlah laporan hasil pengecekan di lapangan dari data yang disampaikan oleh Kementan.
Sebagai contoh, data yang diberikan Kementan untuk penggilingan di Karawang, Jawa Barat yaitu CV Lumbung Padi disebutkan memiliki stok 50 ribu ton. Namun, saat dicek oleh Bulog hanya memiliki 20 ton gabah di gudangnya.
Selanjutnya, Kementan menyampaikan terdapat 45 ribu ton beras di penggilingan UD Makmur Barokah. Akan tetapi, fakta di lapangan hanya terdapat 1.000 ton beras yang dijual ke Bulog dengan harga Rp11 ribu/kg.
Bulog sendiri mengakui, tidak bisa membeli beras dengan harga tersebut karena harga acuan beras di penggilingan berdasarkan data BPS di kisaran Rp10 ribu/kg. "Bulog tidak bisa membelinya, karena harganya tidak wajar," kata Suyamto.
Selain itu, terdapat juga kesalahan penyampaian informasi yang disampaikan Kementan terhadap penggilingan di Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara yang disebut memiliki 15.410 ton beras, namun ternyata hanya 15.410 kg atau setara 15,41 ton beras.
Penyampaian data beras yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan juga sebelumnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Hal tersebut disampaikan oleh Dirut Bulog Budi Waseso pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI November lalu.
Penyampaian data beras oleh Kementan untuk diserap Bulog bertujuan agar BUMN pangan tersebut dapat memenuhi stok cadangan beras yang mulai menipis.

Urgensi Penambahan Stok Beras
Pemerintah melalui Badan pangan Nasional secara penuh menjamin dan memastikan ketersediaan pangan masyarakat secara berkelanjutan. Lewat pengamanan stok dan kesiapan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP), termasuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Kepala Bapanas (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, stok CPP saat ini, khususnya beras perlu ditambah. Stok tersebut berfungsi sebagai instrumen stabilisasi gejolak harga dan untuk mengantisipasi kondisi darurat.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah akan menyiapkan 200 ribu ton beras komersial di luar negeri yang sewaktu-waktu dapat dibawa ke Indonesia.
"Cadangan pangan ini harus ada dan tidak dikeluarkan secara bebas, hanya digunakan untuk beberapa kegiatan pemerintah," ujar Arief, Rabu (7/12).
Di antaranya, penggunaan untuk penanggulangan bencana, intervensi harga jika diperlukan, dan beberapa kegiatan pemerintah lainnya. "Penggunaannya akan diawasi secara ketat, untuk memastikan tidak masuk ke pasar," jelasnya.
Dia menegaskan, beras tersebut tidak akan mengganggu beras petani, karena hanya digunakan untuk kegiatan pengendalian harga dan pemenuhan pangan di tengah kondisi darurat.
Pemerintah, akunya, berpihak penuh kepada para petani lokal, sehingga keberadaan cadangan ini akan dijaga agar tidak merusak harga beras petani.
“Kita juga secara konsisten terus memantau dan menjaga harga penyerapan gabah atau beras lokal di tingkat petani tetap wajar. Misi kita mewujudkan petani sejahtera, pedagang untung, masyarakat tersenyum,” ujarnya.
Arief menerangkan, beras komersial ini merupakan persediaan akhir tahun sampai menunggu panen raya pada Februari-Maret 2023.
"Kita siapkan pada Februari-Maret 2023 agar Bulog dapat menyerap saat panen raya tiba untuk men-top up stoknya kembali sampai dengan 1,2 juta ton. Hal ini diperlukan dalam rangka menjaga floor price di tingkat petani, dan berikutnya dikeluarkan pada saat produksi beras berkurang di akhir tahun," katanya.
Upaya pemenuhan Beras ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk memastikan kebutuhan pangan seluruh masyarakat terpenuhi. Dalam Sidang Kabinet di Istana Negara (Selasa, 6/12), Presiden kembali mengingatkan agar semua waspada, sehingga kebutuhan beras harus betul-betul dihitung.
Presiden juga meminta dalam pemenuhan kebutuhan beras ini kementerian dan lembaga terkait saling berkoordinasi dan berkolaborasi. Arief menambahkan pemenuhan cadangan beras ini tidak serta-merta menunjukkan produksi beras nasional tidak mencukupi.
Hingga pekan I Desember 2022, Bapanas mencatat, Indonesia masih memiliki stok beras sebanyak 6,24 juta ton. Tersebar paling banyak di rumah tangga (3,21 juta ton); penggilingan (1,31 juta ton); pedagang (869.771 ton); Bulog (494.202 ton); Horeka sekitar (316.297 ton); dan Pasar Induk Beras Cipinang (31.601 ton).
Dengan data stok beras di atas, ketahanan beras yang dimiliki Indonesia mampu memenuhi kebutuhan untuk konsumsi masyarakat selama 76 hari. Asumsinya, setiap hari beras yang dikonsumsi nasional berkisar 82.471,48 ton.