c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

20 Februari 2024

21:00 WIB

Lampu Kuning Produksi Susu Sapi Asli Indonesia

Pemerintah dianggap minim political will memperbaiki peternakan sapi perah di Indonesia. Imbasnya, produksi susu sapi nasional rendah. Kebutuhan ditutupi impor.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

Lampu Kuning Produksi Susu Sapi Asli Indonesia
Lampu Kuning Produksi Susu Sapi Asli Indonesia
Pekerja membawa susu sapi hasil perahan di Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, Selasa (10/10/2023). Antara Foto/Walda Marison

JAKARTA – Susu dan perbaikan gizi menjadi dua hal yang belakangan kondang sekali. Ya, kampanye pasangan calon Prabowo-Gibran dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakilnya, menjadikan dua hal itu naik daun. Pasangan ini mencanangkan pembagian susu dan makan siang gratis untuk warga negeri jika terpilih.  

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menegaskan pemberian susu dan makan siang gratis itu diprioritaskan setelah pasangan tersebut dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

"Pak Prabowo harapannya akan lebih cepat lebih baik karena rakyat juga mengharapkan Program makan siang dan susu gratis bisa direalisasikan secepatnya," kata Muzani saat ditemui di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (16/2).

Dikutip dari Antara, Muzani menguraikan, fokus program tersebut ditujukan khususnya kepada anak-anak dan ibu hamil, demi memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) sejak dini. Program perbaikan gizi ini juga dimaksudkan untuk menangani tengkes atau stunting pada bayi.

Antusiasme warga pemilih pasangan ini dan mereka yang berseberangan belakangan membahas program itu. Ada yang antusias, ada pula tentu yang sanksi. 

Selanjutnya, bagaimana dengan pelaku usaha susu sapi? Mereka terkesan skeptis terhadap pelaksanaan program itu. 

"Seperti apa (pelaksanaannya), ini masih skeptis ya kita melihatnya. Wong sekarang saja peternak terima harga juga tidak layak, untuk produksi tidak menutup. Mau impor sapi besar-besaran, siapa yang mau pelihara?" kata Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito, kepada Validnews, Senin (19/2).

Meski mengaku mengapresiasi program pembagian susu gratis untuk mendongkrak gizi, banyak faktor yang membuat Agus ragu. Masalah paling dasar, Agus menyebutkan produksi susu sapi lokal hanya 15%, sedangkan sisanya 85% berasal dari impor. Dia menyebutkan kandungan gizi, vitamin dan mineral susu jadi berkurang karena kebanyakan susu diimpor dalam bentuk bubuk atau skim yang sudah melalui proses pemanasan.

"Hari ini 85% susu impor, itu ibaratnya warga Indonesia konsumsi air rasa susu. Karena apa? Kandungan vitamin susu impor pasti sudah turun drastis. Persoalannya, ketika impor susu masif, itu menjawab tantangan keinginan konsumen mendapatkan harga murah," ujar Agus.

Produksi susu sapi segar di dalam negeri yang jauh di bawah kebutuhan nasional sudah berlangsung lama. Bahkan, produksi susu segar pun relatif stagnan dalam kurun 20 tahun terakhir, sehingga bisa dikatakan produktivitas susu sapi segar dalam kondisi "lampu merah".

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana saat berbincang dengan Validnews, Senin (19/2).  

Teguh menerangkan produksi susu segar dalam negeri saat ini hanya mampu menopang 20% kebutuhan susu nasional. Itu pun terjadi di tengah konsumsi susu per kapita per tahun yang masih sangat rendah. Bahkan, dia sebut konsumsi susu warga Indonesia adalah yang terendah di antara negara Asean. 

"Kalau kita lihat kondisi persusuan di negara kita saat ini, tidak berlebihan kalau kita sebut peternakan sapi perah, khususnya milik rakyat dalam kondisi 'lampu merah', tercermin dari produksi susu segar dalam negeri relatif stagnan hampir lebih dari dua dekade," ujarnya.

Di Indonesia, konsumsi susu hanya sekitar 16 liter/kapita/tahun. Sebagai perbandingan, angka konsumsi di negeri jiran, Malaysia bisa mencapai 36 liter/kapita/tahun. Lebih dari dua kali lipat konsumsi Indonesia, bukan? 

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau (PPSKI), Nanang Subendro bahkan menyebut kontribusi produksi susu dalam negeri saat ini kiat susut. Hal yang bisa dipenuhi dari produksi susu lokal bahkan di bawah 15% dari total kebutuhan.

Salah satu penyebabnya, penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang ternak membuat banyak indukan sapi yang mati. Apabila bisa diselamatkan pun dari PMK, produktivitasnya tak bisa balik seperti semula, bisa turun 20-40%. Dari yang tadinya satu ekor sapi bisa memproduksi susu 14 liter/hari, kini hanya 10 liter/hari.

"Itu tidak mencukupi kebutuhan nasional, bahkan makin turun, mungkin di bawah 15%. Turunnya cukup signifikan, jadi ini kerusakan yang ditimbulkan virus PMK, produktivitasnya tidak pulih seperti semula lagi," terang Nanang kepada Validnews, Senin (19/2).

Penghambat Produksi
Agus menyebutkan salah satu faktor yang membuat produksi kian menurun adalah harga yang diterima peternak. 

Dia menilai, harga yang diterima terlalu rendah sehingga tidak menutup biaya produksi. Hal ini pun membuat minat menjadi peternak sapi perah surut.

“Ketika peternak terima harga rendah tidak menutup biaya produksi, lama-lama ya makin turun produksinya makin mati. Orang lalu meninggalkan habitatnya dari peternak sapi perah menuju ke pekerjaan migran yang lebih cepat untuk menutup kebutuhan. Enggak perlu modal banyak, enggak nanggung rugi,” paparnya.

Harga yang rendah ini juga membuat peternak tak mampu menambah sapinya, meskipun pemerintah telah menyediakan kredit usaha rakyat (KUR). Pasalnya, dengan harga jual yang murah, peternak tak mampu mencicil pinjaman.

“Karena kita kredit, ngangsur, ya pusing nanti. Malah bukannya nambah sejahtera nambah lagi miskin lagi,” imbuhnya.

Ketum Dewan Persusuan Nasional, Teguh sepakat tingkat harga susu segar yang diterima peternak tidak menutup biaya produksi. Masalah harga susu yang diterima inilah yang menjadi keluhan utama para peternak.

"Harga susu yang diterima peternak per liter tergantung kualitas, tapi rata-rata Rp7.500/liter. Harga pakan, konsentrat yang bagus Rp4.600 dan harganya sangat fluktuatif, tergantung harga bahan baku. Rumput yang bagus atau tebon (pohon jagung) Rp500-Rp600/kg," terangnya.

Teguh menambahkan, kalau harga yang diterima peternak sekitar Rp10.000/liter mereka sudah senang. Peternak menerima harga dari koperasi atau pengepul dengan selisih sekitar Rp1.500.

Perihal harga juga disebutkan Andreas Kangga Lee selaku pemilik Gundaling Farm di Berastagi, Sumatra Utara yang mewakili peternak dan produsen susu lokal. Dia menyebutkan peternak sapi perah hanya mendapat sekitar Rp6.000-Rp7.000/liter. Itu pun belum dipotong berbagai biaya, seperti inseminasi, konsentrat, dan obat-obatan dari koperasi desa.

"Bayangkan, peternak sehari cuma produksi 10 liter, pagi memerah 6 liter, sore 4 liter. Satu liter cuma Rp6.000, sehari dia baru dapat Rp60.000. Berat dong. Belum uang itu dipotong, pakan, obat yang dibeli dari kooperasi, sehari berapa doang mereka dapatnya?" katanya kepada Validnews, Senin (19/2).

Ketua Umum Dewan Persusuan Nasional, Teguh kembali menimpali, faktor yang berperan besar menentukan jumlah produksi susu adalah populasi sapi perah. Saat ini, pemerintah mengeklaim populasi sapi perah sekitar 600.000 ekor. Namun, itu termasuk sapi perah jantan yang tidak ada hubungannya dengan produksi susu segar. 

Hasil Sensus Pertanian 2023, populasi sapi potong dan sapi perah hanya 11,2 juta ekor. 

"Baru April 2024 BPS merilis berapa populasi sapi perah yang sebenarnya. Tetapi, diduga populasi sapi perah turun drastis akibat ada penyakit mulut dan kuku yang terjadi tahun lalu," ujar Teguh.

Selain populasi, peternakan khususnya milik rakyat, menghadapi inefisiensi yang berpengaruh pada lambatnya produksi susu segar dalam negeri.

Umumnya peternakan sapi perah rakyat masih sangat tradisional, ditandai dengan rendahnya skala pemilikan sapi yakni antara 2-4 ekor saja. Peternak tradisional belum menerapkan good farming practice, salah satunya pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Padahal, Andreas menambahkan, pakan bernutrisi merupakan satu dari tiga faktor yang sangat berpengaruh pada produksi susu segar. Andreas menjelaskan sapi perah itu sensitif mengenai makanan, sehingga untuk mengubah makanannya pun, peternak perlu memperhatikan rasio pakannya.

"Sapi perah itu sangat sensitif, apa yang mereka konsumsi itu enggak bisa bohong. Kita kalau mengubah rasio pakan, besok sudah kelihatan banget pakannya cocok atau enggak, produksi drop atau enggak, atau nutrisi dalam susu itu pasti juga terpengaruh," terang pemilik usaha susu Berastagi itu.

Andreas menerangkan, rumput memang penuh serat tapi belum ada nutrisinya karena itu sapi perah butuh silase dan konsentrat. Di sisi lain, peternak membutuhkan bekal teknis, pengetahuan dan informasi yang komprehensif untuk mengeksekusi peternakan susu sapi dengan baik.

"Bayangkan petani atau peternak enggak bisa buat silase, enggak bisa buat konsentrat, mereka cuma ngarit rumput untuk dikasih ke sapi, sedangkan rumput itu tidak ada isinya, rumput cuma serat," paparnya.

Andreas yang produsen sekaligus pemasok bubuk susu ke PT Ultrajaya ini menilai masih ada dua faktor lain yang turut memengaruhi produksi. Keduanya adalah genetik sapi perah Indonesia dan lingkungan. Sapi dengan gen yang bagus juga akan menghasilkan susu dalam jumlah banyak.

Sementara, terkait faktor lingkungan, Andreas menyebut sapi perah cocok di lingkungan dengan temperatur sejuk. Karena itu, sebaiknya peternakan sapi berada di lingkungan bersuhu stabil kurang lebih 15-20 derajat celcius.

Pemerintah Abai Terhadap Peternak
Di tengah banyak kendala persusuan nasional, Teguh mengkritisi minimnya perhatian pemerintah. Dia mengatakan, pemerintah perlu tahu jumlah peternak sapi perah menyusut, dan lembaga koperasi susu yang menangani peternak sapi perah rakyat tinggal sedikit, yakni 55 unit.

Padahal sebelum 1999, jumlahnya pernah di atas 200 unit. Bahkan, Teguh menambahkan, pada 1995 produksi susu segar mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan susu nasional. Seiring berjalannya waktu, seharusnya sektor susu nasional ini makin baik karena zaman sudah canggih dan perekonomian berkembang.

"Dapat kita katakan lambatnya pertumbuhan produksi susu segar yang berbasis peternakan sapi perah rakyat karena pemerintah abai pada pengembangan peternakan sapi perah rakyat," tegasnya.

Tanpa bantuan pemerintah, peternak lokal tidak sanggup mengurusi hulu ke hilir persusuan. Begitu pula swasta, meski secara finansial mampu, tentu punya keterbatasan. Itu sebabnya peran pemerintah penting dalam pengembangan dan proses peternakan sapi perah hingga menjadi produk susu segar.

Dia menilai pemerintah selama 20 tahun ini hanya konsentrasi untuk swasembada daging sapi yang ternyata gagal. Padahal, program mewujudkan swasembada daging ini sudah didukung dengan APBN lebih dari Rp25 triliun.

"Peternakan sapi perah rakyat sebagai penghasil utama susu segar kurang sekali mendapat perhatian. Beberapa kali disusun blueprint oleh pemerintah untuk pengembangan persusuan, tapi tidak ada realisasinya yang berarti," ujar Teguh.

Minimnya perhatian pemerintah juga diutarakan Andreas. Menurutnya, beberapa perusahaan besar sudah turut aktif meneliti genetik sapi perah dan melakukan pendampingan kepada peternak lokal. Namun, dia menilai yang korporasi lakukan tersebut tidak untuk memenuhi kebutuhan susu dan peternakan lokal. 

Pada akhirnya, sambung Andreas, penelitian maupun produksi susu sapi dari perusahaan ternama, seperti Nestle, Ultra Jaya, Greenfields, Diamond, ABC, itu terbatas. Produksinya disesuaikan kebutuhan perusahaan dan pasar, bukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan susu nasional.

Karena itu, untuk mencakup semua produsen dan tidak hanya pabrik susu besar, idealnya pemerintah yang melakukan riset dan pengembangan secara rutin. 

"Ya dari sisi perusahaan juga kadang merasa berat gitu lho, kita kan maunya semua peternak kita bisa sukses dan kita bisa memproses susu lebih baik lagi. Tapi support dari pemerintah itu hampir enggak ada," tegas Andreas.

Langkah Dongkrak Produksi
Untuk diketahui, jajaran terdepan pemerintah yang mengurus soal peternakan hingga produksi susu itu Kementerian Pertanian (Kementan). Namun sampai artikel ini diterbitkan, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah tidak memberikan jawaban terkait langkah-langkah Kementan untuk meningkatkan produksi susu nasional.

Nasrullah juga tidak menjawab upaya atau program apa saja yang akan dijalankan Kementan untuk menangani tantangan persusuan dalam negeri, seperti pemenuhan kebutuhan susu Indonesia. Sama halnya ketika ditanyakan mengenai proyeksi pertumbuhan produksi susu dan target swasembada susu, dia tak berkomentar.

Dengan adanya sederet kendala, Andreas selaku produsen susu lokal Berastagi memberikan masukan. Ada tiga hal yang bisa pemerintah siapkan untuk meringankan peternak sekaligus meningkatkan produksi susu sapi segar. Pertama, memberikan pakan ternak yang bergizi, seperti silase dan konsentrat.

"Pemerintah bisa support untuk pakan berupa konsentrat, seperti soya bean, gandum, alfalfa, kopra jadi semua bahan baku saya bilang itu nutrisinya cukup tinggi di bagian protein, dan untuk pencernaan lebih lancar sapi butuh menyerap vitamin dari silase, yaitu pohon jagung atau rumput yang difermentasi," terang Andreas.

Pemerintah perlu menurunkan tenaga ahli untuk mengedukasi peternak sapi secara langsung, sehingga peternak lokal pun dibekali ilmu beternak yang memadai, termasuk farm management. Dan yang ketiga, pemerintah perlu melakukan riset untuk menghasilkan bibit sapi dengan genetik yang bagus. Jika berhasil, satu sapi diproyeksikan mampu menghasilkan 40 liter susu sehari. Sebagai perbandingan, saat ini peternak sapi perah di Indonesia hanya menghasilkan 10 liter susu dalam sehari.

Andreas mencontohkan karena genetik sapi perah di China sudah mumpuni, satu ekor bisa menghasilkan 35 liter susu, lalu Amerika Serikat bisa 50 liter. Itu sebabnya, dia mendorong pemerintah melakukan riset terkait genetik sapi perah terbaik, serta memberikan permodalan bagi peternak sapi perah.

"Mereka (China dan AS) mengembangkan genetik itu dari mana? Dari pemerintah yang support. Jadi pemerintah kita perlu riset, atau kita perlu modal dari pemerintah. Contoh di China, kalau kita mau beli sapi perah, pemerintahnya memberi tanah, listrik, bisa support sampai 80% pendanaan," ucapnya.

Ketum PPSKI Nanang Subendro membenarkan kualitas sapi secara genetik yang saat ini dirawat para peternak Indonesia belum premium.  

"Pertama yang harus dilakukan adalah restocking atau mengganti indukan yang sembuh dari PMK diganti dengan yang baru. Karena tanpa itu, tidak imbang antara pakan yang diberikan dengan produktivitas yang dihasilkan. Sangat rugi sekali, apalagi bahan-bahan pakan harganya naik," tutur Nanang.

Tumbuhkan Political Will
Ketua APSPI Agus Warsito menambahkan selain melindungi peternak dan produsen susu, pemerintah perlu memasukkan komoditas susu sebagai bahan makanan pokok penting (bapokting). Istilah kata, menggaungkan slogan "4 sehat 5 sempurna" yang dikenal masyarakat dari dulu.

“Masukkan komoditas susu sebagai bapokting. Bapokting itu apa? Bapokting itu bahan makanan pokok penting,” katanya.

Ketum Dewan Persusuan Nsional, Teguh juga menguraikan 4 hal yang menurutnya penting untuk memperbaiki kebijakan yang bermuara pada peningkatan produktivitas susu segar. Selain sikap politik yang jelas dan tegas dalam mendorong perkembangan persusuan, khususnya percepatan peternakan sapi perah rakyat, juga perlu ada APBN yang memadai untuk upaya itu. 

"Sejak Instruksi Presiden 2/1985 dicabut pada awal Januari 1998, tidak ada lagi perlindungan kepada peternak sapi perah rakyat. Peternakan sapi perah rakyat dibiarkan bertarung secara tidak adil dengan industri pengolahan susu yang menjadi pasar utama produksi susu segar," tegasnya. 

Perlu juga Badan Pengembangan Persusuan Nasional yang bertugas khusus untuk percepatan pengembangan persusuan nasional, termasuk peternakan sapi perah rakyat. Dan, untuk pemerataan, pemerintah perlu mengembangkan kantong-kantong produksi susu segar di luar Jawa. Selama ini, produksi susu segar dan peternakan sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa dan hanya di daerah tertentu, seperti Kab. Bandung, Sukabumi, Garut, Boyolali, Malang, Pasuruan, Blitar.

Satu lagi, pemerintah perlu mengatasi penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menjangkit ternak sejak 2022.  

Kian Tergantung Impor
Tanpa perbaikan berarti, Ketua APSPI Agus Warsito meramalkan Indonesia menuju ketergantungan impor. Dia pun memprediksi dalam 15-25 tahun mendatang, impor susu untuk mencukupi kebutuhan konsumsi susu rakyat bisa jadi menyentuh 95%, karena  susu produksi dalam negeri porsinya hanya 5%.

"Sebuah negara agraris kebutuhan pangannya mulai dari beras, tempe, susu, daging semua bergantung kepada impor. Ini ironis sekali," ucap Agus prihatin.

Ketum Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana pun pesimis. Dia memperkirakan dalam jangka pendek, penting untuk memperbaiki manajemen peternakan sapi perah, serta menambah jumlah populasinya. Dengan begitu, produktivitas susu nasional membaik secara bertahap, paling tidak per ekor sapi dapat menghasilkan susu rata-rata 15 liter.

Di satu sisi, Andreas Kangga Lee optimis swasembada susu atau kemandirian susu nasional bisa tercapai. Dengan kata lain, Indonesia tak perlu lagi impor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan susu domestik, karena sudah siap sedia dari peternak dalam negeri.

Namun pertanyaannya, kapan? Menurut Andreas, pemerintah perlu membenahi masalah peternakan sapi perah seperti yang diuraikan di atas satu per satu. Seperti komoditas lain, susu segar dalam negeri perlu menjadi perhatian pemerintah.

Kalau masih minim atensi, ekosistem peternakan tak dibenahi, impor susu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi keniscayaan.  

"Saya yakin pasti bisa (swasembada susu), cuma butuh perhatian dari pemerintah. Petani, peternak, kalau diperhatikan pemerintah, dikasih bibit baik, pupuk yang baik, semua juga akan maju. Kita pangkas juga semua middleman atau tengkulak-tengkulak itu," ucap Andreas. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar