17 Oktober 2023
10:37 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menilai surplus neraca perdagangan sejumlah US$3,42 miliar pada September 2023 mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia masih kuat di mata pasar eksternal.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono mengatakan surplus neraca perdagangan yang berlanjut selama 41 bulan berturut-turut sejak Mei 2020 adalah hal yang positif.
"Bank Indonesia memandang perkembangan ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (16/10).
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia pada September 2023 lebih tinggi dibandingkan surplus pada Agustus 2023 yang sebesar US$3,12 miliar.
Sementara itu, secara kumulatif periode Januari-September 2023, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar US$27,75 miliar.
Baca Juga: Neraca Dagang September Surplus US$3,42 M, Surplus 41 Bulan Beruntun
Otoritas moneter melihat bahwa hal itu positif dan perlu dilanjutkan. Sejalan dengan itu, Erwin menyampaikan pihak BI, pemerintah dan otoritas lain akan menguatkan sinergi kebijakan.
"Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas lain guna terus meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pemulihan ekonomi nasional," kata Erwin.
Ada Perlambatan Ekonomi Global, RI Masih Surplus
Senada dengan BI, pemerintah yang diwakilkan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menilai bahwa kinerja sektor eksternal RI masih kuat meski ada perlambatan ekonomi global.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan beberapa tantangan global di antaranya, ada tren moderasi harga komoditas dan perlambatan kinerja pertumbuhan ekonomi global.
"Di tengah tantangan itu, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus. Hal ini menunjukkan kinerja sektor eksternal Indonesia masih kuat dan akan terus kita jaga ke depannya," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (17/10).
Febrio menuturkan meski masih surplus, aktivitas perdagangan internasional Indonesia mengalami penurunan. Hal itu sejalan dengan tren moderasi harga komoditas global dan perlambatan ekonomi di beberapa negara mitra dagang utama.
Dia menerangkan harga komoditas utama ekspor Indonesia mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun 2022. Itu mencakup minyak kelapa sawit (crude palm oil), batu bara, dan nikel.
"Bank Dunia memperkirakan harga komoditas global pada 2023 akan termoderasi sebesar -21,2 dibanding tahun 2022 sebagai dampak dari meningkatnya tensi geopolitik dan pelemahan Tiongkok," kata Febrio.
Kepala BKF juga menjelaskan nilai ekspor dan impor Indonesia mengalami penurunan. Ekspor pada September 2023 tercatat senilai US$20,76 miliar atau kontraksi 16,17% secara tahunan (yoy).
Baca Juga: Pengamat: Tetap Waspada, Meski Neraca Perdagangan Suplus
Penurunan ekspor terjadi pada sektor industri dan pertambangan. Kemudian, secara kumulatif, ekspor periode Januari-September 2023 senilai US$192,27 miliar.
Sementara itu, impor Indonesia tercatat senilai US$17,34 miliar atau turun 12,45% yoy. Penurunan nilai impor terjadi pada bahan baku/penolong dan barang modal, sedangkan impor barang konsumsi masih tumbuh positif. Secara kumulatif, impor periode Januari-September 2023 senilai US$164,52 miliar.
Febrio menuturkan penurunan nilai ekspor dan impor tidak hanya dialami Indonesia. Itu terjadi pula di negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok, India, Amerika Serikat, Vietnam, dan Korea Selatan.
Dia meyakini dalam menghadapi tantangan perlambatan global yang semakin kompleks, pemerintah tetap optimis dan berkomitmen untuk mengatasi dampak dari perlambatan global.
Febrio menyebutkan salah satu strategi yang diterapkan adalah dengan memantau secara cermat dampak perlambatan global terhadap ekspor nasional.
"Pemerintah juga telah menyiapkan langkah antisipasi melalui dorongan terhadap keberlanjutan hilirisasi SDA, peningkatan daya saing produk ekspor nasional, serta diversifikasi mitra dagang utama," tutup Kepala BKF.