20 Juli 2024
14:56 WIB
Terganjal Obat Mahal
Selain bahan baku, sederet masalah menjadi penyebab mahalnya harga obat dan alkes. Mulai dari ketergantungan impor bahan baku, hingga kemungkinan adanya kartel
Ilustrasi harga obat mahal. Shutterstock/irfan_setiawan
JAKARTA – Jelang akhir tugas Kabinet Indonesia Maju (KIM), ada beberapa pekerjaan yang tampaknya tak bisa diselesaikan pemerintah. Salah satunya soal mahalnya harga obat di dalam negeri.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lalu menyikapinya dengan menggelar rapat terbatas internal, terkait dengan skema rencana relaksasi pajak untuk industri kesehatan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa(2/7).
“Presiden meminta harga alat kesehatan dan obat-obatan bisa lebih terjangkau,” urai Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin usai rapat.
Menkes menyebutkan, harga obat di Indonesia lebih mahal, bahkan bisa sampai lima kali dibanding Malaysia. Presiden, lanjut Menkes, ingin agar industri kesehatan dalam negeri bisa diperkuat. Hal ini agar bisa menghadapi tantangan ke depan, termasuk kemungkinan kembali terjadinya pandemi.
Menkes memaparkan beberapa persoalan yang menjadi pekerjaan rumah di industri farmasi, yakni tata kelola proses pembelian alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan, sistem perpajakan, impor bahan baku yang belum efisien, hingga koordinasi antar-kementerian dalam mendesain ekosistem.
Kendati demikian, kata dia, masih perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui persis penyebab harga obat yang mahal di Indonesia. Ia mengatakan, Kemenkes akan bekerja sama dengan kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), hingga Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Budi menekankan, tidak semua obat mahal. Menurut ia, obat generik di Indonesia relatif lebih murah. "Tapi kalau yang obat-obat non-generik itu mahal," jelasnya, usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Selasa (2/7).
Namun, bagaimana rencana Kemenkes mengatasi isu ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, masalah ini masih dalam pembahasan. “Itu masih dalam pembahasan tim.” jelasnya singkat kepada Validnews, Jumat (12/7).
Masalah Lama
Pakar kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, harga obat di Indonesia yang mahal, merupakan persoalan lama dan belum juga teratasi. Tidak hanya dibandingkan negara tetangga, obat di Indonesia pun sebetulnya jauh lebih mahal dari di India sekalipun, bisa mencapai 500%.
“Di India tidak disebut obat generik atau tidak, tapi yang jelas lebih murah lima kali dibanding saya beli di Jakarta,” ungkap dia dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (12/7).
Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Reny Yanita menambahkan, bahan baku obat yang diimpor menyebabkan harga obat tinggi.
“Dari 400 lebih bahan baku obat yang dibutuhkan, industri dalam negeri baru bisa memproduksi 23 bahan baku obat,” jelas dia kepada Validnews, Sabtu (13/7).
Jadi, untuk mengurangi impor harus terus menggali potensi bahan baku nasional yang bisa dikembangkan jadi produk farmasi. Pilot project pun perlu dibuat pemerintah agar makin banyak bahan baku obat bisa diproduksi dalam negeri.
Indonesia sebetulnya punya modal di bahan baku herbal. Karena itu, menurutnya, hal ini perlu didorong di tengah banyaknya kebutuhan bahan baku obat impor yang mencapai 90%. Riset-riset terkait bahan baku herbal ini juga perlu dikembangkan.
Reny menjelaskan tingginya bahan baku obat impor dipengaruhi riset yang memakan waktu. Kalau pun riset sudah siap, tantangan selanjutnya adalah industri harus mengurus izin edar yang memerlukan waktu panjang.
“Semangat kita kan, semangat karena memang untuk kesehatan, tapi kan harusnya dikomunikasikan supaya mana yang bisa dipercepat penerbitan izinnya, bisa kita percepat, supaya kita menambah lagi bahan-bahan yang bisa diproduksi di Indonesia,” ungkapnya.
Hal lain yang juga memengaruhi mahalnya obat adalah utilitas industri farmasi. Utilitas industri ini dibentuk oleh tinggi rendahnya permintaan.
Reny mencontohkan saat kapasitas mesin industri dalam posisi 100%, lalu industri memproduksi produk sebanyak 100%, tetapi yang laku di pasaran hanya 50%. Hal ini jadi persoalan, karena biaya yang dikeluarkan tetap untuk yang 100%.
“Untuk meningkatkan utilisasi, harus kita paksa, terutama yang sekarang. Sekarang yang belanja kementerian/lembaga, belanja BPJS, itu pakai produsen dalam negeri, jangan impor,” jelas dia.
Pemerintah, kata dia, sudah menjalankan pemberian subsidi obat generik. Seperti, produsen jual obat Rp1.000, sebanyak Rp300 dibayarkan pemerintah, sisanya masyarakat.
Sementara Kemendag, sebagai salah satu pihak yang disebut Menkes diajak kerja sama untuk membangun industri dan membuat kebijakan, mengaku belum ada komunikasi dari Kemenkes soal ini. Dengan alasan belum ada direktorat di Kemendag yang menangani ini.
“Sejauh ini tidak ada fungsi yang menangani,” jelas, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim, Rabu (16/7).

Telaah Praktisi
Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Noffendri mencoba menguraikan isu harga obat mahal di Indonesia. Awalnya, menjelaskan ada beberapa jenis kelompok obat di Indonesia.
Pertama obat paten, yang diproduksi perusahaan farmasi dengan hak paten 15-20 tahun. Mayoritas, perusahaan farmasi asing. “Sehingga, harga jadi mahal, karena diimpor dan masih dilindungi paten,” jelas dia, Jumat (12/7).
Setelah masa paten obat habis, perusahaan lain bisa memproduksi dengan kandungan sama setelah mendapatkan
Obat generik bermerek diberi nama oleh perusahaan yang memproduksinya. Obat generik berlogo dipasarkan tidak menggunakan merek, hanya menggunakan nama dari kandungan obat itu sendiri. Pemerintah lalu mewajibkan memberi logo generik, sehingga dikenal obat generik berlogo.
Obat generik bermerek, lanjut dia, dibagi dalam dua kualifikasi, yaitu generik bermerek originator dan generik bermerek mee-too. Obat generik bermerek originatordiproduksi kembali pemilik paten. Sedangkan generik bermerek mee-toodiproduksi oleh perusahaan farmasi yang tidak memiliki paten.
Selanjutnya, obat generik bermerek originator lebih murah dari obat paten. Namun, umumnya lebih mahal dari mee-too, karena diproduksi oleh perusahaan yang semula memegang paten.
Dari uraian itu, Noffendri menyimpulkan, o
“Info yang kami dapat (obat paten dan obat generik bermerek originator) itu hanya 10% dari total penjualan obat di Indonesia,” jelasnya.
Kemudian obat generik ini sebagian ada yang sudah masuk oleh fasilitas atau program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam e-katalog obat jenis ini harganya paling rendah.
“Tablet amlodipine untuk menurunkan tekanan darah itu harganya cuma Rp200. Mahalan permen. Sirup
Harga obat mahal, terutama obat paten menurut dia karena biaya riset obat yang tidak murah. Akan tetapi, harga bisa rendah karena ada peran pemerintah.
Misalnya saja, pemerintah bernegosiasi dengan perusahaan farmasi luar negeri.
Bisa juga, ketika riset obat masuk tahap uji klinik, hal itu dilakukan di Malaysia dan Singapura. Hal ini menyebabkan kedua negara itu dapat harga khusus.
Harga mahal tak lepas juga karena pertimbangan bisnis. Lantaran, perusahaan farmasi yakin, pasar obat produksi mereka memang mendukung.
Dari penjelasan itu, dia berpesan, jika harga obat paten mahal karena tergolong bermerek originator, masyarakat dapat mengonsumsi obat generik bermerek mee-too atau generik berlogo. Obat-obat ini khasiatnya tidak kalah bagus dengan obat paten atau obat bermerek originator.
Dia juga berharap, pemerintah rajin kampanye penggunaan obat generik. Terutama produksi dalam negeri. Tingkat konsumsi jenis obat ini turut membangun industri dalam negeri.
Periset Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional (PRBBOT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yuli Widyastuti mengatakan, wajar jika harga obat paten mahal. Hal ini dikarenakan investasi riset yang juga tak murah.
“Beberapa obat, uji klinik harus di seluruh dunia. Jadi, karena faktor itu mendorong harga obat paten jadi mahal,” jelasnya, Jumat (12/7).
Biaya yang diperlukan untuk riset obat juga berbeda-beda. Misalnya, untuk tahap uji klinis fitofarmaka, meski ini merupakan obat bahan alam, tapi memerlukan biaya Rp3-4 miliar.
Waktu untuk riset juga tidak sebentar, bisa 6-8 tahun. Sebelumnya, bahkan perlu 14-20 tahun.
Perekayasa Ahli Utama PRBBOT BRIN Chaidir Amin pun menyoroti ketergantungan bahan baku impor. Hal ini, lanjutnya, menjadikan industri farmasi dalam negeri belum bisa mandiri.
Ia menguraikan, industri farmasi adalah cabang dari industri kimia. Industri farmasi tergantung bahan kimia yang diproduksi buat obat.
”Selama industri petrokimia kita tidak maju, tidak berkembang, ya kita tidak akan bisa,” urai dia, Sabtu (13/7).
Faktor lain yang menyebabkan obat mahal adalah inefisiensi distribusi dan tata kelola. “Efiseinsi ekonomi kita, efisiensi dari sisi logistik di Indonesia yang mahal. Termasuk juga tata laksana bisnisnya, sehingga wajar kita jadi lebih mahal,” jelasnya.
Ia pun menekankan, industri farmasi selain padat modal, juga adalah padat pengetahuan. Membutuhkan sumbe
Ia juga mengingatkan, kemandirian industri farmasi penting agar kondisi seperti pandemi covid-19, Indonesia tak lagi ketergantungan pada negar
“Padahal industri farmasi ada 200-an, tapi tidak bisa apa-apa. Karena kita bahan aktifnya tidak punya,” ujar Chaidir.
Komite Ahli Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Husniah Rubiana Thamrin Akib memberikan catatan, agar harga obat di Indonesia lebih rasional. Pertama, Indonesia harus kembali mengontrol harga obat generik dengan menetapkannya secara rasional.
Kedua, pabrik obat harus transparan dalam menghitung struktur harga obat. Semua unsur pembentuk harga obat perlu dijelaskan penghitungannya.
Ketiga, karena saat ini industri ekspedisi sudah sangat maju dan dunia bisnis, mulai merambah skema business to consumer, maka sebaiknya jaringan atau level pedagang besar farmasi (PBF) dapat dihilangkan. Hal Ini akan memangkas biaya 20%.
“Membuang klasifikasi obat brandedgeneric. Sesungguhnya klasifikasi cuma ada paten dan generik. Kalau masa berlaku paten sudah berakhir semua jadi generik dan harga tentu harga generik,” ujarnya, Jumat (19/7).
Kelima, dengan mempermudah registrasi obat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Terlepas dari faktor-faktor di atas, Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Perindustrian dan Pembangunan Rachmat Gobel mengatakan, harga obat di Indonesia jauh lebih mahal daripada di negara lain.
Hal ini disebabkan masih ada pejabat yang kurang memiliki visi dan komitmen dalam membangun industri dalam negeri di bidang kesehatan.
“Jika industri nasional tidak tumbuh padahal permintaan dan harganya tinggi berarti ada sesuatu yang sakit,” urai dia dikutip dari laman DPR, Jumat (19/7).
Selain obat, alat kesehatan yang juga mahal membuat negara dan rakyat yang dirugikan. Pertama, biaya yang dikeluarkan menjadi lebih mahal. Kedua, bagi masyarakat miskin yang belum terjangkau BPJS Kesehatan menjadi makin miskin.
Ketiga, biaya yang dikeluarkan negara untuk pembiayaan JKN menjadi lebih boros. Keempat, devisa negara menjadi terkuras.
Kelima, bagi orang yang mampu lebih memilih berobat di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang hal ini merugikan ekonomi nasional.
Gobel mengatakan, ada beberapa sebab mengapa alkes dan obat di Indonesia jauh lebih mahal daripada di negara lain. Pertama, masalah korupsi di segala lini. Kedua, tak menutup kemungkinan terjadinya kartel di bisnis farmasi dan kesehatan.
Ketiga, masalah pajak dan pungutan lainnya. Keempat, tidak adanya koordinasi yang baik antar-instansi, dalam hal ini Kemenkes, Kemendag, Kemenperin