c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

23 Agustus 2023

15:15 WIB

Pajak Minimum Global Dinilai Bisa Tekan Praktik Penghindaran Pajak

Pengamat pajak menilai pajak minimum global penting diterapkan untuk tekan penghindaran pajak dan tensi kompetisi pajak. Namun saat ini yang menjadi sorotan adalah waktu implementasi kebijakannya.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Pajak Minimum Global Dinilai Bisa Tekan Praktik Penghindaran Pajak
Pajak Minimum Global Dinilai Bisa Tekan Praktik Penghindaran Pajak
Ilustrasi. Foto pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (10/12/2021). Antara Foto/Galih Pradipta

JAKARTA - Pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, pengenaan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) sebesar 15% kepada perusahaan multinasional bertujuan mengurangi praktik penghindaran pajak dan tensi kompetisi pajak.

Dia menjelaskan, pengenaan pajak minimum global merupakan bagian dari Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0. BEPS adalah salah satu bentuk penyalahgunaan dalam dunia bisnis.

Istilah BEPS sama dengan penggerusan basis pajak dan pengalihan laba. BEPS merupakan strategi perencanaan pajak (tax planning), di mana perusahaan memanfaatkan kelemahan regulasi untuk menghilangkan/menggeser laba atau keuntungannya ke negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah atau bebas pajak. Tujuannya, agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau hanya sebagian kecil.

"Adanya tarif pajak efektif sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan kriteria tertentu di manapun ia beroperasi, dimaksudkan untuk mengurangi praktik penghindaran pajak dan tensi kompetisi pajak," ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Selasa (22/8).

Bawono menyampaikan, pengenaan tarif pajak sebesar 15% kepada perusahaan multinasional juga akan berdampak positif bagi penerimaan pajak Indonesia. Dia menyebutkan ada tiga manfaat global minimum tax. Pertama, mengurangi kebocoran pajak akibat praktik penghindaran pajak.

Baca Juga: Tarik Investasi, Pemerintah Diminta Tak Selalu Gunakan Insentif Pajak

Kedua, mengurangi potensi pajak yang hilang dalam tax expenditure atau belanja perpajakan. Hal itu didorong dengan melakukan peninjauan ulang atas berbagai insentif pajak. Ketiga, adanya top-up tax yang bisa dipungut oleh Indonesia.

Bawono menjelaskan Proyek BEPS 2.0 mencakup ketentuan terkait insentif yang berpotensi mengurangi tarif pajak efektif. Artinya, negara berkembang yang selama ini memberikan fasilitas insentif untuk menarik investasi asing juga akan terdampak.

Dia mencontohkan negara berkembang yang memiliki kegiatan ekonomi yang substantif. Seperti negara yang memberikan insentif fiskal untuk investor berupa tax holiday untuk pembangunan manufaktur.

Bawono menilai penerapan pajak minimum global sebesar 15%, akan membuat tiap negara, baik maju ataupun berkembang, berkompetisi secara langsung. Dengan kata lain, tanpa harus berlomba-lomba melihat faktor insentif pajak untuk menarik investasi asing.

"Dapat disimpulkan bahwa setiap negara akan dipaksa untuk saling berkompetisi secara head to head tanpa pertimbangan faktor pajak," kata Bawono.

Baca Juga: CORE Nilai Isu Perpajakan Global Penting untuk Konsolidasi Fiskal

Selanjutnya, dia juga memprediksi akan muncul segelintir pendapat, negara berkembang dipaksa berkompetisi dengan negara maju. Padahal para negara maju sudah pasti memiliki iklim investasi yang lebih baik, sehingga kompetisinya sepertinya tidak seimbang.

Namun Bawono berpandangan pemerintah justru harus jeli dalam menelusuri sejauh mana faktor pajak, khususnya tarif dan insentif, terbukti efektif menarik investasi asing. Jika tidak efektif, pajak minimum global relatif tidak banyak memengaruhi aliran investasi masuk ke Indonesia.

"Sedangkan, jika efektif, tentu kita perlu memikirkan kembali posisi Indonesia serta mendesain skema insentif pajak yang kompetitif tapi tidak melanggar kesepakatan global," tutup Bawono.

Soroti Waktu Penerapan Pajak Minimum Global
Pengamat pajak sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyoroti waktu penerapan pajak minimum global sebesar 15% di Indonesia yang terus tertunda.

"Kan penerapannya [GMT] ditunda. Sampai sekarang kita belum punya hukum positifnya mau seperti apa. Memang kerangkanya sudah ada di Pasal 32A UU HPP, PP sudah terbit, tapi ya PMK-nya sendiri belum ada rancangannya sampai sekarang," ujarnya.

Prianto menambahkan tidak hanya Indonesia yang kesulitan merancang penerapan pajak minimum global. Dia mengungkapkan negara lain di Eropa pun, belum ada kepastian kapan akan mengimplementasikan Pilar 2 konsensus global terkait pajak minimum global sebesar 15%.

Pemerintah telah mengatur soal pajak minimum global melalui Pasal 32A UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dan Pasal 49 sampai Pasal 54 Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Kini, tinggal menunggu regulasi setingkat Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan secara keseluruhan, ketentuan dan aturan main soal pajak minimum global saat ini masih menjadi bahan diskusi internal Kementerian Keuangan. Hal itu disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti.

"Dapat kami sampaikan bahwa Global Minimum Tax (GMT) masih dalam pembahasan internal Kementerian Keuangan," kata Dwi secara singkat kepada Validnews di Jakarta, Rabu (23/8).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar