15 April 2024
20:03 WIB
Konflik Iran VS Israel Bakal Kerek Ongkos Produksi Industri RI
Biaya produksi bisa terkerek imbas dari pelemahan rupiah dan melejitnya harga bahan baku seperti minyak bumi; karena babak baru perang Timur Tengah, Iran VS Israel.
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Ilustrasi. Pekerja menyelesaikan produksi air conditioner (AC) rumahan di LG Factory, Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (23/5/2023). Antara Foto/Fauzan
JAKARTA - Industri di dalam negeri akan dibebani dengan biaya tambahan yang berasal dari cost production atau biaya produksi apabila terjadi eskalasi konflik Iran VS Israel.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho. Ia menilai konflik yang meluas antar dua negara itu akan menambah biaya, khususnya bagi industri yang mengimpor bahan baku.
"Jika memang ada eskalasi lebih lanjut perang Israel VS Iran tentunya kita lihat kemungkinan besar ini akan menambah biaya bagi industri, khususnya yang memiliki bahan baku impor," ujarnya kepada Validnews, Senin (15/4).
Secara kronologis, Iran melakukan serangan balasan dengan meluncurkan pesawat nir awak atau drone dan rudal ke Israel pada Sabtu (13/4). Serangan tersebut diprakarsai oleh pemerintah Iran sendiri.
Baca Juga: Ekonom: Ketegangan Iran-Israel Berpotensi Ganggu Perdagangan Indonesia
Hal ini menunjukkan keterlibatan langsung Iran dalam konflik Timur Tengah. Pasalnya, selama ini Iran berkonflik secara tidak langsung, termasuk dengan Israel. Di antaranya, melalui kelompok militan Iran, Houthi di Yaman dan Hizbullah di Lebanon.
Andry pun menuturkan sebelum ada perang Iran VS Israel, perdagangan dunia menjadi payah gegara serangan Houthi di kawasan Laut Merah. Ia khawatir jika eskalasi konflik Iran dan Israel berlanjut, akan mendatangkan krisis baru padahal yang lama belum selesai.
"Menurut saya dengan adanya krisis laut merah belum selesai, apalagi kita tahu yang berperan di krisis laut merah ini adalah militan Houthi yang berasal dari Iran. Ini yang kita takuti sebenarnya," imbuhnya.
Dengan adanya tensi geopolitik Iran dan Israel sekarang ini, INDEF melihat sedikitnya ada dua faktor yang memengaruhi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Pertama, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan Google Finance, saat ini Senin (15/4) rupiah mengalami pelemahan dan berada di angka Rp16.068/US$. Adapun kondisi rupiah mulai jebol ke level Rp16.000 per dolar AS pada Rabu (10/4).
Kedua, konflik Iran VS Israel akan mengerek harga komoditas minyak bumi. Menurut catatan Validnews, bahkan hari ini Dirjen Migas Kementerian ESDM memproyeksikan harga minyak atau Indonesia Crude Price (ICP) bisa menyentuh US$100/barel imbas perang dua negara itu.
Peneliti INDEF Andry Satrio mengatakan dua faktor tersebut, pelemahan rupiah dan lonjakan harga minyak, akan membebani industri RI. Salah satunya, bisa menyebabkan kenaikan biaya input atau produksi industri karena memperoleh bahan baku impor.
"Biaya itu tercermin dari dua hal, mata uang dan harga minyak tinggi, sehingga dengan besaran biaya tersebut pastinya akan memberikan setidaknya pengaruh terhadap impor bahan baku industri," terangnya.
Ketika biaya produksi naik, yang dikhawatirkan adalah terjadi peningkatan harga produk. Apabila harga produk menjadi terlalu mahal, sambung Andry, hal itu justru membuat berbagai barang made in Indonesia tidak berdaya saing.
Baca Juga: Ekonom Ungkap 3 Efek Negatif Perang Iran-Israel Ke Ekonomi RI
Dia menambahkan ada juga serangkaian produk-produk industri yang harga input atau harga bahan bakunya menjadi mahal. Jika begitu, pelaku industri RI bakal kesulitan menjual produknya, baik ke luar negeri ataupun domestik.
"Kalau cost production naik, itu pasti akan dibebankan ke konsumen dalam bentuk harga produknya akan naik. Kita tidak menginginkan itu ya. Apalagi tujuannya ekspor bukan untuk konsumsi dalam negeri," tutur Peneliti INDEF itu.
Ke depannya, Andry menilai eskalasi perang akan mengakibatkan penurunan impor bahan baku. Pelaku industri RI mulai terbebani dengan tingginya harga barang-barang impor karena kurs rupiah melemah dan bahan baku seperti minyak bumi harganya pun melejit.
Dia mencontohkan salah satunya industri serat fiber Indonesia yang bahan bakunya 90% impor. Jika perang berlanjut dan harga bahan baku kian meroket, menurutnya hal tersebut malah mengganggu proses produksi di Indonesia.
"Sudah kena tekanan dari biaya kurs rupiah yang melemah, ini kan biaya juga bagi industri, lalu ditambah perang yang mengganggu perdagangan dan harga energi. Dua hal itu akan menambah beban industri, terutama industri yang bahan bakunya berasal dari impor" ucap Andry.