c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

03 April 2023

15:25 WIB

OPEC+ Pangkas Produksi, Ini Kata Pengamat

Harga minyak dunia akan naik, tapi tidak akan melampaui US$100 per barel seperti awal perang Rusia dan Ukraina.

Penulis: Yoseph Krishna

OPEC+ Pangkas Produksi, Ini Kata Pengamat
OPEC+ Pangkas Produksi, Ini Kata Pengamat
Ilustrasi rig lepas pantai migas. Shutterstock/dok

JAKARTA – Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi meyakini bahwa kebijakan OPEC untuk memotong produksi dilakukan guna menaikkan harga minyak yang belakangan ini tengah menurun.

Fahmy menilai, kebijakan itu agaknya tidak akan berdampak besar selama Rusia masih menjual minyak melalui pihak ketiga. Menurut dia, sekalipun diembargo oleh NATO, Rusia masih bisa menjual minyak antara lain melalui India, China, atau bahkan Arab Saudi sebagai pihak ketiga mereka.

"Kalau itu masih terjadi, maka penurunan produksi dari OPEC tidak akan begitu banyak berpengaruh, harganya tidak akan banyak berubah," ungkapnya saat dihubungi Validnews dari Jakarta, Senin (3/4).

Sebagai informasi, Arab Saudi dan produsen minyak OPEC+ lainnya mengumumkan pemotongan produksi minyak sekitar 1,16 juta barel per hari pada Minggu (2/4). Langkah ini disebut mengejutkan dan diprediksi akan menaikkan harga secara langsung. 

Sementara itu, Amerika Serikat menyatakan langkah tersebut tidak bijaksana.

Janji ini membawa total volume pemotongan oleh OPEC+, yang mengelompokkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dengan Rusia dan sekutunya, menjadi 3,66 juta barel per hari menurut perhitungan Reuters, setara dengan 3,7% dari permintaan global.

Baca Juga: OPEC+ Umumkan Pemotongan Produksi Minyak

Perkembangan pada hari Minggu ini datang sehari sebelum pertemuan virtual dari panel menteri OPEC+, yang mencakup Arab Saudi dan Rusia, dan yang diharapkan untuk mempertahankan pemotongan produksi sebesar 2 juta barel per hari yang sudah berlangsung sampai akhir 2023.

Asal tahu saja, Harga minyak bulan lalu turun mendekati US$70 per barel, terendah dalam 15 bulan, karena kekhawatiran krisis perbankan global akan mempengaruhi permintaan. 

Namun, langkah OPEC+ lebih lanjut untuk mendukung pasar tidak diharapkan setelah sumber-sumber meminimalkan prospek ini dan harga minyak mentah pulih mendekati US$80.

Fahmy mengakui bahwa upaya OPEC dalam memotong produksi itu dilakukan untuk meningkatkan harga minyak dunia. Dalam hal ini, dia meyakini kenaikan harga minyak sejatinya memang bisa terjadi, namun tidak akan melampaui US$100 per barel seperti saat awal perang antara Rusia dan Ukraina.

"Kenaikan harga minyak tadi misalnya menyentuh US$90 karena kalau di atas US$100 rasanya tidak mungkin," imbuh Fahmy.

Dampak ke Indonesia
Dengan naiknya harga minyak dunia, Fahmy menilai yang jelas mendapat keuntungan adalah negara-negara OPEC. Bagi Indonesia yang tidak lagi menjadi anggota OPEC, kenaikan harga minyak tentu lebih banyak membawa dampak negatif. Pasalnya, nilai impor BBM Indonesia masih lebih tinggi ketimbang ekspor minyak mentah.

"Indonesia akan sangat rugi karena harus menggunakan devisa yang lebih banyak untuk membayar impor BBM yang dibutuhkan," kata dia.

Dampak negatif lain, ialah bertambahnya beban APBN dalam hal subsidi pertalite maupun solar. Jika harga minyak merangkak akibat keputusan OPEC+ dalam memotong produksi, Indonesia juga mau tidak mau menaikkan harga BBM subsidi.

Artinya, pemerintah saat ini hanya punya dua pilihan, yakni menaikkan harga BBM subsidi atau mempertahankan harga dengan konsekuensi beban APBN yang akan bertambah untuk menanggung subsidi BBM.

"Subsidi itu kan cukup besar. Hampir semua menteri, termasuk Menteri Keuangan menyampaikan itu salah sasaran sekitar Rp136 triliun kalau tidak salah," tuturnya.

Baca Juga: Era Minyak Mentah Murah Telah Berakhir? 

Untuk mengakali itu, Fahmy menyarankan agar pemerintah melakukan pembatasan bagi pengguna atau konsumen BBM bersubsidi. Hal itu dapat dilakukan dengan membenahi regulasi terkait agar mencantumkan bahwa BBM bersubsidi hanya dapat dibeli sepeda motor maupun angkutan orang dan barang.

Dengan adanya ketentuan itu, aparat bisa melakukan penindakan apabila di lapangan terjadi penyelewengan. Selama ini, dia mengatakan belum ada regulasi yang membatasi pembelian BBM bersubsidi sehingga tidak ada yang mendasari aparat untuk menindak tegas pelaku penyelewengan.

"Perlu disebutkan bahwa yang boleh menggunakan pertalite itu adalah sepeda motor dan kendaraan angkutan, lalu solar untuk truk roda empat. Kalau tidak ada dasarnya seperti sekarang, akan dibiarkan saja ketika ada penyimpangan," tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar