c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

30 Desember 2023

14:30 WIB

Pemerintah Pajaki Rokok Elektronik Awal 2024

Pemerintah akan mulai memajaki rokok elektrik pada 1 Januari 2024. Ketentuan ini masuk dalam PMK Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.

Penulis: Khairul Kahfi

Pemerintah Pajaki Rokok Elektronik Awal 2024
Pemerintah Pajaki Rokok Elektronik Awal 2024
Penjual menata rokok elektrik di salah satu toko di Pekayon, Jakarta Timur, Selasa (27/12/2022). Antara Foto/Asprilla Dwi Adha

JAKARTA - Kabiro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro menyampaikan, pemerintah akan mulai memajaki rokok elektrik pada 1 Januari 2024. Ketentuan ini masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.

Pemerinah menekankan, hal tersebut juga telah sesuai dengan amanat UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Penerbitan PMK ini bertujuan sebagai upaya mengendalikan konsumsi rokok oleh masyarakat. 

“Untuk itu, peran para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha rokok elektrik dalam mendukung implementasi kebijakan ini menjadi sangat penting,” katanya dalam keterangan pers, Jakarta, Sabtu (29/12). 

Lebih lanjut, pemberlakuan pajak rokok atas Rokok Elektrik (REL) pada 1 Januari 2024 merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat dalam memberikan masa transisi pemungutan pajak rokok atas rokok elektrik, sejak diberlakukan pengenaan cukainya di pertengahan 2018.

Sebagai informasi, rokok elektrik merupakan salah satu barang kena cukai sebagaimana amanat dalam UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur, bahwa cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang salah satunya adalah hasil tembakau, meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). 

Baca Juga: Tiga Bahan Berbahaya Rokok Elektrik Dan Efeknya Pada Kesehatan

Pengenaan cukai rokok terhadap rokok elektrik akan berkonsekuensi pula pada pengenaan pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes). Namun pada saat pengenaan cukai atas rokok elektrik pada tahun 2018, belum serta merta dikenakan Pajak Rokok. 

“Hal ini merupakan upaya pemberian masa transisi yang cukup atas implementasi dari konsep piggyback taxes yang telah diimplementasikan sejak 2014 yang merupakan amanah dari Undang Undang Nomor 28 tahun 2009,” jelasnya. 

Deni melanjutkan, pada prinsipnya, pengenaan pajak rokok elektrik ini lebih mengedepankan aspek keadilan. Mengingat, rokok konvensional dalam operasionalnya melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, yang telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak tahun 2014, selain untuk pendapatan negara. 

Padahal, dalam jangka panjang penggunaan rokok elektrik terindikasi bisa memengaruhi kesehatan. Sementara, bahan yang terkandung dalam rokok elektrik termasuk dalam barang konsumsi yang perlu dikendalikan. 

“Adapun penerimaan cukai rokok elektrik pada tahun 2023 hanya sebesar Rp1,75 triliun atau hanya sebesar 1% dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun,” ungkapnya. 

Pemerintah berharap, kebijakan pengenaan pajak rokok elektrik ini juga merupakan kontribusi bersama antara pemerintah dan para pemangku kepentingan, terutama pelaku usaha rokok elektrik, agar dapat dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat. 

“Paling sedikit 50% dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked), untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Jamkesnas) dan penegakan hukum yang pada akhirnya mendukung pelayanan publik yang lebih baik di daerah,” terangnya.

Baca Juga: Investasi Industri Rokok Tertahan Imbas Draf RPP Kesehatan

APBN mencatat, per 12 Desember 2023, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp188,9 triliun atau turun 3,7% (yoy). Capaian penerimaan CHT ini terealisasi sekitar 81,2% dari target APBN 2023, atau terealisasi 86,4% dari target di Perpres 75/2023.

Kemenkeu mengidentifikasi, penurunan penerimaan ini terjadi dampak dari kebijakan untuk menyeimbangkan pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, dan pengawasan rokok ilegal.

Penurunan produksi rokok sampai dengan Oktober 2023 sebesar -1,8%, sejalan dengan kebijakan pengendalian konsumsi untuk mencapai target prevalensi merokok anak 8,7% di 2024. Meskipun berdampak pada penurunan tarif efektif sebesar -1,3%.

Kemudian, survei naker DJBC 2022 memperkirakan, terjadi kenaikan serapan tenaga kerja sebesar 15.683 orang. Sementara, terjadi kenaikan jumlah barang hasil penindakan hasil tembakau sebesar 26% (yoy). 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar