25 April 2024
08:36 WIB
Luhut Ajak China Tanam Padi, Pengamat Ingatkan Empat Hal Ini
Salah satu yang disoroti pengamat terkait kerja sama penanaman padi dengan China adalah kesesuaian sistem usahatani.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Petani menebar pupuk di areal sawah Desa Brondong, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (18/1/2024). Antara Foto/Dedhez Anggara
JAKARTA - Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan terkait rencana kerja sama Indonesia di bidang pertanian dengan China, khususnya beras di Kalimantan Tengah (Kalteng). Menurut Khudori, ada banyak hal yang perlu ditinjau ulang.
Khudori menyoroti beberapa poin penting seperti mengkaji ulang kesesuaian sistem usahatani yang diterapkan di China dengan Indonesia, menemukan akar permasalahan pertanian nasional yang ada saat ini, memastikan ketersediaan dan kesesuaian lahan, serta melibatkan berbagai pihak di dalam negeri.
Menurut Khudori, penerapan teknologi padi dari China di Indonesia seperti penggunaan benih hibrida belum tentu menjadi solusi baik dan bisa langsung diterapkan. Benih tersebut tentu saja memerlukan adaptasi, baik dengan iklim atau cuaca, sifat tanah, juga hama penyakit.
Baca Juga: Pemerintah: Produksi Beras Awal 2024 Berpotensi Turun 37%
“Proses adaptasi bisa lama atau pendek, dan tak selalu berhasil. Bisa juga gagal. Proses adaptasi juga membutuhkan input dari ahli-ahli lokal agar berhasil. Jika tidak, maka peluang gagal cukup besar,” jelas Khudori melalui pernyataan yang diterima Validnews, Rabu (24/4).
Dia mencontohkan, pada 2007 silam, mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pernah tertarik dengan benih padi hibrida asal China, karena produktivitasnya diklaim bisa mencapai 16 ton per hektare (ha). Namun setelah diimpor dan sebagian disalurkan sebagai bantuan benih ke petani lokal, hasilnya tidak sesuai klaim yang dikatakan. Beberapa padi hibrida yang ditanam terserang penyakit. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada inovasi untuk menanam benih hibrida impor China tersebut.
Berikutnya, Khudori mengungkapkan produktivitas padi Indonesia jauh di atas Vietnam dan Thailand, meski memang masih di bawah China. Produktivitas China yang lebih tinggi karena lebih dari separuh padi yang ditanam di negeri tirai bambu tersebut berasal dari benih hibrida. Sementara benih tersebut jika ditanam di Indonesia masih kecil kemungkinan berhasil.
Soal Lahan dan Biaya Mahal
Selain itu permasalahan pertanian nasional adalah biaya usahatani yang mahal, terutama untuk sewa lahan dan biaya tenaga kerja.
“Dua pos itu sekitar 75%-80% dari total produksi biaya usahatani. Ini yang membuat harga padi Indonesia mahal dan tak kompetitif dengan Thailand atau Vietnam,” tutur Khudori.
Selanjutnya, Khudori menyatakan, hingga kini belum diketahui pasti lahan mana yang akan digunakan untuk kerja sama pertanian Indonesia China tersebut. Namun jika wilayah Kalteng yang dimaksud adalah lokasi bekas Pembukaan Lahan Gambut Sejuta ha era Orde Baru tahun 1995/1996, lahan yang bisa digunakan hanya tidak lebih dari 20%.
Baca Juga: Agar Bendungan Tak Kekurangan Sawah
Alasannya, sudah ada hasil kajian dari sejumlah ahli bahwa dari sejuta ha tersebut, maksimal lahan yang bisa dikembangkan untuk pertanian tanpa memerlukan teknologi reklamasi dan ameliorasi rumit, tidak lebih dari 20%.
Lebih lanjut, Khudori menegaskan rencana kerja sama tersebut harus mendorong seluruh pihak untuk bisa berbenah. Pemerintah perlu membangun ekosistem benih yang memungkinkan tumbuh kembang yang baik, salah satunya penetapan harga yang sesuai bagi petani.
“Inisiatif-inisiatif lokal, baik para ahli, petani, maupun yang lain untuk terus memperbaiki pertanian padi sebaiknya terus didorong,” pungkasnya.