10 Januari 2024
19:31 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan banyak negara mengkritik cara penangkapan ikan di Indonesia yang masih barbar.
Sakti pun membenarkan hal tersebut. Menurutnya, penangkapan ikan di Indonesia masih dilakukan secara ugal-ugalan. Artinya, ikan apapun diambil tanpa berpikir demand-nya.
"Sedangkan di luar itu berbasis pada demand. Kapal di luar negeri rata-rata 30 GT dan mereka sudah tahu mau menangkap ikan jenis apa yang dibutuhkan pasar, sehingga waktu dia mendarat sudah laku semua," ucapnya dalam sesi konferensi pers di Kantor KKP, Rabu (10/1).
Dia menegaskan, dampak dari barbar-nya penangkapan ikan di Indonesia itu tidak akan dirasakan saat ini, tetapi dalam jangka panjang. Jika kebiasaan itu tidak diubah, biota kelautan Indonesia akan habis.
Kondisi itu menjadi latar belakang munculnya kebijakan penangkapan ikan terukur. Sakti menyebutkan kebijakan itu jadi upaya menjaga biota kelautan dan sumber daya perikanan dengan baik.
"Maka dari itu keluar yang namanya penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Itu perlindungan ekologi, kita jadikan ekologi sebagai panglima," kata dia.
Baca Juga: Hanya 6.000 Kapal Kantungi Izin Menangkap Ikan Di Indonesia
Tak sampai situ, menurutnya ruang kelautan juga harus dijaga dengan kegiatan konservasi. Dengan begitu, ikan-ikan bisa berkembang biak secara berkelanjutan dan memberi manfaat yang besar buat masyarakat.
"Kalau di darat ada hutan itu diblok, manusia tidak boleh masuk dan hanya binatang tertentu supaya bisa berkembang biak seperti di alam bebas, demikian juga di laut," sebut Sakti.
Kawasan konservasi sendiri memuat tiga hal, salah satunya ialah sebagai tempat pemijahan alami. Sakti menjabarkan berbagai jenis ikan butuh tempat pemijahan khusus secara alami dengan kondisi dan persyaratan khusus. Selain itu, pemijahan tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.
Baca Juga: KKP Sempurnakan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Kelautan-Perikanan
Kemudian, ruang konservasi harus mampu memproduksi oksigen dengan optimal. Terakhir, kawasan konservasi harus mampu menjadi ruang serapan karbon dioksida.
"Jadi udara yang buruk, gas CO2 itu diserap balik. Kapasitasnya (laut) itu lima kali lebih besar dari hutan yang ada di darat," jabarnya.
Khusus di pesisir, mata rantai serapan CO2 berada di rawa pasang surut atau tidal marsh yang terkoneksi dengan padang lamun hingga koral. Jika kawasan itu rusak, maka ekologi laut secara keseluruhan juga ia katakan bakal rusak.
"Maka dari itu kita kedepankan untuk keberlanjutan adalah ekologi sebagai panglima. Jika ekologinya rusak, dia tidak bisa berpikir lagi sebagai panglima," tandas Sakti.