c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

03 Mei 2023

08:00 WIB

Kompetensi Mumpuni, Kunci Lulusan Vokasi Diminati Industri

Lulusan pendidikan vokasi masih berkontribusi besar kepada jumlah pengangguran, karena kompetensi yang dimiliki tak sesuai dengan kebutuhan industri

Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Kompetensi Mumpuni, Kunci Lulusan Vokasi Diminati Industri
Kompetensi Mumpuni, Kunci Lulusan Vokasi Diminati Industri
Siswa SMK melakukan perawatan motor berbahan bakar minyak yang telah dikonversikan ke listrik di SMKN 8 Bandung, Jawa Barat, Jumat (10/2/2023). Antara Foto/Raisan Al Farisi

JAKARTA – Industri otomotif beberapa tahun belakangan, mulai aktif menggandeng lembaga pendidikan vokasi alias kejuruan. Tujuannya tak lain, agar lulusan lembaga pendidikan punya keahlian yang sesuai kebutuhan industri saat bekerja nanti.

Ya. Lulusan vokasi yang dominan mengecap pendidikan praktikum ketimbang teori, memang sangat dibutuhkan industri manufaktur seperti otomotif. Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Jongkie Sugiarto bahkan menilai, lulusan vokasi punya peran yang cukup vital pada keberlangsungan industri otomotif di Indonesia hingga kini. Baik itu dari kalangan SMK maupun akademi hingga politeknik 

”Pendidikan vokasi banyak prakteknya dan itu yang dibutuhkan. Industri otomotif dan komponennya masih butuh lulusan vokasi,” ungkap Jongkie kepada Validnews di Jakarta, Senin (1/5).

Sebagai informasi, saat ini ada 23 perusahaan yang bermain di industri otomotif nasional, khususnya yang memproduksi kendaraan beroda empat atau lebih, dengan total kapasitas mencapai 2,35 juta unit per tahun. 

Baca juga: Vokasi Dapat Jadi Mitra Industri Ciptakan Teknologi

Untuk mendukung produksi sebesar itu, tenaga kerja langsung yang diserap industri otomotif nasional telah mencapai 38 ribu orang.

Angka ini masih ditambah penyerapan lebih dari 1,5 juta tenaga kerja di sepanjang rantai nilai industri tersebut, termasuk di sektor industri kecil dan menengah (IKM) yang bermain di bidang komponen.

PT Astra International Tbk, misalnya, menjadi produsen otomotif yang serius memanfaatkan lulusan vokasi untuk bekerja di pabrik atau unit lainnya. Raksasa otomotif nasional ini, sudah sekian lama mengoordinasikan kurikulum pembelajaran bersama dengan institusi penyelenggara pendidikan vokasi. Bahkan hingga membuat semacam program ikatan dinas.

”Beberapa perusahaan sudah menerapkan itu seperti di Astra Group. Kalau yang lain, saya belum dapat infonya,” ujar Jongkie.

Menurutnya, guna memantik perusahaan-perusahaan lain mengikuti langkah Astra Group, ada baiknya pemerintah memperbanyak dahulu lembaga-lembaga pendidikan vokasional untuk mempersiapkan tenaga kerja.

Dengan begitu, dia meyakini industri akan terpancing untuk mau berkoordinasi soal kurikulum pembelajaran atau langsung menyerap tenaga kerja dari lembaga pendidikan vokasi. ”Yang paling penting, (lembaga) vokasinya harus diadakan sebanyak-banyaknya terlebih dahulu,” serunya.

Baca juga: Produk Vokasi Indonesia Ramaikan Hannover Messe 2023

Pengangguran Vokasi

Sinkronisasi kurikulum dengan kebutuhan industri memang menjadi hal penting. Pasalnya, di balik tingginya permintaan tenaga kerja dari lulusan vokasi, sejauh ini lulusan vokasi justru masih banyak menyumbang pengangguran, meski trennya mulai menurun.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020-2022 memperlihatkan, jumlah pengangguran vokasional konsisten bergerak turun dari 2,69 juta orang; menjadi 2,36 juta; dan teranyar 1,84 juta orang.

Hanya saja, penurunan ini dinilai belum optimal. Lembaga Demografi FEB-UI misalnya, menyoroti persentase penganggur vokasional jika dibanding jumlah pengangguran nasional pada 2022 masih terbilang besar, sekitar 22%. Apalagi, jumlah dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan vokasi ini didominasi lulusan SMK. 

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kemenperin Masrokhan mengakui, belum seluruhnya lulusan Pendidikan vokasi memenuhi kebutuhan dunia usaha dan dunia kerja.

Dia menilai, sejumlah tantangan atau bottleneck masih ada dalam pendidikan vokasi, khususnya SMK. Salah satu hambatan adalah belum tersedianya informasi pasar kerja, dengan penelusuran yang menjadi acuan penempatan alumni maupun sebagai peta kebutuhan SDM. 

“Penyelenggaraan pendidikan di bidang keahlian SMK belum sepenuhnya sesuai dengan potensi daerah, sekaligus kebutuhan dunia usaha-industri. Terutama akibat perkembangan teknologi dan digitalisasi yang sangat cepat,” sebut Masrokhan kepada Validnews, Selasa (2/5).

Singkatnya, penyelenggaraan pendidikan di SMK, kebanyakan belum berbasis kompetensi dengan kurikulum yang tidak selaras dengan Standar Kompetensi Kerja. Tantangan juga hadir melalui kurangnya peralatan praktik di SMK. Belum lagi, kualitas dan kuantitas tenaga pendidik/instruktur/guru kejuruan juga dirasa masih kurang.

“(Begitu juga) masih rendahnya peran atau keterlibatan dunia usaha dan industri dalam proses pembelajaran,” sebutnya.

Baca juga: Tumbuh 2,23%, Jumlah Pekerja Indonesia Capai 138,6 Juta Orang

Perbaikan Kurikulum

Mengatasi aneka kendala tersebut, Masrokhan menjelaskan, Kemenperin sejak 2017 sejatinya telah menyampaikan dokumen penyelarasan kurikulum pendidikan SMK, sesuai dengan kebutuhan industri melalui surat Menperin Nomor 246/M-IND/6/2017 kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Dokumen tersebut memuat penyelarasan kurikulum dan silabus untuk mata pelajaran bidang produktif, dengan memasukkan materi pembelajaran sesuai kompetensi yang dibutuhkan industri. Dalam dokumen tersebut disebutkan, sejalan dengan perkembangan teknologi dan revolusi industri 4.0, maka unit Pendidikan di lingkungan Kemenperin termasuk di dalamnya SMK, harus melakukan integrasi pembelajaran industri 4.0.

“Pada jenjang SMK di lingkungan Kementerian Perindustrian, wajib menerapkan mata pelajaran dasar industri 4.0,” ujar Masrokhan.

Hasilnya, Kemenperin mengidentifikasi sebanyak 34 kompetensi keahlian yang terkait langsung dengan industri manufaktur, butuh penyelarasan dengan kebutuhan industri. 

Asal tahu saja, sampai saat ini, jurusan yang ada di masing-masing SMK kebanyakan merupakan jurusan Teknik Kendaraan Ringan, Teknik Sepeda Motor, dan permesinan.

“Seiring perkembangan teknologi saat ini, jurusan Teknik Kendaraan Ringan dan Teknik Sepeda Motor akan sangat berdampak dengan berkembangnya teknologi energi terbarukan serta berkembangnya kendaraan listrik. Sehingga perlu melakukan penyelarasan desain pembelajaran yang ada saat ini,” lanjutnya.

Pemerintah, kata Masrokhan, juga telah melahirkan Perpres 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Aturan ini juga telah ditindaklanjuti dengan aturan turunan yaitu Permenko PMK 6/2022 tentang strategi nasional revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi.

Baca juga: Luluasn Vokasi Banyak Yang Mengganggur

Perlu Kolaborasi 

Masrokhan menyatakan, berdasarkan kajiannya, saban tahunnya, sektor industri sebenarnya membutuhkan sebanyak 682.000 tenaga kerja terampil. Nah, untuk memasok kebutuhan tenaga kerja tersebut, kolaborasi antara Kemenperin, Kemendikbudristek, pemerintah daerah dan sektor industri pun jadi keniscayaan.

Dalam mencapainya, dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu melalui penyelenggaraan SMK, penyelenggaraan Politeknik/ Akademi Komunitas, dan pelatihan Vokasi dengan sistem 3 in 1. Sejauh ini, Kemenperin berkontribusi dengan menyelenggarakan Pendidikan vokasi di sembilan SMK milik Kemenperin, serta mendukung berbagai SMK yang terlibat dalam program link and match maupun perluasan revitalisasi program kerja sama pada SMK.

“Selanjutnya, melalui penyelenggaraan Politeknik/ Akademi Komunitas yaitu melalui 13 unit Politeknik/Akademi Komunitas maupun sinergi pendidikan tinggi dengan industri dan pendirian Politeknik baru. Sedangkan langkah ketiga, dapat ditempuh melalui pelatihan vokasi dengan sistem 3 in 1,” beber Masrokhan.

Selain itu, imbuhnya, Kemenperin juga sudah mengusulkan insetif perpajakan untuk sektor industri yang aktif melakukan pembinaan program vokasi. Usulan tersebut berupa insentif pengurangan Penghasilan Kena Pajak sebesar 200% dari biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan vokasi. Selanjutnya, sebesar 300% untuk biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang.

Usulan insentif kegiatan vokasi ini telah diakomodasi melalui PP 45/2019 tentang Perubahan atas PP 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan. 

Insentif lainya, termaktub dalam PMK 128/2019 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu. 

“Semenjak aturan ini terbit, BPSDMI senantiasa menyosialisasikan peraturan ini dengan membuat website coachingclinicstd.kemenperin.go.id dan membuat klinik konsultasi bagi industri yang akan memanfaatkan fasilitas ini,” paparnya.

Baca juga: Kemendikbudristek Gelar Program Peningkatan Kompetensi Dosen Vokasi

Mismatch Skill
Hanya saja, sampai saat ini, meski tak bisa dikatakan gagal, berbagai program untuk mendongkrak mutu lulusan vokasi, belumlah berjalan optimal. Menanggapi kondisi ini, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz berpendapat, tantangan vokasi di Indonesia berasal dari kompetensi pelatih yang belum maksimal.

Saat ini, kondisi pelatih vokasi atau pelatih tempat kerja di perusahaan, masih sangat beragam. Rata-rata pelatih dipilih sebagai wakil perusahaan karena dianggap sudah menguasai pekerjaan sehingga diberikan wewenang dan tugas melatih. Padahal, dalam melaksanakan pelatihan vokasi berkualitas, keahlian melakukan pekerjaan saja tidaklah cukup.

“Pelatih juga harus mempunyai kemampuan mengajar, menguasai metodologi pengajaran serta mengetahui peran masing-masing pihak di dalam perusahaan yang terkait dengan pelatihan vokasi,” kata Adi kepada Validnews, Jumat (28/3).

Slogan ‘Make people, before make product’, lanjutnya, masih begitu relevan untuk menciptakan kualitas produk.

“Bila pelatihan ingin mendapatkan hasil tenaga kerja yang siap pakai dan kompeten, seyogianya ciptakan dulu tenaga pelatih yang kompeten,” cetusnya.

Menurutnya, hanya dari tangan pelatih yang berkompeten, para tenaga muda dapat ditempa menjadi tenaga berkualitas untuk bisa memenuhi persyaratan kompetensi di lapangan, baik dari sisi pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.

Di sisi lain, masalah akan terus timbul dalam pelatihan vokasi, sehingga para pelatih dituntut menyelesaikan dinamika masalah yang ada. 

“Karena itu, tanpa kompetensi memadai, rasanya sulit perusahaan mewujudkan keinginannya untuk mendapatkan tenaga terampil yang siap pakai,” tegasnya.

Adi pun mensinyalir, banyak lulusan SMK tak terserap dunia kerja karena dua perkara. Pertama, mismatch skill atau tidak bertemunya progra pelatihan dengan kebutuhan di lapangan. Kedua, jumlah lulusan dengan jumlah kebutuhan dunia kerja yang masih sangat timpang. 

Baca juga: Lulusan Vokasi Sumbang 22% Total Pengangguran di Indonesia

Badan Khusus

Menanggapi masalah ini, pengamat ketenagakerjaanTimboel Siregar justru menilai, saat ini upaya pemerintah masih terpecah dalam banyak program.

“Kan (kalau sekarang), informasinya bisa terpecah-pecah, ada Kartu Prakerja, Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan pelatihan vokasional yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan kementerian-kementerian lain,” ujar Timboel kepada Validnews, Jumat (28/4).

Dia pun menyarankan, pemerintah untuk memaksimalkan potensi informasi pasar kerja dengan memvalidasi data ketenagakerjaan yang sudah dimiliki. Mulai dari Kartu Prakerja, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan pelatihan vokasional.

Dengan begitu, pemerintah dapat menentukan dan lebih mendekatkan lulusan-lulusan vokasi ini, kepada lapangan kerja yang membutuhkan. Timboel bahkan berharap, nantinya ada suatu badan khusus yang mengurus pelatihan vokasional.

Dia juga berharap agar penyelenggara pendidikan vokasi dapat menghadirkan sebuah program studi atau prodi yang kompatibel dan fleksibel, untuk memenuhi pasar tenaga kerja di industri. Bisa dibilang, prodi tertentu tidak harus dipaksakan terus ada setiap tahun. Akan tetapi, dibuka sesuai dengan tingkat permintaan tenaga dari prodi tersebut.

“Kalau memang prodi-prodi ini sudah tidak banyak lagi demand-nya, harus diselesaikan saja dan tidak lagi dilanjutkan, tapi diganti dengan prodi yang memang bisa menjawab kebutuhan ke depan,” ucap Timboel.

Selain itu, jalur alternatif pun perlu disiapkan. Menurutnya, para lulusan vokasi juga perlu dibekali kemampuan wiraswasta, agar bisa mereduksi tingkat pengangguran.

“Kan bisa sebetulnya lulusan-lulusan ini menjadi pekerja pekerja wiraswasta/entrepreneur yang memang harus dibantu. Jadi KUR (Kedit Usaha Rakyat) juga seharusnya menjangkau kepada mereka yang tidak tertampung di pekerjaan formal,” terang Timboel.

Paling tidak, upaya ini dapat dilakukan untuk menjembatani lulusan vokasi yang belum bekerja agar jangan sampai menjadi pengangguran. 

“Menurut saya upaya-upaya untuk menampung mereka menjadi pekerja informal itu juga harus dilakukan oleh pemerintah. Kewiraswastaan perlu ditingkatkan,” tuturnya.

Senada dengan Timboel, Adi juga meminta, sejumlah pemangku kepentingan dapat memperbanyak jurusan vokasi yang mengarah ke penciptaan entrepreneur mendukung kewirausahaan.

“(Selanjutnya), perbanyak lapangan kerja di Indonesia, serta didorong tenaga kerja kita ke luar negeri,” ungkap Adi. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar