23 Februari 2024
12:16 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan total kredit atau pembiayaan berkelanjutan terus menunjukkan pertumbuhan. Kendati demikian, industri perbankan disebut menghadapi beberapa tantangan dalam menyalurkan kredit ke energi baru terbarukan (EBT).
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan bahwa ada beberapa langkah agar sektor keuangan dapat mendukung pengembangan EBT, di antaranya dengan menerbitkan Green Bond dan kebijakan insentif fiskal serta non-fiskal untuk pengembangan EBT.
"Alternatif sektor keuangan ini merupakan strategi untuk penghimpunan dana dan penghematan spesifik untuk mendukung EBT tersebut," kata lelaki yang akrab disapa Didiet kepada Validnews, Jumat (23/2).
Selanjutnya, lembaga pembiayaan bisa mulai menggarap pembiayaan sektor EBT tersebut, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan tantangan-tantangan yang akan dihadapi.
Adapun, beberapa tantangan tersebut, antara lain tingginya risiko, lantaran EBT masih tergolong sektor baru dengan risiko yang relatif tinggi.
Baca Juga: Gaung Besar Pembiayaan Berkelanjutan
Kemudian, biaya investasi awal untuk EBT masih tergolong tinggi. Lalu, kurangnya infrastruktur karena infrastruktur untuk mendukung EBT masih belum memadai.
Terakhir, kurangnya pengetahuan. Menurut Didiet, bank masih belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang EBT.
Oleh karena itu, mitigasi dan antisipasi atas tantangan-tantangan tersebut diyakini akan membuat bank mampu mengenali profil risiko industri EBT dan menetapkan produk serta skema harga untuk pembiayaannya.
Senada, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KE PBKN) OJK Dian Ediana Rae juga memperkirakan bahwa industri perbankan menghadapi beberapa tantangan dalam menyalurkan kredit ke EBT.
"Beberapa tantangan tersebut, antara lain pertama, Risiko Proyek, yakni Investasi dalam proyek EBT seringkali melibatkan risiko yang lebih tinggi daripada proyek-proyek konvensional," ujar Dian kepada wartawan yang dikutip Jumat (23/2).
Menurutnya, faktor-faktor seperti ketidakpastian persediaan SDA seperti bahan tambang, dan faktor eksternal seperti bencana alam dapat meningkatkan risiko proyek.
Kedua, lanjut dia, kurangnya data dan pengalaman, yakni data yang dimiliki industri perbankan terkait EBT masih terbatas. Selain itu, belum memiliki banyak pengalaman dalam menilai risiko kredit yang terkait dengan proyek EBT.
Ketiga, pembiayaan jangka panjang, yakni proyek-proyek EBT memerlukan pembiayaan jangka panjang, dan tidak semua bank memiliki likuiditas yang sesuai untuk memberikan kredit/pinjaman dengan tenor yang cukup panjang.
"Saat ini, OJK terus berupaya mendorong industri perbankan untuk secara bertahap mulai mengatasi tantangan tersebut melalui penyelenggaraan capacity building untuk peningkatan pemahaman perbankan tentang risiko pembiayaan pada proyek EBT," tuturnya.
Baca Juga: Sri Mulyani: IIF Bisa Jadi Solusi Pembiayaan Infrastruktur
Dengan mengatasi tantangan tantangan ini, Dian berharap bahwa industri perbankan dapat lebih aktif dalam menyalurkan kredit ke sektor EBT dan mempercepat transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, Dian mengungkapkan, pada tahun 2019, tercatat hanya sebesar Rp927 triliun atau porsi dari total kredit sebesar 19,78%. Kemudian pada 2020, terus tumbuh menjadi Rp1.181 triliun atau naik 27,7%.
Lalu, pada tahun 2021, tumbuh kembali menjadi Rp1.409 triliun atau naik 29,76%. Selanjutnya, pada tahun 2022, total penyaluran kredit/pembiayaan sebesar Rp1.571 triliun atau naik 30,22%.
Adapun, berdasarkan laporan implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) posisi Desember 2022, penyaluran pembiayaan berkelanjutan ke Kegiatan Usaha Energi Terbarukan mencapai Rp42,6 triliun atau 2,81% dari total penyaluran pembiayaan bank kepada Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KUBL).
Sementara untuk tahun 2023, lanjut dia, masih dalam tahap pengumpulan dan validasi data.
"Namun kami yakin bahwa penyaluran kredit/pembiayaan berkelanjutan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan total kredit industri yang tercatat di atas dua digit, yaitu sebesar 10,38% yoy," ungkap Dian.
Mengingat data tersebut masih dalam pengumpulan, maka untuk kredit yang disalurkan ke EBT juga masih dalam kompilasi.
Antisipasi Kredit Macet
Sebagaimana penyaluran kredit/pembiayaan pada umumnya, kredit EBT tentunya juga memiliki potensi menjadi macet.
Oleh karena itu, antisipasi yang dilakukan dapat mencakup langkah-langkah berikut, antara lain pemantauan dan pengawasan, yakni OJK terus melakukan pemantauan dan pengawasan yang ketat penyaluran kredit oleh perbankan kepada industri EBT untuk mendeteksi potensi masalah sejak dini.
"Hal ini dapat mencakup evaluasi portofolio kredit, analisis risiko, dan pemantauan rasio keuangan perbankan," jelas Dian.
Kedua, kebijakan prudensial, yakni OJK menerapkan kebijakan prudensial sesuai dengan best practice internasional memastikan bahwa bank-bank mempunyai modal yang cukup untuk menanggulangi risiko kredit termasuk penyaluran kredit ke sektor EBT.
Hal tersebut bisa termasuk persyaratan modal minimum dan pelaksanaan uji ketahanan (stress test).
Ketiga atau yang terakhir, edukasi dan komunikasi, yakni regulator dapat aktif dalam edukasi dan komunikasi kepada masyarakat, investor, dan pelaku industri terkait kebijakan, perkembangan, dan langkah-langkah yang diambil untuk menjaga stabilitas sektor EBT dan perbankan.