01 April 2024
11:41 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, outstanding jumlah utang pemerintah per akhir Februari 2024 tercatat mencapai Rp8.319,22 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 39,06%. Pengelolaan portofolio utang berperan besar dalam menjaga kesinambungan fiskal secara keseluruhan.
Secara umum, outstanding utang pemerintah ini naik sekitar 0,8% ketimbang sebulan sebelumnya yang berada di Rp8.253,09 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 38,75%.
Kemenkeu menilai, rasio utang per akhir Februari ini masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2024-2027 di kisaran 40%.
“Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif,” sebut laporan APBNKita Maret 2024, Jakarta, yang Validnews akses pada Senin (1/4).
Pemerintah juga menekankan, mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,92%. Selaras dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.
Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa SBN yang mencapai 88,19%. Pasar surat utang negara (sovereign debt) yang efisien akan meningkatkan daya tahan sistem keuangan Indonesia terhadap guncangan ekonomi dan volatilitas pasar keuangan.
“Dengan aktivitas pembiayaan utang melalui penerbitan SBN, pemerintah turut mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik,” terangnya.
Surat Berharga Negara juga turut menyediakan referensi untuk menentukan harga instrumen pasar keuangan lainnya dan digunakan oleh para pelaku pasar untuk mengelola risiko suku bunga.
Per akhir Februari 2024, lembaga keuangan memegang sekitar 43,9% kepemilikan SBN domestik. Terdiri dari perbankan 25,6%, serta perusahaan asuransi dan dana pensiun sebesar 18,3%.
Bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu instrumen mitigasi risiko. Kepemilikan SBN domestik oleh Bank Indonesia sekitar 20,7% yang antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter.
Sementara, asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,5% termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
Kepemilikan investor individu di SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019, dari yang hanya di bawah 3% menjadi 7,9% per akhir Februari 2024. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah memperluas basis investor, inklusi keuangan, dan peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society.
“Sisa kepemilikan SBN domestik dipegang oleh institusi domestik lainnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan keuangan institusi bersangkutan,” jabarnya.
Selanjutnya, pemerintah terus berupaya mewujudkan pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid. Guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang.
Salah satu strateginya, melalui pengembangan berbagai instrumen SBN, termasuk pengembangan SBN tematik berbasis lingkungan seperti Green Sukuk dan SDGs berupa SDG Bond dan Blue Bond.
Peranan transformasi digital dalam proses penerbitan dan penjualan SBN yang didukung oleh sistem online juga begitu penting. Jadi mampu membuat pengadaan utang melalui SBN menjadi semakin efektif dan efisien, serta kredibel.
Pengelolaan portofolio utang berperan besar dalam menjaga kesinambungan fiskal secara keseluruhan. ”Oleh karena itu, pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo yang optimal,” ungkapnya.
Profil Risiko Utang Pemerintah
Per akhir Februari 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun. Pengelolaan utang yang disiplin turut menopang hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit.
“(Mencakup) S&P, Fitch, Moody’s, R&I, dan JCR yang hingga saat ini tetap mempertahankan sovereign rating Indonesia pada level investment grade di tengah dinamika perekonomian global dan volatilitas pasar keuangan,” ucapnya.
Pada 15 Maret 2024, Fitch kembali mempertahankan rating kredit Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stabil. Stabilitas ekonomi yang terjaga dan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang relatif rendah menjadi salah satu faktor yang menguatkan penilaian tersebut.
Dengan demikian, Fitch tetap memproyeksikan prospek pertumbuhan Indonesia yang positif dalam jangka menengah.
Powered by Froala Editor