21 Mei 2024
19:17 WIB
Lifting Minyak Tahun Depan Diperkirakan Jeblok, Ini Sebabnya
Menurunnya produksi lapangan tua tak diiringi masifnya kegiatan eksplorasi, sehingga produksi minyak terus menurun setiap tahunnya.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi pengeboran minyak bumi. Shutterstock/dok
JAKARTA - Praktisi Minyak dan Gas Bumi (Migas) Hadi Ismoyo mengakui produksi minyak Indonesia tahun depan akan kembali menurun seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rapat Paripurna DPR di Komplek Senayan.
Menurut Hadi, prediksi menurunnya lifting minyak pada 2025 tak lepas dari melemahnya kinerja blok-blok migas yang selama ini menjadi andalan, misalnya Blok Rokan serta Blok Cepu.
"Produksi nasional dari Rokan tidak bisa naik signifikan dan produksi di Blok Cepu juga sudah mulai natural declining," imbuh Hadi kepada Validnews, Selasa (21/5).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut panasnya tensi geopolitik yang masih berlanjut saat ini bakal berdampak kepada Indonesia, termasuk dari sisi produksi minyak mentah.
Tak tanggung-tanggung, Bendahara Negara memproyeksi lifting minyak mentah tahun 2025 mendatang hanya di kisaran 580 ribu-601 ribu barel per hari, serta lifting gas di angka 1.004-1.007 barel setara minyak per hari.
"Dengan mencermati tensi geopolitik yang saat ini masih berlanjut maka harga minyak mentah Indonesia diperkirakan sebesar US$75-US$85 per barel, lifting minyak bumi 580 ribu-601 ribu barel per hari, lifting gas 1.004-1.047 barel setara minyak per hari," imbuh Sri Mulyani di Komplek Senayan, Senin (20/5).
Baca Juga: Sri Mulyani Perkirakan Lifting Minyak Tahun Depan Kembali Anjlok
Terkait hal itu, Hadi menyebut Menteri Keuangan telah membuat forecasting berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Ditjen Migas Kementerian ESDM sebagai mitra kerja.
"Perlu diingat bahwa lapangan-lapangan produksi kita 70% adalah mature field yang sudah high water cut, bahkan ada yg water cut sampai 90%," jelas Hadi.
Meski begitu, dirinya menjelaskan tensi geopolitik global tidak begitu berpengaruh terhadap produksi minyak nasional. Panasnya tensi geopolitik, sambung Hadi, lebih berpengaruh kepada harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP).
"Tensi politik kembali naik karena gugurnya Ibrahim Raisi, bisa menimbulkan kecemasan baru dalam 50 hari ke depan sampai terpilih pemimpin baru Iran. Jika ternyata pemimpin baru lebih keras dari Raisi, bisa diperkirakan harga minyak kembali naik," katanya.
Minim Eksplorasi
Tak hanya lifting yang anjlok pada 2025, Hadi meyakini target produksi minyak tahun ini sebesar 635 ribu barel per hari (BOPD) juga sulit untuk dicapai mengingat adanya stagnansi dari kegiatan eksplorasi dan enhanced oil recovery (EOR).
Pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas dan SKK Migas beserta jajaran kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) terlambat melakukan eksplorasi dan EOR dalam rangka mengantisipasi besarnya penurunan produksi atau declining.
"Kegiatan saat ini berupa R to P dan wellwork hanya bisa sedikit menahan laju declining pada mature field," ujar Hadi.
Baca Juga: Lifting Migas 2023 Merosot Dari Target, Ini Sebabnya
Bahkan, dia menyebut target produksi sejuta barel minyak per hari juga sulit untuk dicapai jika eksplorasi tidak digencarkan. Bukan hanya soal memundurkan timeline target dari 2030 menjadi 2032, Hadi menilai harus ada konsep berbeda sebagai upaya mencapai target.
"Kenapa tahunnya harus digeser kalau strateginya sama. Kuncinya ada lima: eksplorasi, eksplorasi, eksplorasi, EOR, dan existing maintain low decline rate management. Maksudnya jelas, betapa pentingnya kegiatan eksplorasi," tuturnya.
Sekadar informasi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebut pihaknya telah mengkaji lebih lanjut mengenai target ambisius produksi minyak 1 juta BOPD.
Dirinya tak menampik bahwa sederet tantangan menghadang industri hulu migas nasional, salah satunya ialah pandemi covid-19 yang mengakibatkan pembatasan mobilitas selama lebih dari dua tahun.
"Tapi kita masih commit bahwa oke karena ini (pandemi) menjadi permasalahan kemarin, ini kita geser. Jadi kemudian 1 juta BOPD itu di 2032," ungkap Dwi di sela gelaran Indonesia Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex) 2024, Selasa (14/5).
Hengkangnya Pemain Besar
Di sisi lain, banyak juga kontraktor besar kelas dunia yang hengkang dari Indonesia, seperti Copi, Chevron, hingga AmeradaHess, sehingga berakibat pada rendahnya produksi minyak nasional.
Hadi menerangkan masih banyak KKKS yang meninggalkan blok migas ketika belum melakukan eksplorasi secara masif. Padahal, ekgiatan eksplorasi ia sebut sebagai tulang punggung Long Range Plan (LRP) ke depannya.
"Penyebabnya adalah hal klasik, fiscal term sudah membaik, tapi urusan legal masih banyak kendala dari sisi lex spesialis yang menimbulkan banyak problem di lapangan, apalagi kalau WKP itu menggunakan gross split," jabarnya.
Hal lainnya, ialah mengenai lateral birokrasi, dimana masih sering terdapat miskoordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Masih tinggi ego sektoralnya sehingga tagline 1 juta barel nampak tidak mendapat dukungan masif dari departemen lain," imbuh Hadi Ismoyo.
Dirinya mengingatkan ketahanan energi nasional tidak boleh bergantung pada kontraktor dari luar negeri. Artinya, pemerintah harus menginstruksikan PT Pertamina (Persero) untuk memasifkan kegiatan eksplorasi di dalam negeri daripada melakukan merger dan akuisisi aset di luar negeri.
"Seyogianya Pertamina masif dan agresif eksplorasi di dalam negeri daripada M&A di luar negeri yang rawan penumpang gelap," pungkasnya.