09 Desember 2022
17:41 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menyebutkan, ketahanan pangan nasional terancam karena belum tercukupinya stok beras. Kondisi ini menunjukkan, kebijakan tata niaga beras yang lebih longgar, sebenarnya akan dapat menghindari kondisi seperti ini.
Hingga kini, pelonggaran tata niaga beras berupa impor tidak dilakukan dan bersifat reaktif. Hasran menilai, impor beras mesti terencana dan didasarkan atas perkiraan produksi dan harga di dalam negeri.
“(Impor beras terencana) akan dapat mencegah terjadinya ancaman kekurangan stok beras nasional Perum Bulog, seperti yang terjadi sekarang ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (9/12).
Sebelumnya, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi telah memperingatkan, stabilitas pangan nasional akan berada pada situasi yang sangat berbahaya. Apabila Bulog tidak bisa menambah stok beras hingga 1,2 juta ton sampai akhir 2022.
Seperti diketahui, mengacu laporan Ombudsman, hingga 6 Desember 2022, total stok beras yang dimiliki Bulog mencapai 503.000 ton, di mana sebanyak 61%-nya merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Situasi yang berkembang akan semakin pelik, mengingat stok Bulog yang sudah rendah ini pasti akan terus menurun karena fungsi intervensi pada kondisi tertentu.
Saat harga tinggi atau ada kejadian luar biasa, seperti bencana gempa di Cianjur baru-baru ini.
Penyerapan beras Bulog, menurut Arief, seharusnya dilakukan di semester pertama. Bila dilakukan sekarang untuk menyerap 1,2 juta ton beras akan sulit, karena tingginya harga gabah di pasar.
Hasran melanjutkan, selama ini solusi impor yang ditempuh hanya bersifat reaktif. Untuk itu, impor yang dilakukan terencana dari jauh-jauh hari menjadi penting, karena ketersediaan cadangan beras tidak mencukupi hingga waktu panen mendatang yang baru akan mulai terjadi pada Februari 2023.
“Bulog mengalami kesulitan dalam menyerap beras dalam negeri, mengingat harga gabah yang sudah lebih tinggi dari harga beli Bulog yang sekitar Rp4.200/kg,” sebutnya.
CIPS menganggap, impor juga merupakan solusi logis. Apalagi jika ditambah fakta bahwa harga beras nasional cenderung masih lebih mahal dibandingkan di pasar internasional, termasuk di beberapa negara tetangga, seperti Filipina dan Thailand.
Hasran mengatakan, proses produksi beras Indonesia sendiri belum efisien dan ini menjadikan harganya lebih tinggi. Sementara itu, kualitasnya pun belum seragam.
"Melihat urgensi perlunya kepastian Perum Bulog memiliki stok yang mencukupi, seharusnya pemerintah mempertimbangkan opsi impor beras selain penyerapan dari dalam negeri,” ujar Hasran.
Dalam jangka yang lebih panjang, CIPS merekomendasikan upaya peningkatan produktivitas pangan. Serta melakukan upaya peningkatan kapasitas petani, termasuk dengan adopsi teknologi pertanian, modernisasi, hingga menarik investasi di bidang pangan dan pertanian.
“Proses produksi yang efisien merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya saing beras dalam negeri,” bebernya.
Masalah Harga Beras
Melansir Antara, Mentan Syahrul Yasin Limpo menegaskan, dirinya tidak mempermasalahkan soal kebijakan impor beras. Namun, bagaimana mengatasi masalah harga beras.
"Yang masalah kan bukan impor atau tidak, tapi kenapa harga ini kita sikapi secara bersama. Saya, Mendag (Menteri Perdagangan), dan semua agar menyikapi, mungkin saja kan ini masalah perdagangan yang harus kita selesaikan," kata Syahrul, Selasa (6/12).
Pada informasi sebelumnya, Mendag Zulkifli Hasan mengatakan, sudah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton kepada Perum Bulog. Impor bertujuan untuk memenuhi CBP yang sudah menipis jelang akhir 2022.
Perum Bulog terancam hanya memiliki stok akhir sekitar 200 ribu ton beras hingga akhir 2022. Per 22 November 2022, stok beras yang ada di Bulog tercatat sebanyak 594.856 ton; terdiri atas 168.283 ton (28,29%) beras komersial dan 426.573 (71,71%) stok cadangan beras pemerintah (CBP).
Padahal, Kementan menyebut, data stok beras di penggilingan mencapai 610.632 ton yang tersebar di 24 provinsi dengan rentang harga Rp9.359-11.700/kg.
"Kan kesepakatan negara, data negara itu ada di BPS dan standing crop kita, data dari satelit juga aman, kemudian laporan dari gubernur dan bupati juga aman. Kalau ada dinamika harga seperti itu, penyikapannya harus bersama," ungkap Syahrul.
Mentan menyebutkan, soal CBP adalah soal kebijakan, bukan masalah ada atau tiadanya beras.
"Sebaiknya yang menjawab itu adalah data bahwa secara faktual di lapangan, rakyat mau menjual dengan harga yang lebih mahal karena 'cost' produksi ada kenaikan," tambah Mentan.
Namun, Syahrul menyebutkan, Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar ada faktualisasi data dan bukan hanya melihat data di atas kertas.
"Kenapa harganya mahal? Negara harus ada (untuk) mem-backup harga, ketersediaan cukup, harga juga terjangkau," tambahnya.