01 Februari 2024
18:38 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menyatakan konflik Laut Merah yang masih berlangsung membuat industri domestik menanggung ongkos pengangkutan yang mahal.
"Konflik yang sedang berlangsung di Laut Merah mulai berdampak pada industri pelayaran lokal, dan konsumen diperkirakan akan menanggung beban terbesar dari kenaikan biaya pengangkutan," ujar Benny kepada Validnews, Kamis (1/2).
Sekarang ini, kapal-kapal pengangkut muatan harus memutar rute perjalanannya, terutama dari Asia Tenggara ke Eropa ataupun sebaliknya. Biasanya, kapal pengangkut melewati jalur perdagangan internasional, Terusan Suez.
Namun, kini kapal harus berputar lebih jauh ke selatan melewati Cape of Hope, Afrika Selatan. Itu dikarenakan adanya blokade dan serangan dari kelompok Houthi di Laut Merah terhadap kapal komersial yang melintas.
Benny menjelaskan biaya pengiriman lewat laut atau ocean freight meningkat menjadi USS$3.300 atau setara Rp51,99 juta untuk kontainer 20 feet. Sementara untuk kontainer 40 feet, biaya pengiriman naik jadi US$5.100 atau setara Rp80,38 juta.
Baca Juga: Krisis Laut Merah-Pendangkalan Terusan Panama Pengaruhi Biaya Impor
Selain kendala biaya pengangkutan yang lebih mahal, ia menyebutkan durasi pengiriman atau transit day pun jadi lebih lama. Biasanya hanya memakan waktu 25-30 hari, kini bisa lebih dari 50 hari karena harus memutar.
"Biaya pengiriman kontainer berukuran 20 kaki meningkat menjadi US$3.300, sedangkan biaya pengiriman kontainer berukuran 40 kaki meningkat menjadi US$5.100," terang Benny.
Ketum GPEI juga menyampaikan sedikitnya ada 4 sektor industri Indonesia yang terdampak konflik Laut Merah. Itu mencakup sektor industri manufaktur, tekstil, industri kimia dan farmasi, serta migas.
Sebagai upaya mengatasi konflik tersebut, Benny memiliki 3 usulan yang diharapkan membantu. Pertama, menurutnya perlu segera ada gencatan senjata Israel di Gaza. Kedua, jangan ada penyerangan terhadap kapal dagang, baik oleh pihak Houthi ataupun Israel.
Ketiga, membayar biaya pengawalan untuk lewat Laut merah dan Terusan Suez sepanjang lebih murah atau sama dengan biaya tambahan kalau lewat Tanjung Harapan, tetapi durasi pelayaran lebih singkat.
"Blokade Kelompok Houthi di Laut Merah memang telah berimbas terhadap gangguan pelayaran dunia yang menyebabkan ocean freight meningkat dan transit day juga semakin lama," tutup Benny.
Dampak ke Neraca Perdagangan
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani menyebut ekspor dan impor nasional bisa terganggu jika konflik di Laut Merah berkepanjangan. Saat ini pun, dunia perdagangan dan usaha sudah teriak lantaran biaya pengangkutan dan logistik mengalami lonjakan.
"Ekspor terdampak, logistiknya sekarang itu mahalnya setengah mati karena dia mesti berputar. Susah, ini berat sekali buat kita," ujar Shinta kepada awak media saat ditemui di Cikarang, Rabu (31/1).
Padahal, menurut Ketum Apindo geliat para pelaku usaha di Indonesia mulai membaik pasca covid-19 pada 2020. Namun ternyata, kondisi geopolitik saat ini, seperti konflik Laut Merah berimbas negatif pada dunia perdagangan dan usaha.
"Kita merasa mulai pemulihan, tapi kenyataannya dengan kondisi 2024 ini banyak ketidakpastian, termasuk salah satunya dari segi (biaya) logistik yang berjalan karena konflik itu," kata Shinta.
Ia menerangkan pihak eksportir dan importir yang terkena dampak langsung, karena mereka harus membayar biaya pengangkutan yang lebih tinggi. Tidak hanya itu, waktu pelayaran ke negara tujuan ekspor dan impor pun jadi lebih lama.
Baca Juga: Jelang BI-Rate Pertama 2024, Ketidakpastian Ekonomi Dunia Tinggi
Shinta juga khawatir apabila konflik di Laut Merah terjadi berkepanjangan. Ia meyakini apabila konflik berlanjut, ke depannya ekspor nasional menurun, dan neraca perdagangan bisa makin menipis.
"Kami sih merasa akan terganggu ya (dengan adanya konflik berkepanjangan). Nanti jelas akan ada penurunan (ekspor), ya memang kita kan kalau lihat neraca dagang saja surplusnya sudah makin turun," terang Shinta.
Sebagai salah satu upaya meningkatkan ekspor, Ketum Apindo mengatakan pemerintah membentuk satuan tugas (ekspor) peningkatan ekspor nasional. Ia menuturkan pelaku usaha, termasuk Apindo, pun terlibat dalam satgas tersebut.
"Ini satu langkah awal baik dari pemerintah untuk kita sama-sama mencoba menyelesaikan masalah yang sifatnya immediate, yang langsung, karena kita harus berkompetisi dengan negara lain, kan tidak hanya Indonesia yang jadi eksportir," tutup Shinta.