02 Juli 2025
15:28 WIB
Menaker: Kualitas Tenaga Kerja Kita Bermasalah
Kualifikasi tenaga kerja yang mayoritas lulusan SMA/SMK ke bawah serta aspek produktivitas kerja dinilai menjadi masalah yang meliputi kualitas tenaga kerja Indonesia.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2024). AntaraFoto/Dhemas Reviyanto
JAKARTA – Menteri Tenaga Kerja Yassierli mengatakan, tantangan menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan di Indonesia terdapat pada aspek kualitas tenaga kerja yang dinilai bermasalah. Hal tersebut, dilatarbelakangi oleh kualifikasi pendidikan masyarakat yang mayoritas berasal dari lulusan SMA/SMK ke bawah.
“Kualitas tenaga kerja kita ini juga problem (masalah), 85% itu adalah lulusan SMA, SMK maksimum, dan ini menjadi tantangan kita,” ungkapnya dalam Seminar Nasional Indef di Jakarta, Rabu (2/7).
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan yang dipaparkan Yassierli, saat ini terdapat sebanyak 7,28 juta pengangguran di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 1,62 juta merupakan lulusan SMK; 2,04 juta lulusan SMA; dan 2,42 juta lulusan SD-SMP.
Bukan hanya faktor pendidikan, faktor produktivitas juga dinilai menjadi aspek tambahan yang membuat kualitas tenaga kerja di Indonesia bermasalah.
Spesifik, Menaker menyorot human capital index tenaga kerja Indonesia yang masih berada di kisaran 0,540. Angka tersebut, nyatanya masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata Asean yang berada di level 0,59. Belum lagi, pertumbuhan Indonesia terkait indeks ini juga dinilai lambat.
Baca Juga: Ketum Apindo Sebut Kualitas Tenaga Kerja Indonesia Harus Dibenahi
Terkait hal tersebut, Yassierli mengatakan bahwa meningkatkan indeks produktivitas tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan membutuhkan waktu yang panjang.
Menurutnya, kendala terhadap aspek ini juga disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap aspek produktivitas bagi tenaga kerja.
“Kita sadari bahwa memang sudah lama kita itu tidak berbicara tentang produktivitas. Padahal beberapa research mengatakan bahwa produktivitas, ya total productivity itu kemudian berbanding lurus dengan GDP,” imbuhnya.
Yassierli mengatakan solusi mengatasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia yang berbasis kepada peningkatan produktivitas mulai hilang sesudah tahun 90-an. Pandangan tersebut ia simpulkan berdasarkan latar belakang selama 20 tahun di bidang korporasi tersebut. Menurutnya, mulai tahun 2000-an kata-kata produktivitas dalam ketenagakerjaan mulai hilang.
“Kata-kata produktivitas itu sepertinya hilang, saya juga nggak tahu kenapa. Dan ini akan kita hidupkan kembali,” tambahnya.
Memelihara Sektor Informal
Pada kesempatan sama, Yassierli juga menyorot permasalahan lapangan kerja yang saat ini didominasi oleh sektor informal. Sebagai catatan, dari keseluruhan angkatan kerja di Indonesia, sekitar 38,67% merupakan sektor angkatan kerja formal, sedangkan 56,57% lainnya terdiri dari sektor angkatan kerja informal.
Dirinya menyebut, angka sektor informal juga diyakini akan terus bertambah disertai tren yang semakin besar. Karena itu, Yassierli menilai angka tersebut merupakan suatu kondisi yang tidak dapat diubah, terutama jika pemerintah diminta untuk mentransformasi pekerjaan di sektor informal menjadi sektor formal.
Baca Juga: Benang Kusut Kurikulum Dan Penyerapan Industri Terhadap Tenaga Kerja
Alih-alih mengubah sektor informal menjadi sektor formal, dia mengatakan langkah tepat yang sejauh ini dapat dilakukan pemerintah adalah mengelola bagaimana industri atau sektor informal dapat berjalan dengan baik.
“Kalau ahli ekonomi mungkin juga kemudian ketika senantiasa suara itu banyak berbicara, ‘ini perlu transisi dari informal ke formal’, Apakah memang harus seperti itu? Jawabannya juga menurut saya belum tentu iya (transisi), sehingga ini kemudian menjadi tantangan,” imbuhnya.