28 Oktober 2025
15:43 WIB
Lemah di Riset, Wamen Investasi Sebut PMA Penting Bagi RI
Wamen Todotua menegaskan investasi langsung dari pihak asing penting untuk menjaring dukungan keuangan dan teknologi. RI saat ini masih lemah soal riset-pengembangan untuk mendorong hilirisasi.
Ilustrasi - Riset di bidang kesehatan. Antara/HO-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
JAKARTA - Wakil Menteri Investasi dan Hiliriasi Todotua Pasaribu menekankan, Indonesia masih lemah dalam hal riset dan pengembangan (R&D) terkait kebutuhan untuk mendorong hilirisasi. Sebab itu, penanaman modal asing (Foreign Direct Investment/FDI) menjadi hal penting yang saat ini dibutuhkan.
"Sejujurnya, kita enggak kuat dengan R&D, kenapa kita membutuhkan yang namanya foreign direct investment. Satu, yang paling utama adalah teknologi, yang kedua adalah dukungan keuangan," ujar Todotua dalam acara Sarasehan Ekonom di Jakarta, Selasa (28/10).
Baca Juga: Tembus Rp1.434 T! Investasi RI Capai 75% Target Di Tengah Ketegangan Global
Kebutuhan untuk menjaring PMA terutama di sektor hilirisasi juga Todotua sebut sejalan dengan tujuan dibentuknya Danantara, yang ditargetkan membuka akses Indonesia untuk mendapat pendanaan dari pasar domestik maupun internasional.
Lebih lanjut, dirinya juga menegaskan bahwa realisasi investasi hilirisasi di Indonesia tidak hanya semata-mata dinilai berdasarkan besarnya nominal, melainkan nilai yang diciptakan dan ekosistem ekonomi yang diharapkan terbentuk.
Hingga kuartal III/2025, Kementerian Investasi dan Hiliriasi/BKPM mencatat, Penanaman Modal Asing (PMA) sudah terealisasi senilai Rp644,6 triliun, dengan porsi 44,9% dari total investasi Rp1.434,3 triliun.
Ditilik berdasarkan negara asal, investasi asing di tanah air paling deras berasal dari Singapura dengan US$12,6 miliar; diikuti Hong Kong US$7,3 miliar; Tiongkok US$5,4 miliar; Malaysia US$2,7 miliar dan Jepang US$2,3 miliar.
Baca Juga: Wamen Stella Pastikan Tak Ada Pemotongan Dana Riset
Teknologi Hilirisasi Belum Ramah Lingkungan
Lebih lanjut, Wamen Todotua secara gamblang membeberkan bahwa teknologi yang digunakan dalam sektor hilirisasi belum sepenuhnya menerapkan prinsip ramah lingkungan seperti yang selama ini banyak diharapkan.
"Betul kita butuh partner teknologinya adalah teknologi (ramah) lingkungan. Tetapi saya bilang, apakah ini 100% ramah lingkungan? Masih belum. Karena semua pelaku di smelter nikel, itu mereka menggunakan batu bara," ungkap Todotua.
Terkait realita tersebut, Wamen mengatakan bahwa strategi untuk menekan biaya jadi hal yang dibutuhkan untuk mempercepat target hilirisasi ketika dikaitkan dengan kebijakan efisiensi dan produktivitas.
Baca Juga: Wamendag Roro Temui Pemerintah Jerman, Dorong Peningkatan Ekspor UMKM
Adapun untuk saat ini, komoditas atau teknologi yang paling memungkinkan untuk masuk dalam standar efisiensi dan produktivitas masih terbatas pada penggunaan batu bara demi menekan biaya material dan meningkatkan nilai kompetitif.
"Inilah yang menjadi tantangan... kalau biaya materialnya kita bisa tekan, maka dia punya nilai kompetitif untuk menghasilkan energy output-nya," tandas Todotua.