03 Oktober 2025
12:03 WIB
Laporan CELIOS Tunjukkan Salah Kaprah MBG Picu Kenaikan Harga Pangan
Sejumlah ekonom CELIOS melaporkan tata kelola dapur MBG saat ini yang tersentralisasi di dapur besar membuat harga daging ayam naik dan pedagang ayam di pasar kehilangan pelanggan.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Petugas menyiapkan paket makanan bergizi gratis di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Pamerah, Jakarta, Senin (6/1/2025). Antara Foto/Rivan Awal Lingga
JAKARTA - Laporan CELIOS mengungkapkan pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) justru bertolak belakang dengan tujuannya. Program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran ini bertujuan menurunkan angka stunting pada anak, sambil mendorong perputaran ekonomi UMKM di sekitar dapur MBG.
Namun, dalam laporan CELIOS dipaparkan pelaksanaan MBG saat ini justru menimbulkan persoalan serius lantaran perputaran ekonomi justru terkonsentrasi pada perusahaan besar pengelola dapur umum MBG.
Selain itu, pelaksanaan program membuat harga beberapa komoditas melonjak, salah satunya daging ayam. Permintaan program ini membuat harga melonjak, di saat yang sama pedagang ayam potong dan UMKM kehilangan pembeli.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar menyampaikan, tata kelola dapur MBG yang tersentralisasi, dan dapur besar yang tidak melibatkan sekolah serta UMKM mulai menunjukkan dampak negatif.
“Peternak ayam dan pedagang ayam di pasar tradisional sulit masuk ke rantai pasok MBG karena tidak bisa memenuhi volume dan standar kualitas. Skema MBG yang kini bertumpu pada dapur umum berskala besar harus segera dihentikan,” ungkap Media dalam laporan CELIOS, dikutip Jumat (3/10).
Baca Juga: Purbaya Sorot MBG: Anggaran Bisa Digeser-Pangkas Jika Tak Sesuai
CELIOS mencatat, sejak awal Juli 2025 harga daging ayam ras menunjukkan tren harga yang melonjak dari Rp35.066/kg menjadi Rp38.322/kg saat ini, atau naik 9,3% dalam rentang empat bulan. Kenaikan serupa terjadi pada beberapa komoditas pangan lainnya seperti ikan kembung yang melonjak 3,2% dari Rp40.665/kg menjadi Rp41.955, dan telur ayam naik 2,9% dari Rp28.973/kg menjadi Rp29.807/kg.
“Gejolak harga terjadi pada ketiga komoditas tersebut sebagai komoditas utama MBG, sementara bahan pangan lain relatif stabil. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa lonjakan permintaan akibat MBG adalah pemicu langsung kenaikan harga ayam di pasar,” lanjut dia.
Menurut Media, pasokan ayam di pasar rakyat kian menipis karena sebagian besar ayam diborong oleh dapur umum MBG untuk memenuhi kebutuhan masif mereka. Kenaikan harga ayam tersebut bahkan ada yang mencapai Rp50.000/kg di beberapa daerah. Pasokan yang menipis membuat para pedagang terpaksa menaikkan harga jual ke konsumen untuk menutup biaya. Imbasnya, kenaikan ini menekan daya beli masyarakat kecil.
Oleh karena itu, Media meminta agar pemerintah mengembalikan pengelolaan program MBG ke sekolah, kelompok masyarakat, dan komunitas kecil di desa atau lingkungan RT. Melalui cara tersebut, maka ia berasumsi pengadaan bahan pangan dapat melibatkan pedagang lokal, peternak rakyat, serta UMKM di sekitar sekolah.
“Kalau sekarang, uangnya berputar di pemain besar, dan dinikmati pengelola dapur besar yang bermodal. Kalau masih seperti skema sekarang, lebih baik MBG distop saja,” tegas Media.
Ganggu UMKM
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira juga menyebut adanya kekhawatiran kondisi ini mendorong fenomena kanibalisme permintaan antara dapur MBG dengan pedagang pasar tradisional. Apabila fenomena ini terjadi, maka akan memicu inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
Dia pun meminta agar Kementerian Koordinator (Kemenko) Pangan bisa segera menindaklanjuti hal ini.
“Kemenko Pangan harus segera bicara dengan Badan Gizi Nasional (BGN) agar persaingan bahan pangan dapur MBG bisa dihentikan. Mandat menjaga ketahanan pangan dengan cara yang salah, justru memicu inflasi yang merugikan semua pihak,” kata Bhima.
Baca Juga: Pemerintah Longgarkan Impor Sapi Hidup Untuk MBG Dan Kopdes
Dampak buruk dari tersentralisasinya MBG menurut Bhima adalah, banyak penjual ayam potong di pasar tradisional kehilangan pelanggan. Sebagian besar konsumsi ayam dari sekolah-sekolah yang dulu membeli secara lokal saat ini ditangani langsung oleh dapur MBG. Permintaan dari masyarakat umum juga berkurang karena anak-anak sudah memperoleh bekal MBG dan tidak lagi mengonsumsi daging ayam di rumah. Pedagang di pasar kehilangan pembeli tetap dan omzet menurun drastis.
Situasi ini kata Bhima, memunculkan efek rambatan di masyarakat. Rumah tangga berpendapatan rendah yang selama ini bergantung pada ayam sebagai sumber protein terjangkau, kini terpaksa mencari alternatif lain yang lebih murah atau mengurangi konsumsi protein.
“Jika dibiarkan, kondisi ini bukan hanya menimbulkan inflasi pangan, tetapi juga memperdalam ketimpangan antara pemain besar dan kecil. MBG bukan menyerap tenaga kerja, justru mengurangi kesempatan UMKM berkembang. Kami tidak melihat kontribusi MBG terhadap penciptaan lapangan kerja, karena UMKM justru dirugikan,” terang Bhima.