16 Mei 2024
10:57 WIB
Ramai Istilah Friendshoring Dan Technological Decoupling, Apa Itu?
Banyak negara mulai beradaptasi dan mencari pola baru rantai pasok dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing, seperti fenomena friendshoring dan technological decoupling.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Proses bongkar muat peti kemas berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (13/2/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan
JAKARTA - Ekonom dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), David Christian menyampaikan terdapat dua perubahan fenomena rantai pasok global dalam perdagangan dan industri di dunia, terlebih usai adanya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Dua perubahan fenomena ini dikenal dengan dua istilah, yaitu friendshoring dan technological decoupling.
Penyebab munculnya dua fenomena ini menurut David, ditengarai oleh tiga peristiwa besar dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, gempa bumi besar berkekuatan 9,0 magnitudo di kawasan Tohoku Jepang pada 2011 silam. Kedua adalah pandemi covid-19 pada 2019-2021, dan ketiga konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang mulai terjadi pada 2022.
Adanya tiga peristiwa besar dunia tersebut telah mengubah rantai pasok global yang semula berbasis pada Just In Time atau efisiensi waktu menjadi Just In Case atau berjaga-jaga. Rantai pasok berbasis efisiensi waktu, kata David, rawan mengalami gangguan usai adanya tiga peristiwa besar tersebut.
“Misalnya waktu covid-19, berbagai hambatan alat seperti masker. Lalu gempa Jepang juga mempengaruhi rantai pasok otomotif dunia. Perang Rusia-Ukraina juga mengganggu pasokan ekspor gas alam bagi Eropa dan Jerman,” jelas David dalam Gambir Trade Talk #14 – 2024, ditulis Kamis (16/5).
Terjadinya tiga peristiwa besar tersebut mendorong seluruh negara bertahan dan beradaptasi dengan mendiversifikasi rantai pasok mereka agar tidak bergantung hanya pada satu atau sedikit negara.
Secara umum, tiap negara pun berusaha mengubah pemenuhan rantai pasok dengan menjalin kerja sama negara-negara yang lebih dekat. Hal ini yang memicu lahirnya fenomena friendshoring dan technological decoupling.
David menjelaskan, fenomena friendshoring adalah upaya relokasi fasilitas produksi, atau memperdalam koneksi rantai pasok, atau juga melakukan pencarian barang-barang input dari negara-negara yang memiliki kesamaan kepentingan dan posisi geopolitik atau disebut dengan istilah friendly. Ini tentunya bertujuan untuk mengurangi gangguan bisnis dari negara yang tidak memiliki kepentingan dan geopolitik yang tidak sejalan.
“Tujuan akhirnya ya untuk meningkatkan keamanan nasional,” ujar David.
Baca Juga: Polytron Dan IMEC Berkongsi Dukung RI Garap Bisnis Semikonduktor
Tiga Model Friendshoring
Pada fenomena friendshoring ini, David menyampaikan terdapat tiga model yang terjadi di dunia saat ini. Pertama adalah negara yang melakukan pendekatan friendshoring, memindahkan atau mengalihkan produksi mereka dari negara yang tidak sejalan kepentingan dan geopolitiknya, namun telah bekerja sama. Produksi dari negara tersebut pun dipindahkan ke negara yang dianggap lebih friendly terhadap negara pelaku friendshoring.
Model kedua, memperkuat relasi perdagangan dan pemenuhan rantai pasok dengan negara yang dinilai telah sejalan geopolitik tadi. Misalnya, semula hanya menjual kebutuhan rantai pasok 100 buah, naik menjadi 500 buah. Ketiga yaitu negara pelaku friendshoring akan lebih memilih menanam investasi baru dan memperbanyak investasinya di negara-negara yang dianggap friendly.
Menurut David, sejumlah contoh yang telah melakukan dan akan melakukan friendshoring. Antara lain, Samsung, Foxconn, Nike yang memindahkan fasilitas produksi dari China ke Vietnam, industri otomotif yang mulai memindahkan produksi dari China ke Meksiko, dan industri semikonduktor seperti TSMC yang berdiri di Taiwan dan akan mendirikan fasilitas produksi di Amerika agar dekat dengan pasar Amerika. Sementara potensi perubahan menjadi friendshoring ini juga diprediksi dan telah terjadi di banyak industri farmasi, baterai listrik, sepatu, energi, dan lainnya.
“Friendshoring ini tentunya memiliki tujuan untuk mengamankan akses pasar, mendekatkan produksi ke konsumen akhir, perusahaan yang melakukan juga didampingi pertimbangan biaya pekerja dan ketersediaan kemampuan pekerja,” ungkapnya.
Fenomena ini dijelaskan David sudah sangat terlihat pada perdagangan China dan AS. Terdapat tren intensif terhadap relokasi sejumlah produksi industri dari China beralih ke negara-negara Asean, utamanya Vietnam. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperoleh akses pasar ke Amerika. Karena, ketika perusahaan China ingin mengekspor ke Amerika, maka harus melalui Vietnam yang dianggap lebih friendly terhadap Amerika.
Relokasi ini juga banyak terjadi dalam perjanjian dagang, salah satunya perjanjian United State–Mexico–Canada Agreement (USMCA). Ini artinya friendshoring terjadi dalam konteks perdagangan regional, dan salah satu upaya pemikatnya adalah dengan pemberian tarif yang lebih murah dan kompetitif.
Perubahan akibat friendshoring ini terbukti dari makin hilangnya marketshare China dalam impor Amerika di rentang waktu 2017-2022. Di sisi lain, Vietnam, Taiwan, India, Kanada, Korea, dan Meksiko justru memiliki andil yang makin bertambah di impor Amerika. Ini tentunya karena negara-negara tersebut memiliki kesamaan atau kemiripan kepentingan dan geopolitik.
Baca Juga: AS Lirik Indonesia Jadi Destinasi Investasi Cip Semikonduktor
Technological Decoupling
Fenomena kedua selain friendshoring adalah adalah technological decoupling, yakni usaha pembatasan akses dan pembatasan ekspor, atau pengurangan ketergantungan terhadap teknologi tertentu atau barang berkonten teknologi yang dianggap strategis relatif dengan negara rival.
“Biasanya dalam bentuk membatasi akses atau ekspor terhadap teknologi ke negara lawan,” tutur David.
Latar belakang fenomena ini utamanya adalah rivalitas antarnegara, seperti China dan AS yang fokusnya untuk keamanan nasional, pencurian HAKI, dan spionase. Teknologi, terutama level atas atau high-end sering dilihat sebagai sumber daya strategis, dan dianggap perlu untuk mendukung keamanan nasional dan daya saing ekonomi. Apalagi jika teknologi tersebut memiliki aplikasi militer.
“(Spionase), misalnya seperti wawancara Kongres AS terhadap CEO TikTok,” kata David.
Contoh lain disampaikan David yang paling signifikan yaitu, pada Mei 2019 pemerintah AS memasukkan Huawei ke dalam entity list. Huawei diketahui merupakan salah satu perusahaan teknologi terbesar di China. Sedangkan entity list adalah daftar perusahaan yang dibuat pemerintah AS yang isinya merupakan perusahaan yang dianggap berpotensi menimbulkan bahaya bagi AS.
Jadi, pemerintah AS melarang perusahaan AS melakukan ekspor teknologi dan komponen penting ke perusahaan-perusahaan yang masuk dalam entity list, kecuali telah memperoleh izin dari pemerintah AS.
“Ini tentunya jadi menghambat Huawei untuk bergabung dalam rantai pasok perkembangan 5G, dan memaksa Huawei untuk mengembangkan teknologi sendiri bahkan membuat OS sendiri, yang kemudian diblokir oleh pemerintah AS dan tidak bisa digunakan untuk android,” imbuh David.
Sementara itu, teknologi yang berpotensi mengalami fenomena technological decoupling adalah semikonduktor yang termasuk kategori high end, 5G atau 6G networks atau jaringan telekomunikasi, Artificial Intelligence (AI), quantum computing, big data, nanoteknologi, advanced material, bioteknologi, dan space technology.
Sementara dua industri yang berpotensi mengalami fenomena friendshoring dan technological decoupling adalah industri semikonduktor dan industri baterai lithium ion serta kendaraan listrik. Industri semikonduktor disebutkan David memiliki potensi yang sangat penting ke depannya, karena hampir seluruh perangkat komunikasi yang ada saat ini dan alat modern didukung oleh semikonduktor.
“Bahkan saking pentingnya, semikonduktor ini bisa menggantikan posisi minyak,” pungkas David.