c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

16 Juli 2024

16:45 WIB

OJK Nilai Ruang Penurunan Suku Bunga Kredit Terbatas di 2024

Penurunan suku bunga kredit terbatas tahun ini, lantaran The Fed memproyeksikan penurunan Fed Fund Rate (FFR) hanya satu kali pada tahun ini.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">OJK Nilai Ruang Penurunan Suku Bunga Kredit Terbatas di 2024</p>
<p id="isPasted">OJK Nilai Ruang Penurunan Suku Bunga Kredit Terbatas di 2024</p>

Ilustrasi kredit perbankan. Shutterstock/dok

JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menilai ruang penurunan suku bunga kredit masih terbatas pada tahun 2024.

Saat ini, meskipun ekspektasi pasar terhadap kondisi higher for longer mulai menurun, kebijakan moneter global masih dalam “mode ketat”.

Pasalnya, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed memproyeksikan penurunan Fed Fund Rate (FFR) hanya satu kali pada tahun ini.

"Dengan demikian, ruang penurunan suku bunga kredit masih terbatas, khususnya pada tahun 2024. Apalagi di tengah nilai tukar yang masih mengalami pelemahan," kata Dian kepada media yang dikutip Selasa (16/7).

Baca Juga: Ekonom: Kenaikan BI-Rate Relatif Minimal Ganggu Suku Bunga KPR

Jika terdapat ruang bagi bank untuk menurunkan suku bunga, lanjutnya, maka hal tersebut akan berlaku utamanya bagi kredit yang memiliki repricing time yang lebih singkat, seperti kredit modal kerja atau kredit konsumtif jangka pendek.

Suku bunga yang lebih rendah pada kredit yang baru direalisasikan, utamanya kredit konsumtif, juga dapat diberlakukan oleh bank untuk mendorong pertumbuhan kredit rumah tangga.

"Per posisi Mei 2024, terdapat penurunan suku bunga pada kredit modal kerja maupun kredit konsumtif, dibandingkan dengan suku bunga kredit tahun sebelumnya meskipun dengan magnitude yang tergolong kecil (kurang

Menurutnya, kondisi suku bunga kredit yang stabil atau cendrung menurun juga akan berdampak baik pada kemampuan atau kapabilitas debitur, sehingga kualitas kredit dapat lebih terjaga.

Dampak Kenaikan Suku Bunga Global
Masih dalam kesempatan yang sama, Dian mengatakan, kenaikan suku bunga global terutama FFR membuat investasi di UST Bond menjadi lebih menarik. Pasalnya, imbal hasil (yield) yang ditawarkan semakin tinggi. Hal itu juga didukung suku bunga deposito USD di AS yang dapat mencapai 5,25%-5,75%.

"Hal ini telah mendorong permintaan atas USD, sehingga menyebabkan mata uang lain terdepresiasi termasuk rupiah," terangnya.

Dollar index cenderung menguat, sementara pergerakan nilai tukar IDR/USD cukup volatile dengan kecenderungan melemah dalam enam bulan terakhir.

Menurut Dian, peningkatan suku bunga secara global memberikan dampak yang bervariasi untuk perbankan di Indonesia. Meningkatnya suku bunga global ditambah dengan fluktuasi nilai tukar, menyebabkan mahalnya biaya dana dari luar negeri bagi korporasi.

"Dari sisi fungsi intermediasi, hal ini berdampak positif bagi pertumbuhan kredit perbankan Indonesia, utamanya dari sisi kredit produktif karena dari daya tarik kredit perbankan domestik akan semakin menarik bagi korporasi domestik," jelas dia.

Di sisi lain, dia menjelaskan, untuk memperkuat stabilitas nilai rupiah dari dampak kenaikan suku bunga global, suku bunga acuan di Indonesia telah meningkat secara bertahap dari 3,50% menjadi 6,25%. Dalam periode itu, ada delapan kali kenaikan dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Meningkatnya suku bunga acuan juga berdampak bagi peningkatan biaya dana perbankan atau biaya bunga DPK.

Baca Juga: Eks Gubernur BI Sebut Nilai Tukar Rupiah Berpeluang Anjlok Ke Rp17 Ribu

Di sisi lain, perbankan Indonesia lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga kredit meskipun suku bunga dana cenderung meningkat, sehingga dapat menyebabkan tekanan pada profitabilitas perbankan.

"Namun demikian, mengingat profitabilitas perbankan yang memang sangat baik, dan masih didukung oleh pertumbuhan kredit, NIM dan ROA industri perbankan masih tergolong tinggi, meskipun mengalami sedikit penurunan," katanya.

Kemudian, pertumbuhan DPK perbankan, meski lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih lebih rendah dibandingkan kredit. 

Pertumbuhan DPK yang melambat utamanya pada deposito, yang juga dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana.

"Gap antara pertumbuhan kredit dan DPK menyebabkan bank melakukan penjualan surat berharga dan mengurangi alat likuid. Hal ini juga menyebabkan likuiditas perbankan mengalami tekanan terlihat dari menurunnya rasio likuiditas bank, meskipun masih jauh di atas threshold dan berada pada level yang lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi," pungkas Dian.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar