18 Agustus 2025
15:15 WIB
RAPBN 2026 Bidik Pertumbuhan Ekonomi 5,4%, Ekonom: Sangat Sulit
Target pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah tahun 2026 dinilai jauh dari proyeksi yang disampaikan oleh berbagai lembaga dunia termasuk IMF, World Bank, dan lainnya.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Momen Presiden Prabowo Subianto mencium bendera Merah Putih sebelum diserahkan kepada pengibar bendera saat perayaan HUT RI Ke-80 di Istana Negara, Jakarta, Minggu (17/8). Dok Tim Media Presiden
JAKARTA - Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menilai, target pemerintah yang membidik pertumbuhan ekonomi 5,4% di 2026 sulit dicapai. Hal ini diakibatkan kondisi ketidakpastian global yang masih memengaruhi semua negara, tak terkecuali Indonesia.
“Akan sangat sulit, agak lebih sulit (pertumbuhan ekonomi) kita mencapai target 5,4% atau asumsi 5,4% yang disebutkan di dalam RAPBN (2026),” ujarnya dalam media briefing 'RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal', Jakarta, Senin (18/8).
Baca Juga: IMF Revisi Naik Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 4,8%
Sebagai latar belakang, Yose menyorot target pertumbuhan ekonomi milik pemerintah itu terlampau tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan badan ekonomi dunia yang sebelumnya telah merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan beberapa negara termasuk Indonesia di 2026.
Sebagai catatan, sebelumnya dalam IMF melalui laporan Economic Outlook pada Januari lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 3,3%, sebelum akhirnya dikoreksi pada Juli menjadi 3,1%.
Spesifik untuk Indonesia, terdapat revisi proyeksi dari awal di kisaran 5,1% menjadi 4,8%. Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah Indonesia bahkan lebih tinggi dari prediksi awal IMF sebelum meningkatnya tensi gejolak global, termasuk konflik geopolitik dan kebijakan tarif dagang yang belakangan terjadi.
“Berbagai isu-isu yang terkait dengan ketidakpastian geopolitik, ketidakpastian dalam hal kebijakan ekonomi, serta respons dari berbagai negara-negara di dalam kebijakan-kebijakannya, sehingga kalau kita lihat pada tahun 2026, kondisi ekonomi dunia diperkirakan akan melemah,” imbuh Yose.
Refleksi Harga dan Komoditas
Guna melihat kondisi riil di lapangan yang menjadi faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, Yose juga menyorot adanya penurunan pada harga dan permintaan terhadap komoditas ekspor unggulan Indonesia, yang terdiri dari CPO, batu bara, nikel, dan natural gas.
“Tiga atau empat komoditas ini mencakup sekitar 40% dari ekspor Indonesia, dan keempat-empatnya sudah mengalami pelemahan harga yang cukup dalam dibandingkan dengan dua atau tiga tahun lalu,” tambahnya.
Baca Juga: Banggar Nilai Kuartal II/2025 Tunjukkan Tanda Perbaikan Perekonomian
Tak berhenti sampai di situ, Yose melihat bahwa penurunan harga dan permintaan terhadap komoditas andalan Indonesia tersebut akan terus berlangsung dan secara nyata berpengaruh terhadap perekonomian.
“Kalau harga komoditas naik, pertumbuhan ekonomi kita juga naik. Tetapi juga kebalikannya, kalau harga komoditas turun, kemungkinan pertumbuhan ekonomi kita juga akan turun. Jadi kembali lagi, akan sangat sulit, agak lebih sulit kita mencapai target 5,4%,” tegasnya.
Lebih lanjut, Yose menyorot bagaimana penurunan harga dan permintaan ekspor juga akan berpengaruh terhadap penerimaan negara. Menurutnya, penerimaan negara selama 2022-2024 sangat disokong oleh penerimaan pajak ekspor yang berkontribusi tinggi.
“Karena sekarang ini ada pelemahan tersebut (harga komoditas), kita bisa melihat bahwa pemerintah mungkin akan mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan penerimaan dari pajak ekspornya, tidak lagi sekuat tahun-tahun sebelumnya,” kata Yose.