02 Desember 2024
09:27 WIB
LPS Sebut Inflasi Bersifat Musiman
Pada bulan tertentu, misalnya pada Januari dan Desember atau pada saat Ramadan, inflasi biasanya tinggi.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Pedagang melayani pembeli sayuran di Pasar Kahayan, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Jumat (9/8/2024). Antara Foto/Auliya Rahman
BANDUNG - Direktur Group Riset Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Seto Wardono mengatakan, inflasi bersifat musiman (seasonal), sama halnya seperti pertumbuhan ekonomi.
Dia mencontohkan pada bulan tertentu, seperti Januari dan Desember atau pada saat Ramadan, inflasi biasanya tinggi.
“Kita bisa memahami perilaku siklus ini karena pada bulan lain, misalnya saat terjadi panen raya padi, dapat terjadi deflasi,” jelas Seto dalam workshop media nasional di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (30/11).
Mengutip rilis data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat inflasi sebesar 0,16% (month to month/MoM) pada bulan Oktober 2024, setelah sebelumnya lima bulan berturut-turut deflasi.
Namun demikian, inflasi Indonesia tercatat turun menjadi 1,7% secara tahunan (year on year/YoY) pada Oktober 2024.
Sebagai informasi, BPS akan mengumumkan inflasi pada November 2024 pada hari ini, Senin (2/12).
Lebih lanjut, Seto menjelaskan pengertian dari inflasi itu sendiri. Menurutnya, inflasi mengacu kepada kenaikan harga barang dan jasa di suatu wilayah pada periode tertentu. Akibatnya, daya beli masyarakat mengalami penurunan.
Baca Juga: Usai 5 Bulan Deflasi, BPS: RI Alami Inflasi 0,08% Oktober 2024
Adapun determinan inflasi, antara lain jumlah uang beredar yang terlalu banyak (too much money chasing too few goods); Kesenjangan output (output gap), yaitu selisih output riil dari output potensial.
Kemudian, harga administer atau harga yang diatur pemerintah; restriksi impor; gangguan distribusi barang; nilai tukar; upah/gaji; pajak; serta harga komoditas global.
Sedangkan untuk indikator harga tak hanya meliputi Indeks Harga Konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), tapi juga ada Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau wholesale price index (WPI), Indeks harga produsen (producer price index), dan Deflator PDB (GDP deflator).
IHK atau CPI merupakan indeks harga yang dihadapi konsumen. IHK ini menjadi indikator headline untuk tingkat harga.
“Kemudian, IHPB atau WPI adalah indeks harga transaksi yang terjadi di antara pedagang besar pertama dengan pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar (bukan eceran) di pasar pertama (pasar sesudah pasar produsen),” imbuhnya.
Lalu, Indeks harga produsen atau producer price index adalah indeks harga yang diterima produsen.
Selanjutnya, Deflator PDB atau GDP deflator adalah Indeks harga yang paling luas, mencakup seluruh barang dan jasa yang termasuk dalam perhitungan PDB. Deflator PDB digunakan untuk menghasilkan angka PDB riil (PDB atas dasar harga konstan).
"Inflasi menjadi indikator utama yang dicermati investor saham dan investor surat utang," ungkap Seto.
Penguatan Literasi Ekonomi
LPS mendukung penguatan literasi ekonomi praktisi media melalui workshop media nasional di Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (30/11).
Dalam acara tersebut, LPS menyampaikan pemahaman mengenai teori-teori ekonomi yang sering menjadi pembahasan media di bidang ekonomi.
Mulai dari mengenai konsep pendapatan nasional, inflasi, neraca pembayaran, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pemanfaatan data statistik keuangan, data perbankan, dan lainnya.
Baca Juga: BI: Inflasi Oktober 2024 Tetap Terjaga Sesuai Target
Seto berharap dengan pemahaman konsep ekonomi makro ini para praktisi media dapat memberikan informasi dan pencerahan kepada masyarakat tentang kebijakan-kebijakan ekonomi dari pemerintah secara komprehensif dan tepat.
Selain itu, juga dapat menyampaikan pesan-pesan yang memang menjadi fokus lembaga atau regulator di negara Indonesia, termasuk dari LPS.
"Apresiasi kami di LPS bisa berdiskusi juga dengan para wartawan yang sangat berpengalaman di bidang ekonomi, sehingga LPS juga mendapat masukan bagaimana harus mensosialisasikan sebuah kebijakan. Semoga acara ini bisa bermanfaat untuk kita semua, dan kita bisa sama-sama mendapatkan pemahaman baru di bidang ekonomi makro,” pungkas Seto.