c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

15 November 2024

17:08 WIB

PPN 12% Diterapkan, Pemerintah Diminta Buat Kebijakan Pro Daya Beli

Menaikkan tarif PPN jadi 12% tahun depan dinilai kurang bijak, mengingat daya beli masyarakat masih terpukul. Hal ini juga berpotensi menekan belanja masyarakat dan pertumbuhan ekonomi

<p>PPN 12% Diterapkan, Pemerintah Diminta Buat Kebijakan Pro Daya Beli</p>
<p>PPN 12% Diterapkan, Pemerintah Diminta Buat Kebijakan Pro Daya Beli</p>

Ilustrasi. Seorang pembeli berbelanja makanan dan minuman di salah satu minimarket Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12). Antara Foto/Arif Firmansyah

JAKARTA - Ekonom Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda meminta pemerintah, untuk membuat kebijakan yang pro daya beli masyarakat. Hal ini untuk merespons keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan PPN 12%.

“Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro terhadap daya beli, bukan malah menekan daya beli masyarakat,” ujarnya seperti dilansir Antara di Jakarta, Jumat (15/11).

Menurut dia, menaikkan tarif PPN pada tahun depan merupakan keputusan yang kurang bijak mengingat daya beli masyarakat masih cukup terpukul. Menerapkan PPN 12% juga berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan target pertumbuhan ekonomi.

“Demikian juga dengan daya beli masyarakat yang akan tergerus. Dampak paling buruknya adalah pengangguran akan meningkat. Kesejahteraan masyarakat akan sangat terbatas,” tambahnya.

Nailul pun mengamini banyak negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menerapkan tarif PPN lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun, juga ada negara yang tarif PPN-nya lebih rendah, seperti Kanada yang hanya sebesar 5%.

“Jadi, tidak harus melihat yang lebih tinggi tarif PPN-nya. Ada beberapa negara mempunyai tarif lebih rendah,” serunya.

Dia berharap pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12% pada tahun depan. Seharusnya, lanjut dia, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah.

“Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) akan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tuturnya. 

Mandat UU
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).

Salah satu pertimbangannya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis. Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.

"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12%) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tuturnya.

Sekadar mengingatkan, saat ini, tarif PPN Indonesia berada di angka 11%. Angka sebesar itu dinilai masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya. Sri Mulyani menyampaikan, rata-rata PPN seluruh dunia, termasuk negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), memiliki tarif PPN sebesar 15%.

Kemudian, dengan kenaikan PPN 12% tersebut, dalam kebijakan fiskal pada 2025, ditetapkan pendapatan negara 12,08-12,77% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), belanja negara 14,21-15,22% PDB, keseimbangan primer 0,07% hingga minus 0,40 % PDB, dan defisit 2,13-2,45% PDB.

Perluasan Objek Pajak
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, perluasan objek pajak lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan negara daripada kenaikan PPN 12%.

“Kalau mau mendorong rasio pajak, perluas objek pajak, bukan utak-atik tarif,” kata Bhima.

Menurutnya, pemerintah bisa mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp86 triliun per tahun. Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon pun juga bisa menjadi alternatif dari kebijakan PPN 12 %.

Sebab, dia meyakini kenaikan tarif PPN di tengah kondisi perekonomian saat ini bukan menjadi solusi yang tepat untuk mendongkrak pendapatan negara. Kenaikan tarif PPN 12% bila diakumulasikan dalam empat tahun terakhir, kenaikannya terhitung sebesar 20%. “Dari 10% ke 11%, kemudian ke 12%, total 20% kenaikannya,” jelasnya.

Dengan perhitungan itu, maka kenaikan tarif PPN terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Sementara efek kenaikan PPN 12% bisa berdampak langsung terhadap inflasi umum, yang akhirnya berpotensi meningkatkan harga barang.

Terlebih, kelas menengah yang menjadi kelompok utama penyumbang konsumsi rumah tangga telah menghadapi berbagai tekanan, seperti kenaikan harga pangan dan sulitnya mencari pekerjaan. Bila ada penerapan PPN 12%, dikhawatirkan kemampuan belanja masyarakat bisa menurun.

Penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, hingga kosmetik atau perawatan tubuh berpotensi melambat, mengingat kelas menengah yang menjadi sasaran utama dari PPN barang-barang di kelompok ini.

Efek lainnya juga mengarah kepada pelaku usaha. Penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN bisa berdampak terhadap omzet mereka. Kemudian berpengaruh pada penyesuaian kapasitas produksi hingga penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.

Bila kondisi ini terus berlanjut, potensi yang mungkin terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. “Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12%, karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga,” ujar Bhima.

Pertebal Bansos
Sementara itu, Ekonom Josua Pardede mendorong pemerintah untuk mempertebal bantuan sosial (bansos) dan insentif guna membantu kelas menengah hingga miskin dari tekanan kenaikan PPN 12%. Ia menjelaskan, kebijakan bansos dapat membantu mengimbangi penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa.

Di samping itu, penerapan bantuan tunai bagi kelompok kelas menengah ke bawah juga bisa mengurangi dampak inflasi yang timbul akibat kenaikan PPN.

“Melalui program-program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, masyarakat berpenghasilan rendah dapat memperoleh bantuan tambahan yang bisa membantu menjaga konsumsi dasar mereka meski terjadi kenaikan harga barang karena PPN,” kata Josua.

Selain bansos, subsidi di sektor-sektor tertentu juga bisa mengurangi beban masyarakat akibat kenaikan PPN. Josua mencontohkan subsidi di sektor energi atau kredit usaha kecil bisa meringankan biaya hidup dan operasional usaha kecil dan kelas menengah yang mungkin terdampak lebih besar dari kebijakan PPN 12%.

Lebih lanjut, pemberian insentif pajak atau pengurangan pajak untuk usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) bisa membantu pelaku usaha dalam menyesuaikan diri dengan peningkatan beban pajak. Menurut dia, insentif seperti ini dapat mendukung daya saing UMKM dan mencegah penurunan produktivitas akibat biaya tambahan.

“Melalui langkah-langkah ini, pemerintah dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di tengah kebijakan kenaikan PPN yang direncanakan akan diberlakukan tahun 2025,” ujarnya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar