19 Juni 2025
17:18 WIB
Perang Israel-Iran Dorong Potensi Kenaikan Biaya Logistik
ALFI menilai kenaikan biaya logistik semakin tak terhindar jika perang Israel-Iran menyebabkan Selat Hormuz terganggu.
Penulis: Erlinda Puspita
Sejumlah truk trailer menunggu muatan peti kemas di lapangan penumpukan peti kemas (container yard) PT Terminal Petikemas Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (18/3/2025). AntaraFoto/Didik Suhartono
JAKARTA - Institut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) memperkirakan adanya kenaikan biaya logistik internasional imbas eskalasi geopolitik antara Israel dan Iran. Konflik ini disinyalir berpotensi makin meluas jika aksi blokade Selat Hormuz terjadi. Pasalnya, jalur ini menjadi salah satu jalur distribusi minyak dan gas (migas) Timur Tengah ke Asia Pasifik.
Ketua ALFI Institute, Yukki Nugrahawan Hanafi mengungkapkan, saat ini para pelaku usaha di sektor transportasi dan logistik rantai pasok terus mengamati konflik kedua negara tersebut. Mereka berjaga-jaga jika skenario blokade di Selat Hormuz terjadi, dan menghambat jalur nadi distribusi migas dunia.
“Saat ini para pelaku usaha logistik rantai pasok internasional dan nasional telah melakukan kalkulasi risiko melewati wilayah perairan yang berdekatan dengan Selat Hormuz. Dengan mitigasi risiko tersebut, akses dan ketersediaan logistik yang melewati perairan tersebut dapat berkurang sehingga mengganggu rantai pasok global,” ujar Yukki dalam keterangannya, Kamis (19/6).
Baca Juga: Biaya Logistik Indonesia Masih Mahal, Ini Penyebabnya
Perlu diketahui, Selat Hormuz merupakan titik strategis jalur distribusi energi dunia. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), rata-rata minyak mentah yang diangkut melewati selat tersebut mencapai 20 juta barel per hari, atau setara dengan 30% dari total perdagangan dunia. Pengiriman gas alam cair (LNG) yang melalui jalur tersebut tercatat mencapai 20% porsi perdagangan global.
Selain mulai menghindari akses perairan, para pelaku usaha logistik internasional juga menyebut adanya kenaikan harga komoditas energi akibat blokade Selat Hormuz. Kenaikan ini tentunya turut mendorong peningkatan biaya logistik, dan berdampak pada pengiriman ekspor impor dan daya saing produk Indonesia. Ditambah lagi, adanya kekhawatiran blokade Selat Hormus juga akan direspon oleh aksi lain di Laut Merah.
“Jika blokade Selat Hormuz dilakukan sebagai retaliasi Iran terhadap Israel, kenaikan harga biaya logistik nantinya tidak hanya didorong oleh perubahan jalur perdagangan, namun juga kenaikan cost of operations akibat dari kenaikan harga komoditas energi, khususnya minyak mentah. Di tengah perlambatan permintaan perekonomian global akibat perang tarif sepanjang tahun 2025 ini, kenaikan biaya logistik akan memberi tekanan tambahan bagi pelaku usaha ekspor impor,” imbuh Yukki.
Baca Juga: Konflik Laut Merah, Biaya Angkut dan Logistik Mencekik Pengusaha
Yukki pun mengungkapkan, dari pengalaman konflik Laut Merah pada periode akhir 2023 dan awal 2024 lalu, para pelaku usaha terpaksa harus menanggung peningkatan biaya pengangkutan yang lebih tinggi, serta disrupsi terhadap waktu transit pengiriman yang lebih lama.
“Para pelaku usaha nasional perlu waspada dan antisipatif terhadap kenaikan ongkos logistik, khususnya melihat jika eskalasi perang Israel-Iran berlangsung lebih lama dan spill-over pada jalur perdagangan utama lainnya, seperti Laut Merah. Selain itu, rantai pasok kebutuhan nasional juga dipastikan dapat terganggu akibat penyesuaian yang dilakukan pelaku usaha akibat hambatan logistik,” tandas Yukki.