01 Juli 2025
12:38 WIB
PMI Manufaktur Kembali Melemah Di Juni Jadi 46,9, Awas Gelombang PHK
Bulan sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia berada di level 47,4. Angka PMI Manufaktur Juni menjadi yang terburuk kedua setelah Agustus 2021. Perusahaan pun mengurangi tenaga kerja.
Penulis: Fin Harini
Seorang pekerja membuat sepatu di salah satu pabrik sepatu Nike di Bitung, Banten. AntaraFoto /Jefri Aries
JAKARTA - Headline Purchasing Manager’s Index™ (PMI®) Manufaktur Indonesia dari S&P Global turun dari 47,4 pada bulan Mei menjadi 46,9 pada bulan Juni.
S&P Global menyebut angka ini menunjukkan penurunan lebih lanjut pada kesehatan sektor produksi barang. Angka headline merupakan yang terendah kedua sejak bulan Agustus 2021 dan menunjukkan penurunan solid pada kondisi operasional pabrik.
Angka headline terendah sejak Agustus 2011 adalah April 2025, yakni 46,7, anjlok dari 52,4 pada Maret.
“Penurunan kondisi sektor manufaktur Indonesia semakin cepat pada pertengahan tahun 2025, menjadi tanda kurang baik untuk beberapa bulan ke depan,” jelas Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence melalui siaran pers, Selasa (1/7).
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Tajam Jadi 46,7
Penyebab utama penurunan PMI Manufaktur adalah permintaan atas barang produksi Indonesia melemah taham. Permintaan baru turun selama tiga bulan berturut-turut dengan tingkat kontraksi paling kuat sejak bulan Agustus 2021.
Anggota panel melaporkan aktivitas pasar tidak begitu aktif karena klien enggan melakukan pesanan baru. Data menunjukkan penurunan penjualan berasal dari pasar domestik karena produsen Indonesia menyampaikan tidak ada perubahan pada bisnis ekspor baru setelah dua bulan penurunan.
Penurunan penjualan domestik tersebut menyebabkan output pabrik Indonesia kembali turun pada bulan Juni. Penurunan tergolong solid, namun sedikit reda dari kondisi bulan Mei.
Penjualan dan produksi yang melambat mendorong perusahaan mengurangi kapasitas. Jumlah tenaga kerja pun turun dua kali dalam tiga bulan, dan pada laju tercepat dalam hampir empat tahun.
“Kondisi permintaan berdampak buruk terhadap pertumbuhan. Penjualan turun tajam sejak bulan Agustus 2021 sehingga menyebabkan penurunan produksi. Penurunan penjualan sebagian besar dari pasar domestik, sedangkan penjualan ekspor stabil pada bulan ini. Penurunan permintaan baru mendorong perusahaan menjalankan strategi retrenchment dengan mengurangi tenaga kerja dan aktivitas pembelian,” lanjut Bhatti.
Penurunan permintaan domestik dan output mengurangi tekanan kapasitas karena tumpukan pekerjaan berkurang pada bulan Juni. Namun, laju penurunan masih terbilang marginal.
Data terkini juga mengarah pada penurunan aktivitas pembelian di antara produsen Indonesia. Pembelian input turun selama tiga bulan berturut-turut, meskipun hanya pada tingkat sedang. Pada waktu yang sama, stok inventaris pradan pasca produksi turun selama tiga bulan berturut-turut dengan penurunan lebih tajam pada stok pasca produksi.
Berkurangnya tekanan pemasok di tengah penurunan kebutuhan produksi juga mendukung percepatan waktu pengiriman dua kali dalam tiga bulan.
Baca Juga: Belum Pulih, PMI Manufaktur RI Mei 2025 Masih Terkontraksi Di Level 47,4
Sementara itu, tekanan biaya pabrik tetap solid pada akhir triwulan kedua. Panelis secara umum mengaitkan kenaikan terkini pada beban biaya dengan kenaikan harga bahan baku, meski tingkat inflasi harga input merupakan yang terendah sejak bulan Oktober 2020. Selanjutnya, perusahaan menaikkan harga jual sedikit sebagai upaya menjaga harga barang agar tetap kompetitif.
Melihat ke depan, tingkat optimisme terhadap perkiraan output 12 bulan mendatang turun dibandingkan bulan Mei dan di bawah rata-rata jangka panjang. Faktanya, tingkat kepercayaan diri merupakan yang terendah sejak bulan Oktober lalu karena beberapa perusahaan khawatir tentang kondisi perekonomian global.
"Ke depannya, perusahaan kurang begitu optimis terhadap perkiraan output, kepercayaan diri turun ke posisi terendah dalam delapan bulan. Kepercayaan diri sedikit turun di tengah kekhawatiran tentang kondisi perekonomian global dan potensi dampaknya terhadap sektor manufaktur Indonesia," pungkas Bhatti.