25 Januari 2024
21:00 WIB
JAKARTA - Survei Status Gizi Nasional (SSGI) Tahun 2022 menyebut prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 21,6%. Meski terus menunjukkan tren penurunan, angka stunting di Indonesia masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 20%.
Tak hanya itu, jika dibandingkan dengan negara lain, angka stunting di Indonesia juga masih cukup tinggi. Sebut saja Malaysia yang angka prevalensinya mendekati standar WHO di 20,9%; Thailand 12,3%; Jepang 5,5%; dan bahkan Singapura yang sudah mencapai 2,8%.
Pemerintah pun menjadikan stunting sebagai isu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Akhir tahun 2024, pemerintah memasang target prevalensi stunting nasional mencapai 14%. Atau, jika dirunut per tahun, targetnya mencapai 3,8% per tahunnya.
Meski bukan satu-satunya faktor, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan (PM2K) Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami mengatakan, isu stunting sangat berkaitan pada kelangsungan wilayah yang ditempati individu. Untuk itu, dia berpandangan infrastruktur seperti sumber air, dan sanitasi mampu mendukung kehidupan yang sehat.
"Ketersediaan air bersih dan sanitasi yang layak, yang betul-betul memenuhi syarat higienis akan menyumbang besar upaya pencegahan stunting, karena air itu kan dikonsumsi sama orang kan, sama manusia," jelasnya kepada Validnews, Rabu (24/1).
Soal penyebab stunting atau tengkes ini, Kementerian Kesehatan menjabarkan bahwa asupan gizi dan status kesehatan yang meliputi ketahanan pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan akses pangan bergizi), lingkungan sosial (norma, makanan bayi dan anak, hygiene, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan kesehatan (akses, pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (air, sanitasi, kondisi bangunan), adalah faktor berpengaruh.
Menukil data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi rumah tangga terhadap akses air minum secara nasional pada 2022 rata-rata masih di bawah 50% yakni 44,94%. Ini artinya, masih ada rata-rata 55,06% rumah tangga yang belum mendapatkan akses air minum secara optimal.
Beberapa provinsi bahkan memiliki akses terhadap air minum di bawah 30%. Misalnya Kalimantan Timur 16,52% Kepulauan Riau 19,89% Kepulauan Bangka Belitung 21,21% Kalimantan Utara 22,98% Gorontalo 26% dan Kalimantan Tengah 28,9%.
Dari sisi sanitasi, BPS mencatat persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak pada 2022 mencapai 80,92%. Jumlahnya naik, dari tahun sebelumnya yang sebesar 80,92%. Sekadar perbandingan, akses sanitasi layak pada 2012 baru mencapai 57,35%. Artinya, terdapat tren kenaikan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak di Tanah Air.
Air yang tidak bersih dan sanitasi yang tidak higienis akan menimbulkan banyak penyakit. Amich mengatakan, jika hal itu terjadi pada anak di bawah lima tahun akan lebih berpotensi menimbulkan tengkes. Karenanya, dia berharap masyarakat betul-betul mendapatkan askes dan memperoleh layanan infrastruktur dasar yang mencakup sanitasi lingkungan dan air bersih.
“Itu tentu saja hanya satu hal terkait dengan stunting, tapi hal yang lain itu berkenaan dengan pola kehidupan yang sehat,” ujarnya.
Pamsimas Dan Sanimas
Ada penyakit, tentu ada upaya mencegah, juga memitigasinya. Ada pula berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menekan angka stunting. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membentuk program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis Masyarakat (Pamsimas) dan Sanitasi berbasis Masyarakat (Sanimas).
Pembangunan Pamsimas disebut bertujuan untuk meningkatkan akses aman air minum dan sanitasi layak yang berkelanjutan serta perilaku hidup bersih dan sehat. Program ini juga disebut mampu menurunkan buang air sembarangan dan penyakit yang bersumber dari kekurangan air dan sanitasi.
Sementara itu, Sanimas dilakukan dengan tujuan pengelolaan air limbah domestik, untuk menghindari pencemaran air tanah, sungai, dan sumber mata air akibat pembuangan limbah domestik.
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti mengatakan, Pamsimas dan Sanimas adalah infrastruktur berbasis masyarakat sebagai penyedia air minum dan sanitasi untuk mendukung penanganan stunting.
"Nah kebanyakan stunting ini di daerah-daerah yang tentunya harus kita hapuskan, kita kurangi. Kementerian PUPR ini ada tugas yang langsung berbasis pada masyarakat, saat ini air minum yaitu Pamsimas dan Sanimas untuk penanganan stunting," kata Diana dalam konferensi pers daring Road to 10th World Water Forum di Jakarta, Selasa, (22/1).

Dia menjelaskan, Pamsimas dan Sanimas merupakan infrastruktur berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi masyarakat dengan prinsip penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai dengan pengelolaan yang semuanya dilakukan oleh masyarakat.
Pamsimas, lanjutnya, memiliki peran dalam membantu desa-desa yang sebelumnya sulit mendapatkan air bersih dan pada akhirnya berhasil mendapatkan air bersih lewat program infrastruktur berbasis masyarakat tersebut.
Sedang Sanimas disebut dapat menjaga badan-badan sumber air yang digunakan untuk lebih aman lagi agar masyarakat bisa bersama-sama membangun mandi, cuci, dan kakus (MCK) dengan baik.
"Mudah-mudahan ini merupakan kolaborasi yang bagus antara Pamsimas dengan Sanimas dalam menjaga lingkungan, sumber air dan terdapat kegotongroyongan masyarakat untuk mendapatkan air lebih baik," kata Diana.
Sejak 2008 hingga 2023, Program Pamsimas telah diakses 25,8 juta jiwa di 38.343 desa. Adapun jumlah sambungan rumah (SR) yang terpasang sebanyak 3,95 juta unit. Sementara kapasitas SPAM mencapai 41.349,88 liter per detik.
Total alokasi anggaran untuk Pamsimas mencapai Rp13,52 triliun. Rinciannya rupiah murni mencapai Rp4,96 triliun, pinjaman Rp3,50 triliun, hibah luar negeri Rp755,8 miliar, dan pemda/pemdes/masyarakat Rp4,29 triliun.
Sementara itu, Program Sanimas sejak 2015 telah mencakup 9.403 desa/kelurahan dengan penerima manfaat sebanyak 1,88 juta jiwa. Total alokasi anggaran yang telah dihabiskan mencapai Rp2,58 triliun.
Selain sanitasi dan ketersediaan air bersih, infrastruktur juga berperan terhadap pengentasan tengkes.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menguraikan hubungan keduanya. Infrastruktur yang tidak optimal, seperti sanitasi akan bermuara pada potensi terjadinya stunting. Misalnya saja jika masyarakat masih sering buang air besar sembarangan ke sungai maka air yang mengalir akan tercemar.
"Air itu akan tercemar bakteri E.coli, nah kalau masyarakat menggunakan air sungai misalnya begitu, itu kan angka diarenya tinggi karena kalau orang BAB di sungai, maka kemudian air sungai itu tercemar," kata dia pada Validnews, Rabu (24/1).
Logikanya, jika banyak balita terserang penyakit diare maka otomatis berat badannya akan sulit naik dan kemungkinan terburuk berat badan mereka terus turun. Pada akhirnya, dia menyimpulkan akan ada korelasi biological process dari kebutuhan manusia pada air bersih, untuk itu menurutnya infrastruktur yang mumpuni menjadi penting untuk atasi stunting.
"Kalau orang-orang tidak punya jamban, risiko untuk terjadinya stunting itu lebih tinggi seperti itu. Nah ini kan risk factor ya, Jadi risiko muncul stunting, peluang untuk muncul stunting karena adanya sarana yang tidak baik kira-kira seperti itu," jelas Hasto.
Berdampak Terhadap IPM
Selain itu, tengkes akan sangat mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Adapun IPM diukur melalui tiga parameter, yakni pendidikan, ekonomi (pendapatan per kapita) serta kesehatan (angka harapan kehidupan).
Hasto menilai, saat ini kelompok orang stunting memiliki pendapatan rata-raya 22% lebih rendah dibandingkan yang tidak. Lalu, orang stunting banyak terkena gangguan metabolic disorder dan cardiovascular disease, sehingga banyak mereka yang mengalami, di umur 45 tahun sudah mulai sakit-sakitan.
"Mungkin ada yang tekanan darah tinggi, ada yang karena badannya pendek dulu gak banyak makan, setelah besar banyak makan akhirnya di umur 45 sudah gemuk, naik gula darahnya, mulai terganggu tulangnya mulai keropos. Ya bagaimana bisa produktif? Bagaimana bisa panjang umur?" tukasnya.
Dari sini, Hasto menyimpulkan bahwa kelompok orang stunting dibandingkan tidak stunting pasti memiliki angka harapan hidup yang lebih pendek.
"Anda bisa bayangkan dan Anda bisa simpulkan orang stunting itu akhirnya juga rata-rata umurnya lebih pendek, bisa jadi pendapatannya 22% lebih rendah, mempengaruhi pendapatan per kapita, IPM juga," ujar Hasto.
Pada kesempatan terpisah, Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Dhenny Yuartha mengamini Hasto. Dia mengatakan, dampak akses sanitasi dan air minum layak mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap pencapaian IPM.
BPS melaporkan, IPM 2023 Indonesia naik ke level 74,39 poin. Dibandingkan tahun 2022 yang berada di level 73,77 poin, IPM tahun ini berhasil naik sebesar 0,84%.
Dhenny juga mengulas dampak akses air bersih terhadap kerawanan pangan. Kemudian jika pangan dalam ancaman, artinya akan ada kenaikan harga, sehingga sumber protein akan menjadi lebih mahal.
"Penelitian saya sebelumnya, menunjukkan bahwa rumah tangga dengan akses terhadap air minum layak punya kecenderungan kerawanan pangan yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memilikinya," kata dia kepada Validnews, Rabu (24/1).
Dia mengakui memang ada banyak faktor selain akses terhadap air minum layak dan sanitasi yang berperan dalam mengurangi atau meningkatkan stunting, termasuk profil kemiskinan rumah tangga itu sendiri. Untuk itu, dia menekankan jangan sampai hal ini menjadi lingkaran setan kemiskinan. Ini dianalogikan dengan rumah tangga yang miskin, susah menjangkau akses air minum layak dan sanitasi rendah, lalu susah keluar dari lubang kemiskinan.
"Memang tidak secara langsung (dampaknya .red). Namun sanitasi buruk memperparah. Karena sudah kurang gizi, lalu gizi yang ada bukan untuk tumbuh kembang tapi melawan penyakit," ujarnya.
Dia menjelaskan, meski infrastruktur di kota lebih masif dan ketersediaan berlimpah, bisa jadi air minum layak ini justru susah diakses oleh masyarakat miskin. Dia menegaskan, maka aksesibilitas juga menjadi penting selain infrastruktur tadi.
"Saya melihat, kecenderungan di kota besar, air minum kemasan bahkan menyumbang pengeluaran yang cukup besar. Selanjutnya, penelitian saya juga menunjukkan bahwa kota memiliki kecenderungan kerawanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang di desa," tuturnya.
Contoh Berhasil
Soal akses terhadap air bersih dan sanitasi ini, banyak daerah sudah dibangun pemerintah. Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah menjadi salah satu kisah sukses soal ini. Desa ini merupakan salah satu daerah yang mendapat Program Pamsimas, tepatnya pada tahun 2010 lalu.
Kepada Validnews, Ketua KP-SPAM Banyu Bening Desa Kebon Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten Supriyanto mengatakan, pihaknya mendapatkan bantuan dalam bentuk dana langsung sebesar Rp225 juta.
"Ini ditransfer ke rekening KKM (kelompok kerja masyarakat) karena itu syarat program Pamsimas ada Incas dan Incane. Incas sebesar 4% dan Incane 11% dari total bantuan," katanya, Selasa (23/1).
Supriyanto menceritakan, pada saat kemarau, desa tempat tinggalnya sering kali kekurangan air, khususnya untuk air layak minum, apalagi, terkadang air tersebut banyak mengandung kapur.
Namun, berkat Pamsimas apa yang diadakan masih berfungsi dengan baik dan masih beroperasi.
Untuk perawatan, dia menuturkan setiap pelanggan akan diberi meteran air. Per 1 m3 warga biasa dikenakan pembayaran sebesar Rp1.500. Hingga kini pihaknya merasa dampak dari Pamsimas sangat positif karena masyarakat tetap bisa mendapatkan air walaupun saat musim kemarau.
"Untuk desa kami untuk mencapai akses 100% air minum masih kekurangan sumber air (sumur bornya) dan Insyaallah tahun 2024 ini akan mendapat program lagi untuk menuju akses 100%," kata dia.
Kolaborasi Pendanaan
Biaya pengadaan infrastruktur ini bersumber dari APBN. Total anggaran percepatan penurunan stunting (PPS) pada tahun 2022 yang bersumber dari APBN Kementerian/Lembaga adalah sebesar Rp34,1 triliun, dengan rincian penggunaan untuk intervensi sensitif sebesar Rp29,2 triliun, intervensi spesifik sebesar Rp4,1 triliun dan untuk alokasi pendampingan, Koordinasi dan Dukungan teknis sebesar Rp861,9 miliar.
Sebagai rincian, sampai 28 Desember 2022 penyaluran dana alokasi khusus fisik yang mendukung program PPS dari persentase tertinggi adalah bidang sanitasi sebesar 97,67% dari Pagu Rp2 triliun telah tersalurkan Rp1,95 triliun.
Disusul bidang keluarga berencana sebesar 91,73% dari Pagu Rp598,37 miliar telah tersalurkan Rp548,91 miliar, disusul bidang air minum 90,97% dari Pagu Rp3 triliun telah tersalurkan Rp2,729 triliun.
Sementara itu, bidang kesehatan dengan sub-bidang penguatan penurunan angka kematian ibu dan anak sebesar 87,48% serta sub-bidang penguatan percepatan penurunan stunting sebesar 42,68%.
Meski begitu, Direktur Jenderal Cipta Karya Diana Kusumastuti mengatakan mengatakan berbagai program penyediaan air bisa dilakukan tanpa melulu bergantung pada anggaran pemerintah. Ini bisa dilakukan dengan mengembangkan beberapa pola atau alternatif pembiayaan.
"Misalnya Kerja Sama pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), business-to-business (B2B), lalu CSR atau hibah. Kemudian sebentar lagi akan ada Inpres Air Minum Dan Sanitasi," sebutnya.
Pamsimas juga bisa dilaksanakan dengan menggunakan kolaborasi pendanaan yang datang dari berbagai sumber pendanaan. Antara lain berasal dari kontribusi masyarakat, dana pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. Seluruhnya diatur dalam APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten, APBDes, CSR atau program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL), pinjaman dari Bank Dunia, serta dana hibah DFAT (Department of Foreign Affairs and Trades of Australian Government)
Di samping itu, menurutnya penyediaan akses air minum dan sanitasi juga harus ada komitmen dari kepala daerah serta penguatan aspek teknis dalam bentuk penyediaan teknologi yang andal dan terjangkau dari segi biaya investasi, pengoperasian, pemeliharaan, perawatan.
"Kita membangun, yang mengoperasikan daerah, tapi juga harus dipelihara," sebut Diana.
Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Jika diselisik, apa yang dianggarkan untuk menurunkan prevalensi ini, cukup besar. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional BKKBN Tahun 2022 menyebut salah satu alasannya. Kerugian ekonomi bagi negara yang ditimbulkan oleh stunting juga merupakan masalah serius. Sekitar 2-3% produk domestik bruto (PDB) hilang per tahun akibat stunting.
Dengan jumlah PDB Indonesia tahun 2020 sekitar Rp15.000 triliun, maka potensi kerugian akibat stunting mencapai 450 triliun rupiah per tahun.
Ini juga selaras dengan Pernyataan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo yang menyebutkan, tengkes berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit. Lebih jauh, tengkes dapat menurunkan produktivitas seseorang.
Tidak hanya itu, secara makro dampak yang ditimbulkan dari stunting adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya angka kemiskinan, dan terjadinya ketimpangan sosial.
Bahkan, Hasto menyebutkan kerugian yang dialami negara dari adanya stunting adalah hilangnya 11% produk domestik bruto (PDB) hingga berkurangnya pendapatan orang dewasa hingga 20%. Ada negara yang mengalami hal ini, bisa menjadi contoh.
Tidak hanya itu, jurang kesenjangan sosial juga semakin terbuka lebar akibat stunting dan mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup, serta timbulnya kemiskinan antar-generasi. Namun, pemerintah optimistis sudah menutup 2023 dengan angka prevalensi di bawah standar yang telah ditetapkan WHO.
"Saya berani optimistis untuk di bawah 20% sesuai standar WHO di akhir tahun 2023 meskipun angkanya keluarnya nanti mungkin apa sebentar lagi, atau bulan ini keluar angkanya. Tapi itu kan angka akhir 2023 nanti, kita terus kerja keras lagi untuk menurunkan sampai akhir 2024," tutup Hasto.