c

Selamat

Senin, 10 November 2025

EKONOMI

20 Juli 2023

20:54 WIB

Agar Bendungan Tak Kekurangan Sawah

Pembangunan bendungan tidak serta merta meningkatkan produksi padi. Perlu berbagai upaya lain, termasuk pemeliharaan area tangkapan air.

Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Agar Bendungan Tak Kekurangan Sawah
Agar Bendungan Tak Kekurangan Sawah
Ilustrasi. Bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lodoyo (Serut) yang mulai mengering saat pelaksanaan penggelontoran air (Flushing) di Blitar, Jawa Timur, Senin (6/3/2023). Antara Foto/Irfan

JAKARTA - Pengelolaan air berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Beberapa kajian menemukan bahwa produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress). 

Gejala umum akibat kekurangan air, antara lain daun padi menggulung, daun terbakar (leaf scorching), anakan padi berkurang, tanaman kerdil, hingga pembungaan tertunda, dan biji hampa. 

Karenanya, tanaman padi membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. 

Variasi kebutuhan air ini juga tergantung pada varietas padi dan sistem pengelolaan lahan sawah. Dan, pengelolaan air yang utama pada lahan sawah adalah irigasi. Secara umum irigasi didefinisikan sebagai pemberian air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.  

Irigasi pada lahan sawah juga dimaksudkan untuk menjenuhkan tanah. Kondisi tanah dibuat agar menjadi struktur lumpur (puddling) yang baik bagi pertumbuhan tanaman padi, memenuhi kebutuhan air tanaman, kebutuhan penggenangan, dan mengganti kehilangan air di saluran.

Ya, begitu pelik persoalan irigasi terhadap ketahanan pangan. Menilik pentingnya hal ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan pembangunan 61 bendungan. Kesemuanya diproyeksikan selesai pada 2024. Upaya ini bertujuan meningkatkan kapasitas irigasi teknis dari 9% menjadi 20%.

Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan, sekaligus Juru Bicara Kementerian PUPR, Endra S. Atmawidjaja menguraikan, pembangunan bendungan di Indonesia merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Tak hanya melayani satu keperluan, pembangunan bendungan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang bertujuan untuk ketahanan pangan dan ketahanan air. 

"Jadi fungsi bendungan itu beragam, kita sebut dengan multipurpose dams. Utamanya memang untuk memenuhi kebutuhan pasokan air irigasi, lalu untuk memenuhi pasokan air baku perumahan kemudian untuk air baku industri. Kemudian bendungan juga memiliki fungsi pengendalian banjir. Misalnya yang kita lihat di Ciawi, Sukamahi, itu memang bendungan yang digunakan untuk mengendalikan banjir," tuturnya kepada Validnews, Kamis (13/7).

Dia merinci, sejak tahun 2014 hingga tahun 2023 pemerintah menargetkan pembangunan 61 bendungan di Indonesia. Sebanyak 11 bendungan di antaranya sudah dimulai sebelum era Jokowi. Dari 11 bendungan itu, sebanyak 4 bendungan merupakan program lanjutan, sementara pembangunan di 7 bendungan sempat mangkrak atau terhenti.

"Tetapi sesudahnya, era Jokowi itu ada 50 bendungan jadi 11 tambah 50 ada 61. Nah, yang sudah selesai sampai hari ini itu 36, termasuk yang 11 yang lanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Kemudian yang 25 itu yang dikerjakan dan diselesaikan di era Presiden (Jokowi). Jadi total 36. Sisanya kan 25 lagi, itu 10 akan diselesaikan dan ditargetkan tahun 2023. Kemudian juga akan ditargetkan selesai 10 lagi tahun 2024, sisanya 5 itu meluncur tahun 2025 itu dikejar penyelesaian yang kita perkirakan melampaui 2024," jelasnya.

Dengan pembangunan bendungan di era Jokowi, total Indonesia memiliki sekitar 250 bendungan. Termasuk yang dibangun pada masa kolonial Belanda.  

Endra mengungkapkan, sebelum 2014, ada 7 juta hektare sawah di Indonesia. Sayangnya, luasan yang dapat dilayani oleh air dari bendungan hanya 11%. Artinya, sebagian besar sawah di Indonesia mengandalkan hujan untuk memenuhi kebutuhan air.

"Jadi 2014 itu, sawah-sawah yang dialiri air dari bendungan itu hanya 11% dari 7,3 juta hektare sawah kita. Sisanya kan berarti dia harus cari air sendiri, pompa dari sungai, menadah hujan. Ini mempengaruhi tingkat produktivitas dari lahan sawah kita," sebutnya.

Dengan adanya bendungan, Indeks Pertanaman (IP) dipastikan bisa berada di atas 2,5 . Artinya dalam setahun bisa menanam padi sebanyak dua kali dan satu kali palawija. 

Sementara, sawah yang tidak dilayani oleh bendungan itu hanya memiliki IP 1,5, atau satu kali tanam sawah dan satu kali palawija. Selebihnya sawah tidak bisa melakukan produksi lainnya.

Kecukupan air dari bendungan tak hanya menambah IP, namun juga mendongkrak produktivitas sawah per hektare, yang berujung pada kesejahteraan petani. Jika menggunakan air hujan atau sungai, sawah hanya mampu menghasilkan panen 5 ton, tapi jika menggunakan air bendungan maka petani bisa mendapat panen sekitar 12 ton.

"Jadi bendungan ini selain menampung air ia juga memberi kepastian di musim hujan dan kemarau bisa suplai airnya," imbuhnya.

Pergeseran Fungsi
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mencermati pembangunan bendungan dan embung ini. Dia mengamini, ini  penting untuk menjamin ketersediaan pengairan produksi pertanian. Namun, dia menilai ada ketidakcocokan antara kebutuhan dan pembangunannya.

Melansir dari kajian KRKP, Indonesia memiliki wilayah yang luas, dengan ketersediaan air yang bervariasi di masing-masing wilayah. Jawa yang merupakan sentra produksi padi memiliki ketersediaan air yang rawan. Untuk itu ketersediaan infrastruktur fisik bendungan dan embung diperlukan untuk menjamin terpenuhinya pengairan untuk produksi sektor pertanian di Jawa.

Akan tetapi, kajian menunjukkan Sulawesi Selatan, Aceh dan Sumatra Utara merupakan wilayah dengan sebaran area lahan dengan pembangunan irigasi yang terluas. Sedangkan, Sumatra Selatan, Papua dan Jawa Barat yang paling sedikit di antara wilayah lainnya.

Kajian KRKP juga menyoroti capaian target air baku, pembangunan dan rehabilitasi, jaringan irigasi, sarana prasarana, pengendali daya rusak dan pengendali sedimen dan lahar yang pada tahun 2015-2018 belum memenuhi target. Misalnya dari target air baku 67,52 m³/detik, capaian pada tahun 2015-2018 hanya sebesar 24,92 m³/detik.

Untuk target pembangunan jaringan irigasi 1.000.000 hektare, realisasinya sebesar 865,389 hektare. Sedangkan target rehabilitasi ditetapkan 3.000.000 dengan realisasinya baru 2.640,840. 

Capaian dari sarana prasarana pengendali daya rusak pada tahun 2015 sampai dengan 2018 sebesar 1.041 Km, dari target sebesar 3.620 Km, sedangkan capaian pengendali sedimen dan lahar pada periode tahun yang sama sebesar 253 dari target 36 buah.

Kajian tersebut menyatakan bahwa pembangunan maupun pemeliharaan bendungan dan embung merupakan wewenang pemerintah pusat dan daerah, baik melalui pendanaan APBD maupun melalui DAK. Data BPS menunjukkan bahwa irigasi rusak yang berada pada kewenangan pemerintah daerah mencapai 83,7%.

"Keberlanjutan lahan sawah beririgasi membutuhkan komitmen dan dukungan pemerintah daerah. Jadi sekali lagi pembuatan bendungan harus dilakukan bersamaan dengan tindakan lainnya. Jangan lupa di Indonesia masih banyak daerah sawah tadah hujan," tegas Abdullah kepada Validnews, Rabu (19/7).

Dia menambahkan, infrastruktur termasuk pengairan, sekalipun airnya ada, tidak bisa menjadi satu-satunya faktor pengungkit peningkatan produksi. Ada faktor lainnya juga, seperti RnD, inovasi teknologi, pendampingan, hingga penataan pasar yang adil.

Pembangunan bendungan dan jalur irigasi yang tak difokuskan di Jawa, yang notabene sebagai lumbung padi yang menyumbang lebih dari 50% dari produksi padi Nusantara, lantaran alih fungsi yang tinggi di Jawa.

Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa juga punya penilaian lain. Dia melihat fungsi tanah pertanian di Pulau Jawa sudah banyak yang sudah beralih untuk perkotaan bahkan industri. Akhirnya hal ini juga berdampak pada alih fungsi bendungan, dari dahulu digunakan untuk mengairi sawah, kini untuk air baku.

"Alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa itu memang ada. Pulau ini menduduki peran penting (produksi pangan) dengan lebih dari 3 juta hektare sawah. Makanya banyak yang irigasi teknis kan di Jawa ini. … fungsi bendungan kan macam-macam, bisa sebagai sumber air untuk PDAM, bisa pembangkit tenaga listrik, terus ya tadi fungsi utama pengairan," katanya.

Pengamatan Dwi Andreas tercermin juga dari data BPS. Indonesia mengalami penyusutan lahan yang terjadi secara signifikan setiap tahunnya. Hampir 120 ribu hektare berubah fungsi setiap tahunnya. 

Hal ini rupanya juga diamini oleh Endra. Dia menjelaskan saat ini lahan persawahan yang dilayani oleh bendungan tidak sebanyak dahulu.

"Memang yang kita bangun ini (bendungan) yang kita layani sawahnya tidak sebesar dulu, jadi bayangkan kalau dulu Bendungan Jatiluhur, itu sawah yang dilayani hampir 90 ribu hektare. Kalau sekarang misalnya Bendungan Cipanas yang di Sumedang, itu paling 10 ribu hektare. Karena sawahnya susah kita carinya. Kalau kita bangun besar-besar terus mau dipakai apa airnya? Orang sawahnya nggak ada kan?" terangnya.

Menurutnya, saat ini bendungan banyak beralih fungsi sebagai air baku karena kota-kota di Pulau Jawa semakin banyak. Dia menerangkan jika dahulu sawah di Pulau Jawa mempunyai puluhan ribu hektare dengan kota-kota yang kecil, namun saat ini sawah menyusut dengan perkotaan yang kian mengembang dan dipenuhi jutaan penduduk. 

"Jadi fungsi bendungan itu beralih untuk kebutuhan perkotaan mulai dari kecamatan, kabupaten hingga kota. Kalau kita mengandalkan air dari sungai di sana kan banyak pencemaran, makanya kalau di bendungan relatif lebih bersih karena biasanya dia kan ada di hulu ya, di atas. Jadi pergeseran, mungkin dulu irigasi dominan kalau sekarang untuk selain untuk irigasi untuk perkotaan juga," kata dia.

Bendungan Kurang Terpelihara
Said Abdullah menambahkan, banyaknya pembangunan bendungan belum tentu ikut meningkatkan produktivitas pertanian. Khususnya di Pulau Jawa, dia melihat saat ini banyak bendungan yang justru fungsinya tidak banyak mendukung pertanian lantaran air yang berkurang atau bahkan tidak ada. 

Saat ini, lanjutnya, terdapat penurunan kualitas lingkungan pertanian termasuk daerah resapan air. Akibatnya beberapa wilayah yang sekalipun sudah memiliki jaringan irigasi tetap kekurangan air, karena memang sumbernya berkurang. 

“Hal lain di beberapa wilayah irigasi juga masih banyak yang rusak. Pada bagian lain banyak juga wilayah pertanian yang belum ada jaringan irigasinya," nilainya.

Andreas juga menyoroti soal pemeliharaan bendungan di Indonesia.  Dia menemukan banyak bendungan yang sebagian besar rusak. Bahkan, kerusakan juga menjalar ke jaringan irigasinya.

"Lalu bendungan bendungan besar juga mengalami sedimentasi. lalu apakah dampak pembangunan selama hampir 10 tahun ini sudah berefek signifikan? Kita lihat data saja," terangnya.

Jika melihat data selama pemerintahan Jokowi, menurutnya produksi padi justru menurun 0,23% per tahun. Bahkan pada saat puncak La Nina, saat Indonesia alami iklim kemarau basah yang seharusnya berkontribusi pada peningkatan produksi padi. Namun, menurut pengamatan Dwi, produktivitas padi juga tidak membaik. 

"2020-2022 kan La Nina. Jadi itu di 2020 hanya naik 0,09%, 2021 bahkan turun 0,43%, lalu 2022 naik 0,61%. Padahal kalau sepanjang sejarah 20 tahun terakhir selama ada La Nina terjadi lonjakan produksi yang sangat signifikan, paling rendah 4,7%   saat La Nina 2007. Tapi, selama 3 tahun ini tidak ada kenaikan produksi. Bahkan kalau dilihat dari 2015 sejak pemerintahan saat ini, terjadi penurunan 0,23% per tahunnya. Kalau dari situ ya saya hanya bicara data, bisa ditafsirkan macam-macam," jelas dia.

Endra sendiri mengatakan pihaknya juga kerap kali mendapatkan keluhan terkait rusaknya bendungan. Dia menjelaskan kerusakan ini biasanya meliputi catchment, yaitu area tampungan air atau aliran sungai yang selalu menjadi langganan rusak sehingga mempengaruhi produktivitas bendungan dan juga bisa menjadi penyebab banjir.

"Kita juga menghadapi masalah degradasi kualitas lingkungan itu yang menyebabkan catchment-nya berkurang. Airnya juga mengandung banyak sedimen, itu yang menyebabkan bendungan kita jadi cepat dangkal. Karena yang masuk itu bukan hanya air tapi juga pasir sedimen," akunya.

Akhirnya, lanjut dia, bendungan ini cepat dangkal dan mengurangi durasi bendungan dalam kondisi prima. Seharusnya satu bendungan bisa bertahan dalam seratus tahun, namun baru 50 hingga 30 tahun daya tampungnya sudah berkurang. 

Hal lain yang kerap ditemui Kementerian PUPR adalah adanya konflik antara penggunaan air jaringan irigasi, khususnya pada masa kemarau saat debit air menyusut. Kebutuhan untuk listrik dan air baku terutama di musim kemarau, menjadi rebutan.  Airnya sedikit tapi yang membutuhkan banyak.

Untuk menanggulangi masalah di atas, Kementerian PUPR menetapkan batasan kewenangan. Jaringan irigasi di atas 3.000 hektare menjadi kewenangan pemerintah pusat, lalu di atas 1.000 ha kewenangan pemerintah provinsi dan jika di bawah itu menjadi kewenangan pemerintah kabupaten. 

"Kan ada yang sawah-sawahnya sedikit, hanya 750-500 hektare. Itu tanggung jawab pemerintah kabupaten. Kalau kita itu di atas 3.000 hektare, yang besar besar, itu baru dikelola Kementerian PUPR. Jadi kita ada pembagian kewenangan seperti itu seperti di UU SDA. Nah kita lakukan apa? Yaitu melalui operasional maintenance," kata dia.

Operasional maintenance tersebut termasuk pemeriksaan di saluran, di pintu air, pengerukan, penggantian pintu, normalisasi saluran. 

Lalu, misal terjadi tanggul jebol atau rusak akan segera diganti. Tercatat, dari tahun 2014 hingga kini, Kementerian PUPR telah merehabilitasi lebih dari 3 juta hektare saluran irigasi. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar