07 Maret 2024
08:00 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Produksi susu segar dalam negeri (SSDN) sampai saat ini masih mengalami berbagai kendala, mulai dari hulu produksi hingga hilir produk susu. Di hulu, kondisi usaha peternakan sapi perah Indonesia sebagai penghasil susu segar, belum memenuhi skala usaha ideal.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Dirjen PKH Kementan) Nasrullah menjelaskan, peternakan sapi perah di Indonesia sedikitnya 90% didominasi oleh peternakan rakyat.
Dia menyebutkan peternakan sapi perah RI skala kepemilikan sapi perah sebanyak 2-3 ekor per peternak. Sementara angka idealnya sebanyak 7-10 ekor sapi perah per peternak.
"Jadi belum memenuhi skala usaha ideal, yaitu minimal 7-10 ekor/peternak. Usaha peternakan umumnya dikelola belum berorientasi bisnis tapi masih berupa usaha sampingan," kata Nasrullah kepada Validnews, Rabu (6/3).
Selain produksi, ada kendala lainnya, produksi dan kualitas susu segar juga kurang memadai. Nasrullah menyebutkan rata-rata produksi susu nasional sebesar 12,47 liter/ekor/hari.
Produksi pun makin tak optimal lantaran ada wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) sejak 2022 lalu. Dia menjelaskan sapi perah yang sembuh dari penyakit PMK sulit mengembalikan produksi susu ke kondisi normal sebelum terserang PMK.
PMK yang menyerang hewan ternak sejak 2022 itu pun berdampak buruk menurunkan produksi susu segar dalam negeri (SSDN).
"Terjadi penurunan populasi sapi perah dan penurunan produksi yang signifikan, dengan rataan 10% mortalitas dan 30% penurunan produksi SSDN," kata Nasrullah.
Dia menambahkan peternak sapi perah pun belum menerapkan Good Farming Practices dan Good Handling Practices secara baik dan menyeluruh. Meski demikian, Nasrullah menilai tren kualitas susu segar makin membaik sekarang ini.
"Kualitas susu segar dalam negeri belum semua memenuhi standar SNI Susu Segar dengan TPC<1 juta cfu/ml, TS<11,3%," papar Dirjen PKH Kementan.
Dia juga menyampaikan kendala lain berupa keterbatasan lahan untuk penyediaan pakan hijauan, khususnya di Pulau Jawa. Padahal Jawa merupakan sentra peternakan sapi perah RI. Ditambah lagi, sambungnya, ada kekeringan akibat El Nino.
"Terjadinya kekeringan di Indonesia akibat El Nino memengaruhi ketersediaan pakan hijauan ternak, yang akhirnya menyebabkan produksi dan kualitas susu segar yang dihasilkan menjadi rendah," katanya.
Baca Juga: Lampu Kuning Produksi Susu Sapi Asli Indonesia
Kemitraan Tak Memadai
Kemudian di hilir, setelah melewati proses perah dan menjadi produk susu segar, ada masalah harga. Nasrullah mengakui harga jual susu segar di peternak itu minim, sehingga tidak bisa menutup biaya produksi dan pakan yang tinggi.
Dia menerangkan berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), harga susu segar peternak sekitar Rp8.200-Rp8.500/liter tergantung kualitasnya. Dalam 10 tahun, harga rata-rata SSDN hanya naik Rp.2.200/liter atau Rp220/liter/tahun.
"Harga susu segar yang cenderung stagnan dengan kenaikan yang rendah tersebut, tidak mampu menutup biaya produksi yang tinggi termasuk harga pakan," jelas Nasrullah.
Kendala yang perlu diperhatikan juga, Nasrullah mengatakan kemitraan antara peternak, koperasi sapi perah dan industri pengolahan susu belum sepenuhnya dijalankan sesuai prinsip kemitraan.
"Saat ini, terdapat 84 industri pengolah susu skala menengah dan besar di Indonesia, namun baru 14 industri pengolah susu yang bermitra dengan koperasi atau peternak," tegasnya.
Baca Juga: Cerita Soal Segelas Susu
Konsumsi Susu dan Minat Kerja di Sektor Peternakan Rendah
Di samping masalah teknis persusuan nasional, Dirjen PKH Kementan menyoroti minimnya tingkat konsumsi susu di Indonesia, serta rendahnya minat generasi muda bekerja di sektor peternakan sapi perah.
Nasrullah menuturkan tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Ia menyebutkan tingkat konsumsi susu nasional sekitar 16,27 kg/kapita/tahun.
Merujuk pada Human Development Index (HDI) tahun 2022, lanjutnya, Indonesia menempati peringkat ke-5 untuk se-ASEAN, jauh di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand untuk konsumsi susu per kapita. Di sisi lain, keterjangkauan produk susu kepada tiap lapisan masyarakat juga tidak merata.
"Masih rendahnya konsumsi susu masyarakat Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya dan tidak meratanya keterjangkauan produk susu kepada setiap lapisan masyarakat berdampak pada kualitas SDM Indonesia," ujar Nasrullah.
Dirjen PKH Kementan itu pun menilai anak-anak muda kurang berminat bekerja di sektor peternakan sapi perah. Menurutnya, itu akan menyebabkan terhambatnya regenerasi peternak ke depannya. Jika begitu, pertumbuhan persusuan nasional pun bisa menurun.
"Sehingga perlu upaya menumbuhkan minat anak-anak muda menjadi peternak milenial yang dapat mengembangkan persusuan dalam negeri melalui penerapan teknologi dan inovasi," tutup Nasrullah.