15 Januari 2024
19:47 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan pihaknya akan tetap berkoordinasi soal penghapusan pungutan PNBP eksplorasi hulu migas di laut lepas.
Koordinasi itu, tutur dia, akan tetap berjalan sekalipun Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dengan tegas menolak wacana penghapusan pungutan PNBP itu.
"Ya, kita menyayangkan kalau itu diterapkan. Jadi ya harus (koordinasi). Soalnya gimana kalau dua kali," ujarnya saat ditemui selepas konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Senin (15/1).
Menurut dia, koordinasi penghapusan PNBP eksplorasi hulu migas di laut lepas bukan hanya dilakukan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi juga dengan Kementerian Keuangan.
"Ini kan terkait dengan PNBP ya, jadi bagaimana kita bicarakan antara kita (ESDM), KKP, juga Kementerian Keuangan," kata Arifin.
Baca Juga: Soal PNBP Eksplorasi Hulu Migas, Menteri KP Singgung Kasus Lapindo
Permintaan untuk menghapus PNBP pada tahap eksplorasi hulu migas pertama kali diungkapkan oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. Menurutnya, penerapan PNBP eksplorasi jadi penghambat laju investasi hulu migas.
Kegiatan eksplorasi, sambung Dwi, merupakan bagian dalam industri hulu migas yang punya risiko tinggi. Pasalnya, terdapat kemungkinan kegiatan tersebut tidak menemukan cadangan yang ekonomis untuk diproduksi.
Dia menjabarkan industri hulu migas global memandang keberhasilan eksplorasi pada suatu titik hanya sekitar 30%. Sementara di Indonesia, tingkat risiko eksplorasi mencapai sekitar 60%.
"Global melihat angka pengeboran eksplorasi sekitar 30% meski di Indonesia lebih tinggi sekitar 60% angka suksesnya. Artinya kalau bicara global 30% maka tidak sukses itu ada 70%. Jadi sekali pengeboran ada kemungkinan tidak sukses," sebut Dwi Soetjipto.
Menteri Arifin menambahkan, saat ini industri hulu migas tengah marak mengembangkan potensi sumber daya minyak dan gas bumi di laut dalam. Hal itu jadi alasan utama permintaan menghapus PNBP eksplorasi hulu migas.
"Kita lagi marak-maraknya mau mengembangkan produksi migas di laut dalam kan, itu sudah jadi salah satunya," terang dia.
Penolakan KKP
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) eksplorasi hulu minyak dan gas bumi di laut lepas berkaitan dengan upaya pemerintah dalam menjaga ekologi.
Menurutnya, banyak pemetaan gunung api di bawah laut. Hal tersebut menurutnya bisa merusak ekologi jika pengeboran eksplorasi hulu migas dilakukan di titik yang rawan.
"Di daratan saja ada yang namanya Lapindo sampai sekarang menderitanya seperti itu. Itu salah loh, salah ngebor. Ini di darat nih, hancurnya tujuh turunan gak habis-habis. Di laut lagi eksplorasi kan sama, belum produksi. Kalau rusak siapa yang tanggung jawab? Kok enak benar," ucap Sakti dalam konferensi pers di Kantor KKP, Rabu (10/1).
Baca Juga: Eksplorasi Migas di Laut Lepas Tak Sepatutnya Dikenakan Pungutan PNBP
Secara garis besar, Menteri KP menerangkan pungutan PNBP eksplorasi hulu migas dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Cipta Kerja. Pengesahan beleid tersebut, sambungnya, dilakukan setelah semua menteri membubuhkan paraf di dalamnya.
"Lucunya, ada orang yang sudah paraf, termasuk di dalam PP. Begitu dijalankan, malah protes. Ini kan lucu," ujarnya.
Pengeboran yang dilakukan di laut lepas, tegasnya, harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Sekalipun ada potensi gas bumi yang besar, KKP dia katakan tak akan memberi izin pengeboran jika titik potensi itu berada di daerah yang rawan, misalnya di dekat gunung api bawah laut.
"Tidak boleh, nanti kalau terjadi sesuatu tidak bisa diatasi, namanya alam ya. Hati-hati loh dengan alam, kalau dia ngamuk kelar kita," papar Menteri Sakti.
Risiko Tinggi
Sementara itu, Praktisi Minyak dan Gas Bumi Hadi Ismoyo menilai KKP tak sepatutnya memungut PNBP pada tahapan eksplorasi hulu migas di laut lepas.
Senada dengan Dwi Soetjipto, Hadi menerangkan tahap pencarian sumber daya migas yang berisiko tinggi. Pengeboran yang dilakukan pada 10 sumur, sambungnya, kemungkinan hanya satu sumur yang berhasil ditemukan cadangan dengan rerata rasio kesuksesan pengeboran di level 10%.
Sementara jika semua sumur tersebut kosong (dryhole), negara tidak menanggung apapun karena production sharing contract (PSC) Term menjadi tanggung jawab investor.
"Negara tidak menanggung apa-apa. Jika discovery sudah menjadi POD, dalam stage produksi semua biaya akan dikembalikan atau diganti negara. Jadi, negara tidak menanggung risk investasi dalam hal ini," ujar Hadi kepada Validnews, Selasa (2/1).
Kegiatan eksplorasi sendiri, tutur Hadi, memegang peran krusial bagi keberlangsungan industri hulu migas dan turunannya. Tanpa eksplorasi, Hadi mengatakan tidak akan ada produksi minyak sehingga berdampak pada ketahanan energi nasional.
"Kalau dalam istilah pertanian, eksplorasi itu menanam padi, sedangkan produksi itu panen. Gudang-gudang beras akan kosong kalau petani tidak menanam padi," pungkasnya.