27 Januari 2024
09:57 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan buka suara soal hasil audiensi bersama para pelaku usaha, seperti Hotman Paris, Inul Daratista dan asosiasi GIPI, terkait tarif pajak hiburan minimal 40%.
Luhut meyakinkan pemerintah daerah (pemda) mulai sekarang bisa memberikan insentif pajak hiburan. Itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 101 ayat (3) UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Ia menjelaskan pemberian insentif pajak hiburan juga sudah tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ. SE itu ditujukan kepada semua kepala daerah di Indonesia selaku pemungut pajak hiburan.
"Sekarang Surat Edaran Mendagri itu yang disampaikan, sehingga pemda bisa melakukan langkah-langkah sesuai pasal berapa itu (Pasal 101 ayat (3) UU HKPD)," ujarnya kepada awak media usai audiensi dengan pelaku usaha, Jumat (26/1).
Dalam UU HKPD diatur pemda bisa memberikan insentif pajak kepada pelaku usaha hiburan melalui 2 skema. Pertama, memberikan insentif atas permohonan pelaku usaha. Kedua, memberikan insentif pajak secara jabatan, sehingga dipukul rata berlaku untuk semua pelaku usaha.
Dengan kata lain, pemda diberikan kewenangan untuk menerbitkan regulasi mengenai insentif pajak, termasuk pajak hiburan. Sebagai contoh, jika pemda memberi diskon pajak hiburan, maka tarif pajaknya bisa di bawah 40%.
Baca Juga: Pengusaha Hiburan Minta Luhut Yakinkan Pemda Beri Insentif Pajak
Artinya, pemda memungut pajak hiburan kurang dari 40% sesuai besaran tarif yang diatur dalam regulasi baru milik pemda. Dapat diartikan juga, tarif pajak bisa kembali ke 10% atau 25% untuk beberapa daerah seperti sebelum adanya UU HKPD.
Menko Luhut menyampaikan jika pemda memanfaatkan ketentuan pemberian insentif itu, maka pelaku usaha akan dibebankan tarif pajak hiburan lebih rendah. Sebab, dia pun khawatir apabila banyak lini bisnis hiburan yang gulung tikar dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) masif.
"(Tarif bisa) kembali ke yang lama itu. Kan kasihan nanti bisa tutup semua lapangan kerja untuk 20 juta orang (pekerja di bisnis hiburan), ya kan enggak benar begitu," kata Luhut.
Untuk diketahui, pajak hiburan tertentu mulai 2024 dikenakan tarif minimal 40% dan maksimal 75%. Itu tertuang dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Ada 5 jenis hiburan tertentu, yakni kelab malam, bar, karaoke, diskotek dan mandi uap/spa.
Menko Marves pun mengetahui saat ini ada sejumlah pelaku usaha yang akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, itu merupakan prosedur legal dan lazim untuk ditempuh apabila ada pihak yang tidak menyetujui UU yang telah disahkan.
"Ya mereka maju ke MK itu, biarin lah, kan semua punya hak maju ke MK kalau masalah judicial review. Jangan dibilang melanggar konstitusi atau UU, tidak, itu prosedur yang dibuat untuk men-challenge UU yang ada," tutur Luhut.
Pemerintah Tak Bisa Serta Merta Intervensi
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani membenarkan pihaknya tengah melakukan judicial review ke MK. Menurutnya, tarif pajak hiburan 40% itu tidak masuk akan dan memberatkan pengusaha.
Ia juga tidak ingin ada diskriminasi antara hiburan malam dan hiburan umum lainnya, seperti bioskop dan sirkus. Menurutnya, pebisnis hiburan malam juga berhak dikenakan pungutan lebih rendah, sebab secara demografi penikmat hiburan malam, tidak hanya berasal dari kelompok menengah ke atas atau orang high class saja.
"Kalau kita maunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD ini dibatalkan, dan (tarif pajak hiburan) yang paling tinggi adalah 10% sesuai Pasal 58 ayat (1)-nya," ungkap Hariyadi.
Baca Juga: Pengusaha Sebut Kemenkeu Tidak Sosialisasi Kenaikan Pajak Hiburan
Saat audiensi, ia dan pelaku usaha hiburan lainnya secara khusus meminta Menko Luhut untuk meyakinkan dan mendorong pemda memberikan diskon pajak hiburan. Dengan begitu, ia berharap pemda tidak ragu-ragu memberikan diskon pajak.
Hariyadi menambahkan selama audiensi dengan Menko Luhut, tidak ada pembahasan soal menunda implementasi pajak hiburan 40%. Itu karena penerapan pajaknya merupakan ranah pemda dan ketentuan pungutannya diatur oleh peraturan daerah (perda).
"Kan kembali lagi kepada kewenangan daerah, tentu pemerintah pusat tidak bisa serta merta mengintervensi," ujar Hariyadi.