08 Mei 2024
08:37 WIB
Mengenal Indofarma, BUMN Farmasi yang Tengah Terlilit Masalah Keuangan
PT Indofarma Tbk (INAF), anggota holding farmasi BUMN, telah membukukan kerugian dalam beberapa tahun terakhir.
Editor: Fin Harini
Fasilitas produksi milik PT Indofarma Tbk (INAF). Dok Indofarma
JAKARTA – BUMN Farmasi PT Indofarma Tbk (INAF) akhir-akhir ini tengah disorot lantaran masalah keuangan hingga kesulitan membayar gaji karyawan.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham INAF diberi empat label, yakni M (moratorium of debt payment), E (negative equity), L (late submission of financial report), dan X (Securities in Special Monitoring).
M berarti terdapat permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Kemudian, E adalah Laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif berdasarkan laporan keuangan 2023 Kuartal III.
Lalu, L yakni Perusahaan Tercatat terakhir menyampaikan laporan keuangan 2023 Kuartal III. Ini berarti, INAF belum menyampaikan laporan keuangan tahun buku 2023.
Terakhir, X adalah Perusahaan Tercatat dicatatkan di Papan Pemantauan Khusus.
Perusahaan juga diberitakan terlambat membayar gaji karyawan untuk periode Maret 2024. “Berita bahwa Perseroan belum membayarkan upah terhadap karyawan untuk periode Maret 2024 adalah benar," ujar Direktur Utama Indofarma Yeliandriani dalam keterbukaan informasi BEI, Kamis (18/4).
Dia menyampaikan Perseroan belum memiliki kecukupan dana operasional untuk memenuhi kewajiban pembayaran upah karyawan.
Baca Juga: BEI Sebut Ada Empat Masalah Melilit Indofarma
Sejarah Indofarma
Indofarma yang kini berusia 106 tahun berawal dari sebuah pabrik skala kecil di lingkungan Rumah Sakit pusat Pemerintah Kolonial Belanda. Pabrik yang mulai beroperasi pada 1918 itu hanya memproduksi beberapa jenis salep dan kasa pembalut.
Unit produksi Perusahaan kemudian dipindah ke Manggarai pada 1931, hingga kemudian dikenal sebagai Pabrik Obat Manggarai. Di sisi, Perusahaan mulai memperluas bisnis dengan memproduksi tablet dan injeksi.
Pada masa penjajahan Jepang di tahun 1942, kepemilikan diambil alih. Pabrik Obat Manggarai kemudian berada di bawah manajemen Takeda Pharmaceuticals.
Kepemilikan kemudian berubah di masa kemerdekaan. Pemerintah RI mulai mengambil alih, tepatnya pada 1950. Perusahaan berada di bawah pengelolaan Departemen Kesehatan.
Di tahun 1981, nama Indofarma mulai disandang. Saat itu status perusahaan diubah menjadi Perusahaan Umum Indonesia Farma atau Perum Indofarma dan berubah lagi menjadi PT Indofarma (Persero) pada 1996.
Perusahaan terus berkembang. Pada 1988, Indofarma membangun pabrik di Cibitung, Bekasi, di areal seluas 20 hektare. Menyusul pembangunan pabrik, aktivitas produksi dipindah ke Cibitung. Lantas pada 2000, Perseroan ekspansi ke hilir, yakni distribusi dan perdagangan, dengan mendirikan anak perusahaan PT Indofarma Global Medika (IGM).
Indofarma resmi melantai di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya – keduanya telah bergbung menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini – dengan kode INAF pada 17 April 2001.
Kementerian BUMN kemudian membentuk Holding Farmasi pada 2020, sebagai upaya untuk menciptakan ketahanan Kesehatan dan mengurangi impor obat. Indofarma termasuk dalam Holding Farmasi ini bersama Bio Farma yang menjadi induk holding, dan PT Kimia Farma Tbk sebagai anggota lainnya.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga, Selasa (4/2/2020), dikutip dari Antara, memaparkan ketiga perusahaan tersebut memiliki segmen bisnis yang berbeda, sehingga akan menunjang peningkatan layanan masyarakat. Kimia Farma akan fokus di bisnis produksi dan pemasaran obat-obatan, Indofarma fokus pada produksi obat herbal dan penyediaan alat kesehatan, serta Bio Farma fokus pada produksi vaksin.
Beberapa produk obat dan suplemen over-the-counter Indofarma yang mudah ditemui di toko obat, apotek hingga supermarket adalah ProLipid untuk mengurangi lemak darah, Bio Vision untuk Kesehatan mata, New ProUric untuk meredakan nyeri pada persendian, ProBagin untuk mengobati batu ginjal hingga ProAsi untuk melancarkan air susu ibu.
Indofarma mendapatkan penugasan dari Kementerian Kesehatan RI sebagai salah satu anggota tim kerja pusat beda robotic jarak jauh atau robotic surgery.
Baca Juga: Holding BUMN Farmasi Teken MoU Dengan Empat Perusahaan Global
Kinerja Keuangan
Berdasarkan data BEI, laporan keuangan terakhir yang disampaikan Indofarma adalah laporan keuangan hingga Kuartal III/2023. Perseroan membukukan penjualan bersih Rp445,7 miliar, turun dibandingkan September 2022 sebesar Rp904,89 miliar.
Meski beban pokok penjualan terpangkas hampir setengahnya, dari Rp828,54 miliar pada September 2022 menjadi Rp435,46 miliar pada September 2023, tak urung laba bruto Indofarma anjlok. Pada September 2022, Perseroan masih mengantongi laba bruto Rp76,34 miliar, turun menjadi Rp10,23 miliar pada September 2023.
Dengan beban penjualan dan pajak, Perseroan membukukan rugi tahun berjalan Rp191,70 miliar pada September 2023. Jumlah ini membengkak dari kerugian tahun berjalan pada September 2022 sebesar Rp183,11 miliar.
Kerugian sudah ditanggung Indofarma sejak tahun sebelumnya. Pada 2021, dengan penjualan bersih Rp2,90 triliun, Perseroan menghasilkan rugi sebesar Rp37,57 miliar. Di tahun berikutnya, Perseroan mengumpulkan penjualan bersih Rp1,14 triliun dan rugi tahun berjalan hingga Rp428,45 miliar.