18 Juni 2025
11:51 WIB
Pengamat Maritim: Konflik Iran-Israel Ancam Bisnis Pelayaran Dan Kepelabuhanan RI
Konflik Iran dan Israel belakangan menciptakan guncangan sistem perdagangan, kemaritiman, hingga logistik dunia. Jika tak segera mereda bisa berimbas PHK massal sektor pelayaran dan kepelabuhanan RI.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Kapal pengangkut dan pembawa kargo sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok. Dok Pelindo
JAKARTA - Panasnya tensi Iran dan Israel belakangan ini telah menciptakan guncangan yang luas dalam sistem perdagangan, kemaritiman, hingga logistik dunia.
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center Marcellus Hakeng Jayawibawa menerangkan, gangguan yang terjadi di Selat Hormuz merupakan pukulan keras bagi sektor maritim global. Pasalnya, Selat Hormuz menopang lebih dari 80% volume perdagangan dunia.
"Ketika jalur pelayaran utama energi dan komoditas terganggu, maka sistem logistik dunia dipaksa menyesuaikan rute, waktu, dan biaya. Ini menimbulkan gelombang biaya tambahan yang sangat signifikan, termasuk pada sektor pelayaran Indonesia," ucapnya kepada Validnews, Jakarta, Rabu (18/6).
Baca Juga: Perang Israel-Iran, Sri Mulyani: Bawa Dampak Pada Perekonomian Dunia Dan RI
Dia mengingatkan, Indonesia punya predikat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Sehingga, perang yang pecah di Timur Tengah bakal memberi dampak yang nyata terhadap Nusantara.
Dalam waktu singkat, dia memperkirakan, biaya pengapalan barang dari dan menuju ke pelabuhan Indonesia bakal meningkat tajam. Dia menggarisbawahi, harga bunker fuel dan premi asuransi pelayaran membuat tarif freight atau kargo naik 20-30%.
"Jelas ini langsung berdampak pada daya saing ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti batu bara, CPO, karet, dan produk perikanan," imbuh Marcellus.
Tak hanya itu, dia juga menyebut, bakal banyak operator kapal yang menunda atau mengalihkan pelayaran mereka demi menghindari risiko dan beban biaya.
"Jadi, arus barang di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan akan mengalami perlambatan," sambung Marcellus.
Baca Juga: Dampak Perang Iran-Israel, Pertamina Susun Rute Pelayaran Alternatif
Kondisi tersebut jadi gambaran betapa terpukulnya sektor pelayaran nasional dari perang Iran dan Israel. Dia menyebut, armada pelayaran nasional yang notabene banyak berstatus kapal tua bakal mengalami lonjakan biaya operasional akibat harga bahan bakar dan asuransi.
"Situasi ini (bisa) menurunkan frekuensi pelayaran dan membuat industri perkapalan nasional kehilangan efisiensi," kata dia.
Tak main-main, jika kondisi tersebut berlangsung dalam 2-3 bulan ke depan, ancaman Pemutusan Hubunga Kerja (PHK) massal di sektor pelayaran dan kepelabuhanan menjadi tak terelakkan.
"Jasa kepelabuhanan pun mengalami penurunan volume muatan karena eksportir dan importir menahan pengiriman akibat ketidakpastian biaya dan waktu," tandasnya.
Di lain sisi, ada peluang strategis untuk mengalihkan rute pelayaran global dari Teluk Persia ke Samudera Hindia dan Asia Tenggara.
Baca Juga: Harga Pertalite Berpotensi Naik, Imbas Perang Iran-Israel
Sayangnya, Marcellus menilai, sektor pelayaran Indonesia masih belum sepenuhnya siap untuk menangkap peluang strategis pengalihan rute pelayaran tersebut.
Pelabuhan seperti Patimban dan Kuala Tanjung, dia sebut, semestinya bisa berperan sebagai simpul logistik regional. Namun, ada hambatan struktural yang masih menghantui kedua pelabuhan itu, beberapa di antaranya soal lamanya waktu pendangkalan alur.
"Termasuk bongkar muat (dwelling time), konektivitas hinterland (wilayah daratan di sekitar pelabuhan) yang belum memadai, dan belum tuntasnya reformasi digital logistik nasional," jabar Marcellus.