c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

15 April 2024

17:33 WIB

Ekonom Ungkap 3 Efek Negatif Perang Iran-Israel Ke Ekonomi RI

Mulai dari potensi membengkaknya defisit transaksi berjalan, kenaikan inflasi domestik, hingga melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Penulis: Khairul Kahfi

<p>Ekonom Ungkap 3 Efek Negatif Perang Iran-Israel Ke Ekonomi RI</p>
<p>Ekonom Ungkap 3 Efek Negatif Perang Iran-Israel Ke Ekonomi RI</p>

Ekonom Eisenhower Fellowships Bambang Brodjonegoro dalam diskusi daring Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI, Jakarta, Senin (15/4). Validnews/Khairul Kahfi

JAKARTA - Ekonom Eisenhower Fellowships Bambang Brodjonegoro menjelaskan, konflik bilateral Iran-Israel setidaknya punya tiga dampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Menurutnya, perang ini tidak bisa dianggap sepele karena dilakukan oleh dua negara.

Dirinya menyampaikan, serangan yang sudah dilakukan oleh Iran ke Israel tersebut secara tidak langsung juga dilakukan oleh kelompok Houthi di Yaman, Hizbullah, maupun Hamas sendiri. 

“Saya melihat dampaknya, termasuk nanti ke rupiah, ke (ekonomi) Indonesia melalui tiga jalur. Satu, keseimbangan eksternal dari neraca pembayaran; kedua, terkait inflasi (naik); dan ketiga, (melemahnya) pertumbuhan ekonomi,” urainya dalam diskusi daring Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI di Jakarta, Senin (15/4).

Pertama, ungkapnya, keseimbangan eksternal Indonesia sudah mulai menyusut bahkan sebelum ada ketegangan antara Israel dengan Hamas. Paling kentara, terlihat dari neraca dagang Indonesia yang sudah makin lama mengecil meski sudah mengalami surplus selama dua tahun lebih.

Baca Juga: Ekonom: Ketegangan Iran-Israel Berpotensi Ganggu Perdagangan Indonesia

Adapun surplus dagang terakhir sudah berada di bawah US$1 miliar atau tepatnya US$0,87 miliar per Februari 2024, Menteri PPN/Bappenas 2016-2019 ini menilai capaian ini harus diwaspadai oleh Indonesia. “Ini sebenarnya sudah mulai lampu kuning. Jangan-jangan kita sudah tidak bisa lagi melanjutkan surplus neraca perdagangan,” ungkapnya.

Pasalnya, kondisi tersebut akan turut memengaruhi keseimbangan transaksi neraca berjalan (current account) yang berasal dari hitungan neraca perdagangan barang maupun jasa. Karena itu, dirinya pesimistis neraca perdagangan barang Indonesia akan membaik.

Akibat harga energi yang naik, lalu gangguan distribusi terutama yang melalui Laut Merah dan Selat Hormuz, era commodity booming di dunia yang sudah berakhir sejak 2023, ditambah tingkat bunga global yang tinggi sehingga membuat permintaan global melemah. 

Sedianya, pelemahan rupiah biasanya akan membuat perdagangan internasional alias ekspor akan jadi pendorong. Namun, lagi-lagi, dirinya mengutarakan pengapalan produk manufaktur maupun komoditas tidak punya prospek bagus saat ini.

“(Terlebih) ekspor kita masih didominasi oleh komoditas, bukan produk manufaktur. Sehingga melemahnya rupiah terhadap dolar AS, tidak banyak membantu dalam konteks daya saing (ekspor dagang), terutama produk manufaktur,” katanya.

Di sisi lain, perdagangan di sektor jasa juga makin berat karena defisit yang timbul dari beban biaya kirim maupun angkut (shipping/freight). Karena itu, melemahnya rupiah akan semakin berat karena gangguan jalur distribusi di Terusan Suez, Laut Merah, Selat Hormuz, termasuk Samudera Hindia yang dekat jazirah Arab dan Iran.

“Saya khawatir justru current account deficit (defisit transaksi berjalan) kita itu bisa melebar,” sebutnya. 

Sentimen negatif membesarnya defisit transaksi berjalan ini pun dipercaya akan memengaruhi kondisi rupiah. Pasalnya, akan memberikan kekhawatiran bagi pasar atas kemampuan Indonesia untuk menyeimbangkan neraca eksternal.

“Defisit neraca berjalan yang berpotensi membesar bisa membuat orang (investor) lebih agak khawatir terhadap kemampuan Indonesia menyeimbangkan neraca eksternalnya,” ucapnya.

Sebenarnya, Indonesia bisa berharap dari neraca arus modal, terutama dari modal masuk (inflow). Namun, lagi-lagi yang pasti terjadi adalah modal keluar (outflow). Sebagai contoh terdekat, selang 3-4 hari konflik Israel-Hamas menjelang akhir 2023, sempat membuat SBN Indonesia outflow sampai menyentuh Rp4 triliun.

“(Padahal), itu baru Israel-Hamas yang sifatnya masih sangat lokal atau isu internal di Timur Tengah. Nah saat ini kan isunya (perang Iran-Israel) lebih besar dari itu,” urainya.

Kedua, Indonesia juga patut mewaspadai kenaikan inflasi akibat perang Iran-Israel. Sementara ini, Bambang menyebut, capaian inflasi Indonesia masih sedikit di atas target, terutama dari sisi inflasi harga pangan bergejolak dari harga beras.

Baca Juga: Usai Iran Serang Israel, Menkeu-Jajaran Rapat Soroti Eskalasi Gejolak Geopolitik 

Adapun konflik bilateral ini akan membuat harga minyak bumi dunia melonjak, meski akan sangat bergantung pada tensi politik Iran-Israel. Namun sebagai pertimbangan, inflasi nasional sempat bertengger di atas 5% pada 2022 lalu, karena perang Rusia-Ukraina membuat harga minyak global melonjak ke atas US$100/barel.

Saat itu, pemerintah pun terpaksa menaikkan harga BBM di masyarakat karena subsidi yang sudah terlalu banyak hingga sekitar Rp502,4 triliun. Karena itu, perkembangan kondisi yang ada akan membuat tekanan inflasi RI menjadi lebih tinggi dari berbagai sisi.

“Satu, karena memang ada masalah di dalam negeri berupa harga pangan bergejolak. Dua, inflasi yang kemungkinan berasal dari harga yang diatur pemerintah, apakah itu BBM, LPG, atau yang lainnya. Ditambah, tentunya imported inflation sebagai akibat pelemahan rupiah dan gangguan distribusi,” ucapnya.

Ancam Pencapaian Pertumbuhan Ekonomi 2024

Ketiga, Bambang melanjutkan, menegangnya konflik Iran-Israel juga dapat mengancam tercapainya target pertumbuhan ekonomi RI di kisaran 5% di 2024. Sebelum ada perang ini, semua pihak masih optimistis menatap target perekonomian Indonesia sebesar itu masih mungkin tercapai.

Hanya saja, perang Iran-Israel yang terus terekskalasi lebih besar dan lebih lama akan membuat sejumlah pihak akan menganggap capaian pertumbuhan ekonomi 5% akan cukup menantang.

“(Pertumbuhan ekonomi RI 2024) mungkin akan bisa terdorong ke bawah, menjadi sekitar 4,6-4,8%. Karena gangguan ke keseimbangan eksternal, potensi inflasi (naik), ditambah sumber-sumber pertumbuhan kita sangat bergantung pada konsumsi dalam negeri,” katanya. 

Dia mengidentifikasi, harapan satu-satunya agar pertumbuhan ekonomi masih bisa 5% adalah dampak Pilkada. Namun jika menilik perhelatan Pemilu lalu, optimismenya tak terlalu tinggi karena riuh pesta demokrasi terlaksana di ruang media sosial atau internet.

“Jadi tidak banyak dampak (Pemilu) seperti konsumsi di luar konsumsi data atau internet. Sedangkan (perhelatan) Pilkada kemungkinan tidak akan beda jauh, meski barangkali intensitas konsumsi yang sifatnya fisik masih akan mungkin terjadi,” ujarnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar