c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

16 November 2024

17:32 WIB

Pemerintah Bisa Lakukan 2 Upaya Ini Untuk Batalkan PPN 12%

Salah satu jalan untuk membatalkan PPN 12% adalah pemerintah menerbitkan Perppu baru atau mengajukan RPP yang sudah membahas soal APBN 2025 alias merevisi APBN 2025.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Pemerintah Bisa Lakukan 2 Upaya Ini Untuk Batalkan PPN 12%</p>
<p id="isPasted">Pemerintah Bisa Lakukan 2 Upaya Ini Untuk Batalkan PPN 12%</p>

Ilustrasi. Seorang warga memeriksa struk belanja dan PPN usai berbelanja. ValidNewsID/Fin Harini

JAKARTA - Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) makin menjadi perhatian, mengingat 2024 merupakan tahun terakhir penerapan sebesar PPN 11%, sebelum naik menjadi 12% pada Januari 2025.

Berdasarkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), implementasi tarif PPN sebesar 12% akan berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Pemerintah mengeklaim akan mengikuti aturan tersebut.

Berseberangan dengan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), publik, dan beberapa pengamat ekonomi berpandangan, kenaikan PPN 12% justru memberatkan masyarakat, terutama kelas menengah.

Pengamat Pajak sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono menyampaikan, setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengubah ataupun membatalkan kebijakan PPN 12%.

"PPN 12% mulai Januari 2025 itu sudah ditetapkan di Pasal 7 UU PPN yang direvisi terakhir dengan UU HPP. Ada dua cara untuk mengubah tarif tersebut," ujarnya kepada Validnews, Jumat (15/11).

Pertama, pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu atau Perppu) sebagai produk hukum baru yang mengatur soal kebijakan PPN.

"Pasal tersebut (tarif PPN 12%) diamandemen melalui Perpu atau dibuat Naskah Akademik baru," terang Prianto.

Kedua, pemerintah mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dibahas berbarengan dengan Rancangan UU APBN 2025. Menurut Pengamat Pajak itu, cara kedua ini lebih ringkas ketimbang yang pertama.

Baca Juga: PPN 12% Berlaku Tahun Depan, Pengamat: Kelas Menengah Kena Hantam Lagi

Pemerintah juga punya ruang untuk melakukannya. Dalam Pasal 17 ayat (3) UU HPP, telah diatur soal tarif PPN bisa diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

"Ketika tarif PPN akan diubah, target penerimaan pajak di UU APBN 2025 juga harus disesuaikan. Karena itu, UU APBN 2025 yang sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR harus direvisi," terang Prianto.

Pengamat Pajak itu melanjutkan, karena UU APBN 2025 sudah disahkan, pemerintah harus mengajukan revisi APBN 2025 atau disebut juga dengan RUU APBN-P (APBN Perubahan) 2025 untuk dibahas bareng dengan RPP yang berisi perubahan tarif PPN.

Ia menilai, dampak penerapan PPN 12% memang menuai pro dan kontra, karena dilihat dari dua sisi bertolak belakang.

Dari kacamata pemerintah, PPN 12% diharapkan bisa mengerek rasio perpajakan. Dengan demikian, pemerintah akan lebih leluasa untuk mengalokasikan anggaran pembiayaan dan pembangunan.

Selain itu, sambung Prianto, Indonesia tidak perlu menarik utang untuk menutupi belanja pemerintah. Namun, apabila PPN diturunkan, harus ada upaya pengganti potensi kehilangan pajak ini.

Dia menekankan, jika tarif PPN diturunkan, pemerintah dan DPR harus menyepakati cara mencari substitusinya. Ini bertujuan supaya target penerimaan pajak di APBN tetap dapat meningkatkan tax ratio.

"Jika tidak, sumber utang akan menjadi solusi bagi penerimaan di APBN," tegas Prianto.

Sementara itu, dari kacamata masyarakat, tarif pajak yang naik akan memberikan beban tambahan. Imbasnya, daya beli bisa menurun karena alokasi untuk biaya pajak akan meningkat.

Jangan Terkesan ‘Tuli’
Terpisah, Pengamat Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda minta pemerintah jangan terkesan 'tuli' dengan tidak mendengarkan pendapat publik soal masyarakat yang terbebani dengan tarif pajak yang makin tinggi.

Padahal, menurut Nailul, pemerintah punya kewenangan untuk membatalkan tarif PPN sesuai UU HPP. Jadi, sambungnya, jangan berlindung di balik "hanya mematuhi Undang-undang".

Pasalnya, hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Raker dengan Komisi XI DPR RI. Menkeu mengaku, implementasi PPN 12% akan mengikuti regulasi dalam UU HPP.

Apabila mau mematuhi UU, lanjut Nailul, seharusnya pemerintah sudah menerapkan pajak karbon yang menjadi amanat UU HPP juga. Namun, sampai sekarang pemerintah tidak ada kejelasan, sedangkan di UU HPP, mestinya pajak karbon berlaku sejak April 2022.

Baca Juga: PPN 12% Diterapkan, Pemerintah Diminta Buat Kebijakan Pro Daya Beli

"Pajak karbon seharusnya tahun 2022 dilaksanakan, namun sampai saat ini tidak diimplementasikan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/11).

Pengamat Ekonomi Celios menambahkan, ada pos penerimaan lain yang belum dioptimalkan pemerintah, yakni penerimaan negara dari sektor tambang. Masih banyak tambang ilegal, dan aktivitas underground economy seperti itu tidak menyetorkan pungutan pajak ke negara.

"Hashim (Hashim Djojohadikusumo) pernah menyampaikan ada Rp300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN," katanya.

Nailul juga mengatakan, tarif PPN Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya, dan negara-negara OECD. Misal, di Malaysia hanya 8%, Singapura 9%, lalu Filipina paling tinggi 12%.

Atas pertimbangan di atas, ia menyarankan pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN 12% tahun depan. Ia kembali menekankan, pemerintah punya pilihan untuk meringankan masyarakat, tapi malah menambah beban.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar