17 September 2025
16:43 WIB
Petani Milenial Tak Ada Kabar, KRKP Evaluasi Dua Hal Ini
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah menyampaikan, perlunya penguatan variabel pendapatan dan penguasaan lahan dalam program petani milenial.
Penulis: Erlinda Puspita
Petani milenial membajak sawah untuk ditanami padi di lumbung pangan (food Estate), Kecamatan Dadahup, Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (27/9/2024). Antara Foto/Auliya Rahma
JAKARTA - Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah menyoroti perlunya penguatan sektor market atau pasar, yang mempengaruhi pendapatan dan penguasaan lahan, pada program petani milenial yang di awal tahun 2025 gencar digagas oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Jika penguatan dua variabel tersebut berhasil, Ayip meyakini jumlah dan antusiasme masyarakat pada program petani milenial akan meningkat.
Sementara, menurut Ayip, program petani milenial selama ini hanya mengejar jumlah peserta yang terlibat, tanpa memperhatikan keberlanjutan petani milenial itu sendiri.
Baca Juga: Penghasilan Petani Milenial Rp10 Juta Per Bulan, Begini Hitungan Kementan
“Ada dua hal yang kalau saya melihat di lapangan, perlu diperkuat karena setelah transisi pemerintahan Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo, program petani milenial ini cenderung menurun perkembangannya,” kata Ayip dalam sesi tanya jawab diskusi media jelang COP30, di Kantor CELIOS, dikutip Rabu (17/9).
Variabel pertama yang mendorong agar generasi muda kembali ke pertanian, menurut Ayip adalah, pendapatan atau income. Dari riset KRKP tahun 2014-2015 dan diyakini Ayip masih relevan, semakin besar pendapatan yang dihasilkan maka peminat sektor tersebut akan meningkat, termasuk pertanian.
Kedua adalah penguasaan lahan. Ayip menyebutkan, jumlah petani gurem atau petani dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare (ha) terus meningkat. Di tahun 1983, tercatat ada sekitar 8,97 juta rumah tangga petani gurem. Jumlah ini terus naik, di tahun 2003 menjadi 13,7 juta, tahun 2013 menjadi 14,2 juta, dan tahun 2023 menjadi 17,2 juta.
“Semakin luas penguasaan lahan (sawah) untuk budidaya, maka semakin punya minat. Penguasaan itu tidak harus memiliki, tapi mengakses juga boleh,” terang Ayip.
Ayip menyampaikan, saat ini petani usia muda di rentang usia 19-39 tahun hanya ada sekitar 9-10% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini juga berpotensi terus menurun jika pemerintah tak segera membenahi dua variabel penting di atas.
Minimnya kesejahteraan petani, menurut Ayip, juga terlihat dari data Nilai Tukar Petani (NTP) petani tanaman pangan yang selalu BPS rilis setiap bulan. NTP merupakan perbandingan biaya yang diterima petani dengan biaya yang dibelanjakan petani.
Dalam rentang tahun 2019-2025, Ayip menilai tak ada perubahan signifikan, yaitu pada 2019 NTP tercatat 108,17, tahun 2020 turun di level 100,89, tahun 2021 turun lagi di 93,60, di Januari 2025 menjadi 103,98, dan Agustus 2025 berada di 113,65.
Baca Juga: Kementan Dorong Petani Milenial Ikut Capai Target Impor Pangan
“NTP tanaman pangan itu ya segitu-gitu aja, nggak naik tinggi banget, nggak ada pengaruh signifikan. Harga palingan ya naik, iya petani seneng, tapi setelah dicek ulang ternyata komponen produksi atau biaya produksinya juga naik,” ucap Ayip.
Dalam laporan yang ia paparkan, struktur biaya usaha tani padi selama satu dekade mengalami kenaikan, yakni tahun 2014 sebesar Rp12,70 juta/ha/musim, naik di 2017 menjadi Rp13,56 juta/ha/musim, dan di 2024 naik drastis menjadi Rp26,17 juta/ha/musim.
“Nah pertanyaannya dibalik, program petani milenial menjawab persoalan dasar itu nggak? Kalau belum, menurut saya itu yang perlu dikoreksi sebenarnya, perlu diperkuat supaya gerakan ini makin punya impact,” tutup Ayip.