28 Agustus 2024
17:14 WIB
Mengulik Optimisme Bahlil Lahadalia Bangun Industri LPG RI
Upaya membangun industri LPG di dalam negeri terkendala dengan permasalahan bahan baku propana dan butana.
Penulis: Yoseph Krishna
Warga membeli gas elpiji 3 kilogram bersubsidi pada pasar murah di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (6/ 12/2022). Antara Foto/Mohamad Hamzah.
JAKARTA - Semenjak dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia beberapa kali mengungkapkan bakal membangun industri LPG di dalam negeri.
Teranyar, dia menyampaikan optimisme tersebut di hadapan Komisi VII DPR. Bahlil menyatakan ingin menekan impor LPG mengingat permintaan akan barang tersebut terus meninggi dari tahun ke tahun.
"Selain LPG bersubsidi ini kita lagi berpikir untuk bagaimana membuat jaringan gas dan membangun industri LPG di Indonesia. Problemnya ialah bahan baku C3 dan C4, kita lagi koordinasikan dengan SKK Migas dan Pertamina untuk nantinya memikirkan langkah ini," ucap Bahlil di Gedung Parlemen, Selasa (27/8).
Sekadar informasi, liquified petroleum gas (LPG) ialah gas bumi yang dicairkan. Produk itu didapatkan dari penyulingan minyak mentah atau kondensasi gas bumi dalam kilang pengolahan gas bumi.
Terdapat beberapa jenis LPG, yakni LPG propana, LPG butana, serta LPG campuran (mix). Propana (C3H8) dan butana (C4H10) sendri diketahui menjadi komponen utama dalam pembuatan LPG.
Baca Juga: Subsidi Listrik Dan LPG 2025 Naik, Ini Sebabnya
Praktisi Minyak dan Gas Bumi (Migas) Hadi Ismoyo menerangkan saat ini tidak semua lapangan migas di Indonesia memiliki kandungan C3 dan C4. Bahkan tidak semua lapangan migas yang memiliki kandungan C3 dan C4 cukup ekonomis untuk dilakukan ekstraksi LPG.
Di lain sisi, Bahlil Lahadalia hanya menjabat selama dua bulan sebagai Menteri ESDM. Ambisi tersebut ia nilai sulit untuk terealisasi.
"Kalau waktu yang diberikan dua bulan tidak realistis. Tetapi jika diberikan waktu lima tahun dua bulan, sangat realistis," sebutnya saat dihubungi Validnews, Rabu (28/8).
Kembali ke Gedung Parlemen, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto yang juga hadir dalam Rapat Kerja Menteri ESDM bersama Komisi VII DPR mengakui ada potensi C3 dan C4 pada beberapa lapangan migas di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, tambahan produksi dari lapangan dengan kandungan C3 dan C4 itu dijelaskannya bisa mencapai 900 ribu-1 juta ton per tahunnya
"Tentu saja ini selalu menuntut keekonomiannya untuk proses pemisahaannya dan untuk itu pertimbangannya harga jual harus bisa mendukung," jabar dia saat dijumpai awak media.
Baca Juga: Subsidi Energi 2024 Tinggi, Kemenkeu: Antisipasi Ketidakpastian Dunia
Terkait hal tersebut, Dwi menegaskan pihaknya bakal berkoordinasi secara intens dengan PT Pertamina untuk bisa membeli dengan harga yang bisa meningkatkan keekonomian produk C3 dan C4.
Bahkan, SKK migas ke depannya juga bakal mendorong optimalisasi lapangan gas bumi eksisting yang memiliki kandungan atau potensi dari C3 dan C4. Pengembangan lapangan gas bumi pun nantinya turut mewajibkan ketentuan untuk integrasi produk LPG.
"Ya, betul. Jadi nanti kita pengembangan untuk POD-POD itu sudah harus kita integrasikan dengan pengembangan LPG untuk rich gas. Kalau yang tidak rich gas kan tidak bisa," tambah Dwi Soetjipto.
Substitusi LPG
Lebih lanjut, Hadi Ismoyo menerangkan sekalipun tidak semua lapangan migas Indonesia punya kandungan C3 dan C4, upaya menekan impor LPG dapat dilakukan lewat substitusi produk tersebut dengan dimethyleEther (DME).
"LPG bisa disubstitusi dengan DME dan C1 dengan jaringan pipa baik conventional pipeline maupun virtual pipeline," kata dia.
Seandainya Bahlil 'ngotot' untuk membangun industri LPG di dalam negeri, hal tersebut sulit untuk mencapai target demand yang sudah menyentuh 8 juta ton per tahunnya.
Karena itu, Hadi lebih menyarankan untuk mensubstitusi LPG dengan membangun DME Plant dari Methanol Plant. Dia mengatakan, Methanol Plant itu bisa dibangun dari C1 natural gas yang cukup banyak tersedia.
"Methanol Plant bisa dibangun dari C1 Natural Gas kita yang masih cukup banyak tersedia walau lokasinya sebagian besar ada di Luar Jawa seperti Tangguh III, Kasuri, Masela, Geng North, dan Andaman," ungkapnya.
Tak hanya pemanfaatan DME dan C1, Hadi pun mengingatkan pembangunan infrastruktur gas bakal berperan krusial dalam upaya mensubstitusi LPG.
"Membangun FSRU di tiga titik Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terhubung dengan Trans Gas Pipa Jabar-Jatim, kemudian pipa transmisi ke kawasan-kawasan industri dan pusat-pusat bisnis," pungkas Hadi Ismoyo.