c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

13 Desember 2023

18:10 WIB

Komisi VII Ingatkan Transisi Energi Jangan Sampai Membebani APBN

Indonesia butuh sekitar US$40 miliar per tahun untuk membiayai transisi energi dan mencapai NZE tahun 2060

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Fin Harini

Komisi VII Ingatkan Transisi Energi Jangan Sampai Membebani APBN
Komisi VII Ingatkan Transisi Energi Jangan Sampai Membebani APBN
Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, sebagai bentuk energi hijau. Antara Foto/Arnas Padda

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengakui butuh dana yang sangat besar bagi setiap negara untuk melakukan transisi energi, tak terkecuali bagi Indonesia.

Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo pada gelaran COP28 di Dubai, UEA beberapa waktu lalu, total kebutuhan dana mencapai US$1 triliun untuk mengembangkan energi terbarukan hingga net zero emission (NZE) tahun 2060 terwujud.

"Artinya untuk 26 tahun yang akan datang, kita butuh US$40 miliar per tahun untuk mengembangkan EBT sambil melakukan pensiun dini (PLTU batu bara)," ucapnya dalam Diskusi Publik bertajuk 'Mengatasi Hambatan Pembiayaan Energi Terbarukan di Indonesia', Rabu (13/12).

Eddy pun mengimbau proses transisi energi seyogianya jangan sampai menambah beban APBN. Menurut dia, kebutuhan pendanaan transisi energi tidak bisa mengandalkan APBN dalam porsi yang besar.

Baca Juga: Indonesia Butuh Rp81,6 triliun Per Tahun Biayai Transisi Energi

"Itu sangat memberatkan. Saat ini saja sudah cukup berat untuk yang sifatnya rutin seperti bantuan sosial, jaringan sosial, dan lain-lain, sehingga harus ada solusi untuk hal itu," tambah Eddy.

Besarnya pendanaan untuk transisi energi, sambungnya, tak lepas dari pengembangan EBT yang cukup kompleks. Misalnya untuk energi surya yang merupakan intermittent power, penggunaan sumber tersebut harus di-switch ke baseload power ketika sudah memasuki fase puncak sekitar pukul 14.00.

Artinya, setiap pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan, harus disiapkan juga kapasitas cadangannya. Sehingga, nilai investasi juga bertambah, seperti penambahan baterai di dalam PLTS.

"Kalau PLTS kita pasang baterai di dalamnya itu investment juga. Jadi, ini situasi yang kompleks," kata dia.

Kompleksitas itulah yang menyebabkan besarnya kebutuhan pendanaan transisi energi. Apalagi untuk membangun pembangkit listrik berbasis EBT butuh waktu sekitar 6-8 tahun atau lebih lama dibandingkan proyek PLTU maupun PLT Gas yang hanya sekitar dua tahun.

Di sisi lain, seluruh masyarakat Indonesia harus mendapat akses untuk menikmati sumber energi bersih. Ketika energi berasal dari sumber yang mahal, negara harus hadir memberi kompensasi supaya masyarakat dapat menikmati dengan harga yang sesuai.

"Upfront investment juga sangat tinggi. Itu mempengaruhi tarif dan juga keekonomian," ucapnya.

Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Tak hanya bagi pengembangan pembangkit berbasis EBT, pendanaan yang besar juga dibutuhkan bagi pensiun dini PLTU batu bara yang notabene menjadi kontributor besar emisi dari sektor energi.

"Saat ini, tercatat PLTU batu bara mencapai 67% dari total pembangkit listrik yang ada di Indonesia. Itu tidak gampang karena butuh pendanaan besar dan negosiasi panjang," jelasnya.

Sekadar informasi, pensiun dini PLTU Cirebon-1 memakan biaya hingga Rp13 triliun dan PLTU Pelabuhan Ratu sekitar Rp12 triliun. Khusus PLTU Pelabuhan Ratu, hingga kini belum ditemukan sumber pembiayaannya, sedangkan PLTU Cirebon-1 dipensiunkan lewat kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB).

Meski negara-negara maju sudah menyatakan komitmen pendanaan sebesar US$20 miliar dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), Eddy menegaskan hingga saat ini komitmen itu belum terlihat serius.

Indonesia sendiri berharap porsi hibah dari JETP lebih besar ketimbang pinjaman komersial. Tapi nyatanya, porsi hibah hanya sekitar 2% dari total pendanaan JETP.

"Memang ada US$20 miliar dari JETP. Sampai hari ini saya katakan show me the money. Jadi, tantangannya itu besar dari sisi pendanaan baik untuk early retirement maupun pembangunannya (pembangkit EBT)," sambung Eddy.

Baca Juga: Menteri ESDM Sebut Kolaborasi Jadi Kunci Transisi Energi

Jaminan Energi Alternatif
Tak berhenti di situ, pensiun dini PLTU batu bara harus dilakukan dengan jaminan ketersediaan energi alternatif. Dalam hal ini, Indonesia punya peluang yang besar dari sumber surya dan angin, tapi biayanya juga tinggi.

"Beberapa hari lalu saya hadir di peresmian PLTS Terapung Cirata. Kalau tidak salah itu tarifnya masih di bawah 5,8 sen/KWh dan nanti PLTS di Waduk Jatiluhur katanya bisa di bawah 5 sen/KWh," sebut dia.

Beriringan dengan itu, pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan juga jangan abai terhadap aspek TKDN. Aspek tersebut, lanjut Eddy, juga menjadi tantangan karena di PLTS Terapung Cirata yang awalnya ditetapkan sebesar 60%, telah beberapa kali direvisi menjadi 40% dan kini hanya sekitar 23%.

Dia mengakui jika proyek pembangkit listrik berbasis EBT memaksakan TKDN yang tinggi, proyek tersebut menjadi tidak viable dari sisi keekonomian.

"Jadi ini problem lagi untuk mengembangkan energi terbarukan ada tantangan dan kendalanya. Competitiveness industri dalam negeri kita juga rendah, lebih murah jika kita impor," pungkas Eddy Soeparno.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar