17 September 2025
13:30 WIB
LPEM Sarankan BI-Rate Ditahan Bulan Ini, Begini Alasannya
LPEM UI menyarankan BI menahan BI-Rate agar bank sentral bisa mengevaluasi efektivitas transmisi kebijakan moneter baru-baru ini sambil tetap terus memantau volatilitas rupiah.
Penulis: Fin Harini
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Antara Foto/Hafidz Mubarak A.
JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI memandang, Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5% pada bulan ini setelah menurunkannya secara berturut-turut pada Juli dan Agustus lalu.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan di Jakarta, Rabu (17/9), hal ini dilakukan agar bank sentral bisa mengevaluasi efektivitas transmisi kebijakan moneter baru-baru ini sambil tetap terus memantau volatilitas rupiah.
Secara umum, LPEM memperkirakan bahwa inflasi ke depan tetap rendah. Sebelumnya, inflasi pada Agustus 2025 menurun menjadi 2,31% (yoy) atau tetap berada dalam kisaran target BI pada rentang 1,5-3,5%.
Baca Juga: BI Rate Diyakini Tetap Di Sekitaran 5%
Namun, menurut pandangan LPEM, risiko terkait koordinasi kebijakan semakin meningkat. Meski prospek baru terkait burden sharing antara BI dan pemerintah bisa membantu meredakan tekanan fiskal, hal ini juga berpotensi menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas kerangka target inflasi BI.
“Oleh karena itu, BI perlu menyeimbangkan sikap akomodatif dengan komunikasi yang jelas, agar ekspektasi inflasi tetap terkendali dan tidak menimbulkan kesan bahwa kebijakan moneter subordinat terhadap kepentingan fiskal,” ujar Riefky, dikutip dari Antara.
Arus Modal Keluar
Indonesia sempat mengalami arus modal masuk dan penguatan rupiah hingga awal September. Namun sentimen pasar berubah setelah reshuffle kabinet yang memicu arus modal keluar yang besar dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Pada 8 Agustus hingga 8 September 2025, Indonesia mencatat arus modal masuk bersih sebesar 0,46 miliar dolar AS. Namun, sentimen berubah setelah pengumuman reshuffle kabinet oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 8 September 2025, termasuk penggantian posisi Menteri Keuangan.
Pada hari pengumuman tersebut, tercatat arus modal keluar bersih sebesar US$0,25 miliar. Arus modal keluar semakin intensif pada hari-hari berikutnya, mencapai US$0,96 miliar pada 8-11 September 2025.
“Investor bereaksi hati-hati terhadap reshuffle kabinet tersebut, menafsirkan perubahan ini sebagai sumber ketidakpastian bagi arah kebijakan fiskal di masa depan. Muncul kekhawatiran bahwa pergantian kepemimpinan dapat mengubah keseimbangan antara disiplin fiskal dan prioritas belanja,” kata Riefky.
Ia menambahkan, kekhawatiran pasar juga meningkat karena keraguan terkait pembagian beban bunga (burden sharing) antara BI dan pemerintah serta alokasi dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di sektor perbankan.
“Perkembangan ini berisiko mengaburkan prospek kebijakan, karena investor mungkin memandangnya sebagai sinyal berkurangnya independensi otoritas moneter dan batasan fiskal-moneter yang semakin kabur,” kata dia.
Baca Juga: Ekonom Proyeksi BI-Rate September 5%, Antisipasi Inflasi Efek Dana Rp200 T
Sementara itu, arus modal masuk bersih pada 8 Agustus hingga 8 September 2025 turut mendukung penguatan rupiah dari Rp16.825 per dolar AS menjadi Rp16.300 per dolar AS, atau meningkat sebesar 0,09 % (mtm).
Namun, pada 8 September 2025 atau bertepatan dengan hari pengumuman reshuffle kabinet, rupiah terdepresiasi sebesar 0,70% dibandingkan hari sebelumnya. Secara year to date (ytd), rupiah melemah 1,795%, hanya lebih baik dibanding Peso Argentina, Lira Turki, dan Rupee India.
Ke depan, pasar memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga kebijakannya pada Rapat FOMC September, yang berpotensi mendukung arus modal masuk lebih lanjut ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Dengan kondisi ini, setelah BI-Rate turun secara berturut-turut pada Juli dan Agustus, BI sebaiknya mempertahankan suku bunga pada level 5,00 % pada RDG September 2025 untuk mengevaluasi efektivitas transmisi kebijakan terbaru sekaligus terus memantau volatilitas rupiah,” tutup Riefky.