c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

02 Mei 2025

11:36 WIB

PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Tajam Jadi 46,7

Penurunan PMI Manufaktur dari 52,4 pada bulan Maret menjadi 46,7 pada bulan April merupakan penurunan paling signifikan pada kondisi bisnis sejak bulan Agustus 2021.

Penulis: Fin Harini

Editor: Khairul Kahfi

<p id="isPasted">PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Tajam Jadi 46,7</p>
<p id="isPasted">PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Tajam Jadi 46,7</p>

Ilustrasi - Pekerja merakit sepeda motor listrik Gesits di pabrik PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021). Antara Foto/Aditya Pradana Putra/wsj/aa.

JAKARTA – Sektor manufaktur Indonesia kembali terkontraksi pada April 2025, dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur dari S&P Global turun di bawah 50,0. Kontraksi ini terjadi lantaran penurunan tajam volume produksi dan permintaan baru. Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) membayangi.

Data S&P Global menunjukkan penurunan kesehatan sektor manufaktur Indonesia dalam lima bulan terakhir. Namun, penurunan PMI dari 52,4 pada bulan Maret menjadi 46,7 pada bulan April merupakan penurunan paling signifikan pada kondisi bisnis sejak bulan Agustus 2021.

“Sektor manufaktur Indonesia memasuki triwulan kedua 2025 dengan catatan kurang baik, kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Terlebih lagi, headline PMI menunjukkan tanda-tanda penurunan tajam pada kesehatan sektor sejak Agustus 2021,” ujar Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, Jumat (2/5).

Penurunan angka headline disebabkan oleh penurunan output dan permintaan baru. Produksi turun tajam dan pada laju tercepat sejak Agustus 2021. Data terkini menunjukkan penurunan tajam pada pekerjaan baru untuk pertama kalinya dalam lima bulan. Permintaan dilaporkan melemah, baik dari pasar domestik maupun luar negeri. Volume pesanan ekspor baru turun kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir.

Baca Juga: PMI Manufaktur Tetap Ekspansif dan Inflasi Terkendali Selama Ramadan

Gelombang PHK
Menanggapi kondisi ini, perusahaan-perusahaan memasuki mode pengurangan tenaga kerja dengan mengurangi aktivitas pembelian dan perekrutan pada awal triwulan kedua. Selain itu, perusahaan memilih untuk mengurangi tingkat inventaris dengan memanfaatkan stok input dan barang jadi untuk menyelesaikan produksi dan memenuhi pesanan.

"Perkiraan jangka pendek masih suram karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan akibat tidak ada penjualan, tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang,” imbuh Bhatti.

Produsen mengurangi jumlah tenaga kerja pada bulan April karena kebutuhan produksi dan permintaan menurun. Meski kecil, penurunan jumlah pekerjaan ini merupakan yang pertama dalam lima bulan.

Tekanan kapasitas yang lebih ringan mendorong perusahaan untuk mengalihkan karyawan guna menyelesaikan pekerjaan yang ada, ditandai dengan penurunan tingkat sedang pada penumpukan pekerjaan, pertama kali sejak November tahun lalu.

Tanda-tanda PHK juga terlihat dari penurunan baru pada aktivitas pembelian, pertama dalam enam bulan. Secara bersamaan, produsen mengurangi inventaris pra dan pasca produksi karena penurunan permintaan baru dan output mengharuskan perusahaan mengurangi stok.

Kabar baiknya, lanjut Bhatti, tekanan terhadap pemasok berkurang karena tekanan kapasitas produksi menurun. Waktu pengiriman rata-rata meningkat untuk pertama kali sejak November lalu, meski hanya kecil.

Baca Juga: PMI Manufaktur RI Maret 2025 Turun Ke Level 52,4 Poin

Kenaikan nilai dolar AS dilaporkan menyebabkan kenaikan harga barang impor, sementara perusahaan berupaya melindungi margin dengan menaikkan harga lebih agresif.

Dari segi harga, inflasi biaya input pada bulan April cukup tajam namun masih di bawah rata-rata jangka panjang. Menurut bukti anekdotal, kenaikan nilai dolar AS menyebabkan harga bahan baku impor juga naik. Namun demikian, laju inflasi biaya input merupakan yang paling rendah sejak bulan Oktober 2020. Perusahaan menanggapi dengan menaikkan biaya selama tujuh bulan berturut-turut dan pada laju tercepat pada tahun 2025.

Melihat ke depan, S&P mencatat bisnis di sektor manufaktur Indonesia masih optimis bahwa volume produksi akan naik pada tahun mendatang. Meski demikian, tingkat optimisme turun ke level terendah dalam tiga bulan dan di bawah rata-rata jangka panjang. Kepercayaan diri didorong oleh harapan bahwa perekonomian akan membaik dan keadaan di sektor akan pulih, serta harga bahan baku akan turun.

“Perkiraan tahun mendatang terlihat positif, perusahaan berharap produksi naik karena kondisi ekonomi akan membaik dan daya beli klien dan pelanggan akan menguat. Namun demikian, ketidakpastian waktu pemulihan menurunkan harapan beberapa perusahaan,” pungkas Bhatti.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar